Ketika Akbar tiba-tiba terbangun dalam tubuh Niko, ia dihadapkan pada tantangan besar untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru yang sama sekali berbeda. Meskipun bingung, Akbar melihat kesempatan untuk menjalani hidup yang lebih baik sambil berusaha mempertahankan identitasnya sendiri. Dalam prosesnya, ia berjuang meniru perilaku Niko dan memenuhi harapan keluarganya yang mendalam akan sosok Niko yang hilang.
Di sisi lain, keluarga Trioka Adiguna tidak ada yang tau kalau tubuh Niko sekarang bertukar dengan Akbar. Akbar, dalam upayanya untuk mengenal Niko lebih dalam, menemukan momen-momen nostalgia yang mengajarinya tentang kehidupan Niko, mengungkapkan sisi-sisi yang belum pernah ia ketahui.
Seiring berjalannya waktu, Akbar terjebak dalam konflik emosional. Ia merasakan kesedihan dan penyesalan karena mengambil tempat Niko, sambil berjuang dengan tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi keluarga. Dengan tekad untuk menghormati jiwa Niko yang hilang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Farhan Akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bakmie Pasar Anyar
Akbar merasakan tatapan orang-orang di dalam kereta, dan jantungnya berdebar kembali. Beberapa penumpang berbisik-bisik, tampaknya mengenali seragam yang dikenakannya. “Gila, itu seragam dari sekolah elit!” bisik seorang wanita di dekatnya.
Akbar berusaha untuk tidak terlihat canggung, tetapi rasa gugupnya kembali muncul. Ia berharap tidak ada yang terlalu memperhatikannya. “Semoga mereka hanya penasaran, bukan sampai mengganggu,” pikirnya.
Di sudut kereta, sekelompok remaja lelaki mengarahkan ponselnya ke arahnya, seolah-olah ingin mengambil foto. Akbar merasa sedikit tertekan, tetapi berusaha untuk tetap tenang. “Ini semua hanya sementara,lagian gue pake masker” ujarnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Ketika kereta melaju lebih cepat, Akbar mencoba mengalihkan perhatian dengan menatap keluar jendela. Pemandangan kota yang berlalu cepat membuatnya merasa lebih baik. Namun, ia masih bisa merasakan pandangan orang-orang di sekelilingnya.
Dia membayangkan betapa menyenangkannya jika bisa berbaur dengan mereka tanpa dikenali. “Kalau saja aku bisa jadi orang biasa sejenak, yah mungkin itu yang ada pikiran Niko” gumamnya dalam hati. Akbar mulai mengerti perasaan Niko.
Sambil berusaha fokus, dia kembali mengingat pertemuannya dengan Jeni dan berharap bisa segera berbincang lagi.
Akbar melihat dari jendela kereta saat Jeni dan teman-temannya turun di stasiun Depok. Dalam sekejap, kereta itu melaju lebih cepat, tetapi bayangan senyum Jeni masih terpaku dalam pikirannya. Dia tidak bisa menahan rasa penasaran yang muncul saat melihat mereka.
“Sepertinya mereka terlihat ceria,” pikirnya, meski dia merasa sedikit canggung. “Apakah mereka membicarakan Gue?” Akbar tidak bisa menahan senyum saat membayangkan betapa Jeni mengisahkan pertemuan mereka kepada teman-temannya.
Ketika kereta melanjutkan perjalanan, dia merasa seolah ada yang hilang. Ia berharap mereka bisa berbincang lebih lama sebelum Jeni pergi. “Gue harus memanfaatkan kesempatan ini jika dia menghubungiku,” gumamnya, merasakan semangat baru muncul.
Dengan suasana di dalam kereta yang kembali tenang, Akbar membiarkan pikirannya melayang. Dia membayangkan bagaimana kehidupannya bisa berinteraksi dengan Jeni, si reporter yang berani. Rasa ingin tahunya tentang dunia Jeni semakin membara. “Siapa tahu, mungkin ini bisa jadi awal dari sesuatu yang menarik,” ujarnya dalam hati.
Dalam hatinya, dia berpikir, Gue sekarang harus terbiasa dengan pujian-pujian ini. Dia mencuri pandang ke arah pantulan dirinya di jendela kereta, melihat betapa rapi dan stylishnya penampilannya.
Meskipun dia merasa senang dengan perhatian itu, Akbar tahu bahwa penampilannya hanyalah sebagian dari dirinya. Dia lebih ingin orang lain melihat kepribadiannya yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar penampilan luar.
Sesampainya di Kota Bogor, Akbar keluar dari stasiun dan langsung disambut dengan suasana yang ramai dan hidup.
Hiruk-pikuk kota ini terasa begitu berbeda, dengan orang-orang berlalu-lalang, suara kendaraan yang berisik, dan aroma makanan khas yang menggoda dari warung-warung di sekitar.
Dia melangkah perlahan, menikmati setiap momen. Kota ini seakan tak pernah berubah, pikirnya, melihat pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, anak-anak bermain di pinggir jalan, dan para pengunjung yang bersantai di taman.
Meskipun dirinya kini berada dalam tubuh Niko, setiap sudut kota ini memunculkan kenangan masa kecilnya yang indah.
Akbar mengambil napas dalam-dalam, merasakan udara segar yang penuh dengan aroma hujan yang baru saja turun.
Dia berkeliling, memperhatikan detail-detail kecil yang mungkin pernah terlewatkan, mulai dari deretan toko lama hingga bangunan yang baru direnovasi.
Ini adalah bagian dari diriku yang tidak bisa kutinggalkan, dia merenung. Dengan semangat baru, dia bertekad untuk menemukan keluarganya dan menyelami kembali kehidupan yang mungkin masih tersisa di dunia yang familiar ini.
Akbar melangkah ke arah Pasar Taman Topi atau orang-orang menyebutnya Pasar Anyar, salah satu tempat ikonik di Bogor yang selalu ramai dikunjungi.
Begitu memasuki area pasar, dia langsung disambut dengan suasana yang hangat dan akrab. Suara tawar-menawar antara penjual dan pembeli mengisi udara, sementara aroma berbagai makanan khas menggoda perutnya.
Di sekitar pasar, terdapat berbagai kios yang menjual beragam barang, mulai dari kerajinan tangan, pakaian, hingga jajanan tradisional. Dia melihat banyak orang berkumpul, menikmati camilan seperti cilok, bakso, dan pisang goreng, yang seolah menghidupkan kenangan indah masa kecilnya.
Akbar menyadari pandangan orang-orang di sekelilingnya yang tertuju padanya. Seragamnya yang rapi dan wajahnya yang tampan memang membuatnya menjadi pusat perhatian. Setiap kali ia melewati kerumunan, beberapa orang tersenyum dan ada yang berbisik-bisik, seolah membicarakan betapa menariknya penampilannya.
“Mungkin ini juga salah satu keuntungan dari seragam ini,” pikirnya, merasa sedikit gugup namun tetap berusaha untuk tidak terlalu memperhatikannya.
Sebuah suara lembut memanggilnya. “Anak muda, mau beli ini?” Seorang penjual sayur mengulurkan sebungkus sayuran segar dengan senyum ramah. Akbar tersenyum kembali, merasa hangat dengan sambutan itu.
“Terima kasih, Bu! Tapi saya sedang mencari makanan berat,” jawabnya dengan sopan.
“Ah, coba lihat kios di sebelah sana! Mereka menjual bakmie yang enak sekali,” saran wanita itu dengan antusias.
Ketika wanita tua itu menyebut bakmie, Akbar langsung teringat akan tempat itu—sebuah warung kecil di sudut pasar yang selalu ramai. Aroma mie yang menggoda dan kuah kaldu yang kaya rasa seakan menghidupkan kembali kenangan indah dari kehidupannya yang lama.
“Bakmie? Oh, itu favoritku!” serunya dengan semangat. “Di mana letaknya, Bu?”
Wanita itu tersenyum lebar. “Langsung belok ke kanan setelah kios keripik pisang, tak jauh dari sini. Mereka punya bakmie ayam yang luar biasa, dan jangan lupa minta tambahan sambalnya. Rasanya mantap!”
Akbar mengangguk, berterima kasih, dan segera melangkah ke arah yang ditunjukkan. Dengan setiap langkah, kenangan-kenangan masa kecilnya berkelebat di benaknya—berbagi bakmie dengan keluarganya, tertawa bersama teman-teman, dan rasa hangat saat menikmati makanan di tempat yang sederhana.
Setibanya di warung, dia bisa melihat kerumunan pelanggan yang sedang menikmati hidangan mereka. Suara sendok yang beradu dengan mangkuk dan aroma lezat yang menyelimuti udara membuat perutnya keroncongan.
Dia pun memesan seporsi bakmie ayam dengan ekstra sambal. Tak lama kemudian, mangkuk besar berisi mie yang steaming panas tiba di depannya. Dia mengaduk mie dan menambahkan sambal, lalu mengangkat sendok pertama.
“Hmm, ini benar-benar enak!” Akbar menyantapnya dengan lahap, merasakan kenikmatan yang selama ini dirindukannya. Setiap suapan membawa kembali memori-memori indah, membuatnya merasa lebih dekat dengan keluarganya yang telah lama hilang.
Sambil menikmati bakmie, Akbar memperhatikan sekeliling. Dia melihat wajah-wajah familiar—seorang bapak yang sedang tertawa dengan anaknya, sekelompok teman yang berbagi makanan, dan pasangan yang saling bercanda. Semua ini membuatnya merasa hangat dan terhubung, seolah dia juga menjadi bagian dari momen-momen itu.
“Jika aku bisa menemukan keluargaku, mungkin kami juga bisa berbagi kenikmatan seperti ini,” pikirnya, harapannya semakin membara.