Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CINTA YANG TERSISA
Langit sore tampak lembayung, dengan semburat merah jambu yang memudar di balik awan. Di taman kecil yang sepi, Bima dan Megha duduk berdampingan di bangku kayu. Tangan Bima perlahan menyentuh tangan Megha, mengenggamnya erat, seolah enggan melepaskan. Di sekitar mereka, burung-burung berkicau lembut, menemani hening di antara mereka.
“Bima, kenapa tiba-tiba ngajak ke sini lagi?” Megha bertanya, matanya sedikit terpejam, menikmati sentuhan lembut angin sore yang menyapu wajahnya.
Bima menoleh, menatapnya dalam-dalam. Senyumnya tipis, namun penuh arti. “Aku cuma pengen kita inget momen-momen ini. Tempat ini... tempat yang dulu jadi awal dari semua.”
Megha tersenyum kecil, ingatannya melayang ke masa lalu. Di taman ini, mereka pertama kali bertemu, ketika Megha tersesat saat jogging dan Bima, dengan kemeja santainya, menawarkan bantuan. Sejak hari itu, hidup mereka seolah terikat oleh takdir yang tak terduga.
“Banyak hal yang berubah sejak saat itu, ya?” Megha bergumam, suaranya dipenuhi dengan nostalgia.
“Banyak. Tapi ada yang nggak pernah berubah,” jawab Bima. “Perasaanku ke kamu.”
Megha diam. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di balik kata-kata itu, sesuatu yang selama ini ia hindari untuk dipikirkan. “Kamu baik banget, Bim... terlalu baik.”
Bima tertawa kecil. “Aku cuma pengen kamu bahagia, Meg. Apapun yang terjadi nanti, itu yang paling penting buat aku.”
Hati Megha terasa hangat mendengar kata-kata itu, tapi ada perasaan aneh yang mengganjal. “Kamu nggak perlu ngelakuin semua ini kalau bikin kamu sakit, Bim.”
Bima menggenggam tangan Megha lebih erat, menatap ke depan, seolah mencari jawaban di balik cakrawala. “Nggak apa-apa. Mungkin aku nggak bisa kasih kamu semua yang kamu butuhin. Tapi aku bisa kasih kamu kenangan indah. Dan itu yang aku lakuin sekarang. Setidaknya, nanti, kita bisa nginget semuanya dengan senyum.”
Hening kembali menyelimuti mereka. Waktu seakan berhenti di taman itu. Bima berusaha sekuat tenaga menahan rasa perih yang menyeruak di dadanya. Ia tahu, kebersamaan mereka tidak akan berlangsung lama lagi. Namun, ia tak mau membuat Megha sadar akan itu.
Saat matahari mulai tenggelam, Bima berdiri dan menggandeng tangan Megha. “Ayo, kita ke kafe langganan kita. Makan roti kesukaan kamu.”
Megha tertawa kecil. “Roti coklat? Kamu beneran inget semuanya, ya?”
“Gimana bisa lupa? Setiap detik bareng kamu selalu aku inget,” jawab Bima sambil tersenyum lembut.
Di kafe kecil itu, mereka menghabiskan malam dengan tawa, cerita, dan kenangan. Bima membuat Megha tertawa dengan cerita-cerita konyolnya, meski di dalam hati ia tahu ini adalah cara terakhirnya untuk memberi kebahagiaan pada Megha.
Saat malam semakin larut, dan mereka bersiap untuk pulang, Megha merasakan sesuatu yang berbeda. “Bima... kenapa rasanya malam ini spesial banget?”
Bima terdiam sejenak, menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab. “Karena... ini mungkin salah satu malam terakhir kita kayak gini.”
Megha tersentak. “Apa maksud kamu?”
Bima hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca. Tapi ia tak ingin memberikan penjelasan lebih. “Yang penting, kita bahagia malam ini.”
Megha tahu ada yang tidak beres, tapi ia juga tahu bahwa Bima selalu memikirkan yang terbaik untuk mereka. Di dalam hatinya, Megha hanya bisa berharap apa pun yang terjadi, cinta mereka akan selalu tersisa, menjadi kenangan yang abadi.
Bima mengantar Megha pulang, dan ketika mereka berdiri di depan pintu, Megha merasakan air matanya menetes tanpa ia sadari. “Bima, terima kasih... untuk semuanya.”
Bima tersenyum, lalu mengecup lembut keningnya. “Aku yang harus terima kasih, Meg. Kamu adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.”
Malam itu, Megha masuk ke rumah dengan perasaan campur aduk. Sedangkan Bima, berdiri di depan pintu, menatap langit malam yang pekat, berharap ada keajaiban yang bisa memperpanjang waktu mereka bersama.
Cinta yang tersisa di antara mereka begitu dalam, penuh kenangan yang akan terus hidup, meski pada akhirnya waktu tak berpihak pada mereka.
Hari-hari berlalu, dan meski Bima berusaha menyembunyikan rasa sakitnya, Megha bisa merasakan perubahannya. Di balik senyumannya, ada kerinduan yang mendalam. Ia berusaha menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan Bima, mengunjungi tempat-tempat yang mereka sukai dan melakukan hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia. Namun, di dalam hati mereka, semua tahu bahwa waktu yang tersisa semakin sedikit.
Suatu sore, saat Bima dan Megha sedang berjalan-jalan di pantai, mereka duduk di atas pasir yang hangat, menikmati suara ombak yang berdebur lembut. Bima meletakkan tangan di belakang kepala dan memandang langit yang mulai berwarna jingga keemasan.
“Bima, apa kamu pernah berpikir tentang masa depan?” tanya Megha dengan suara pelan, seolah ragu untuk mengucapkannya.
Bima menoleh ke arah Megha. “Masa depan?” Dia tersenyum getir. “Kadang aku merasa masa depan itu terlalu jauh untuk kita bicarakan.”
“Tapi, kita harus memikirkan itu, kan?” sahut Megha, menatap Bima dengan mata penuh harapan. “Apa yang ingin kamu lakukan setelah ini?”
Bima menghela napas. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Meg. Masa depan bisa menjadi apa pun, tapi aku harap kamu selalu menemukan kebahagiaanmu.”
Megha menunduk, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. “Dan kamu, Bim? Apa kamu akan bahagia tanpa aku?”
Bima terdiam sejenak, merasakan beban yang tak terkatakan. “Aku tidak tahu. Mungkin aku akan berusaha, tapi setiap sudut hatiku akan selalu mengingatmu.”
Lalu, Bima meraih tangan Megha, menggenggamnya erat. “Mari kita buat kenangan, bukan hanya tentang yang akan datang, tapi juga tentang saat ini. Kenangan yang bisa kita simpan selamanya.”
Megha mengangguk, merasakan kehangatan genggaman tangan Bima. Mereka kemudian berbagi cerita, tertawa, dan berkeliling di sepanjang pantai. Setiap momen terasa berharga, seolah mereka sedang menambah daftar kenangan yang tak akan pernah pudar.
Ketika senja semakin gelap, Bima tiba-tiba menarik Megha ke dalam pelukannya. “Jangan lupakan aku, Meg. Apa pun yang terjadi, ingatlah kita pernah berbagi cinta yang tulus.”
Megha menatap Bima dengan tatapan penuh kasih sayang. “Aku tidak akan pernah melupakanmu. Kamu adalah bagian dari hidupku, dan itu tidak akan pernah hilang.”
Di saat-saat terakhir sebelum mereka berpisah, Bima berbisik, “Jika ada kesempatan untuk kita bertemu lagi di masa depan, aku harap kamu bisa merasakan cintaku seperti sekarang.”
Malam itu, ketika mereka berpisah, Megha merasakan kehangatan pelukan Bima yang menghangatkan hati, tapi juga kesedihan yang mengikis semangatnya. Dia tahu, perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang berbeda.
Beberapa hari kemudian, saat Bima kembali ke rumah, ia duduk sendirian di kamarnya. Kenangan-kenangan indah berseliweran dalam pikirannya, dan rasa sakit semakin menyengat. Ia memutuskan untuk menulis surat untuk Megha, mengekspresikan perasaannya yang tak pernah bisa ia katakan secara langsung.
---
Surat untuk Megha
Untuk Megha,
Setiap hari bersamamu adalah hari terindah dalam hidupku. Aku ingin kamu tahu bahwa cintaku padamu tidak akan pernah pudar. Bahkan jika kita terpisah, kenangan kita akan selalu terukir di dalam hatiku.
Jangan pernah merasa sendiri, karena aku selalu ada di sampingmu, meskipun kita tidak bisa bersama secara fisik. Temukan kebahagiaanmu, kejar impianmu, dan jadilah versi terbaik dari dirimu. Jika kamu merasa kehilangan, ingatlah bahwa kita memiliki cinta yang tulus, yang akan selalu menemani kita di setiap langkah.
Selalu ada harapan untuk cinta yang akan datang. Dan jika ada saatnya kita bertemu lagi, aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu menunggu. Cintaku padamu adalah abadi.
Dengan sepenuh hati,
Bima
---
Setelah menulis surat itu, Bima merasa sedikit lega, seolah beban di dadanya sedikit berkurang. Ia berharap surat itu bisa menyampaikan semua perasaan yang tak terucapkan.
Megha menerima surat itu dengan air mata di pipinya. Ia tahu bahwa cinta mereka, meskipun penuh tantangan, adalah sesuatu yang sangat berharga. Ia bertekad untuk menghargai setiap kenangan dan melanjutkan hidupnya dengan cara yang Bima harapkan.