Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Hati, kau sangat menyebalkan
Setelah urusanku di toko Laras selesai. Aku teringat charger yang tertinggal di rumah ibuk, segera ku pacu motorku kesana tanpa mengabari Ain, tentunya masih dengan perasaan jengkel. Tidak perlu waktu lama untukku sampai di rumah ibuk. Ada motor terparkir di halaman rumah ibuk, mataku langsung tertuju pada ruang tamu sekaligus berjalan pelan ke arah sana, dengan niat menyelidik. Lelaki berseragam sama dengan Ain sedang duduk sendiri. Dia orang sama yang tadi bersama Ain, melihatku berdiri di depan pintu, dia langsung berdiri berniat menyambut ku, tentu aku menghampirinya dan kami berjabat tangan.
“mas”dia menyapaku dengan sedikit menurunkan bahu, sopan. Namun, pikiranku terlanjur menerka jauh, tentu dengan suhu di dalam dada yang semakin meningkat, mungkin wajahku juga terlihat kesal. Aku langsung pergi dari ruang tamu. Sepertinya Ain sedang di dapur, aku menuju ke arahnya.
“mas.. baru datang?”sapanya membawa secangkir kopi yang dia pegang pada tangan kanan.
”bentar mas, aku antar kopi ini dulu, setelahnya baru jatahmu.”suara Ain santai, sama sekali tidak menyadari rasa kesal ku. Dia mulai melangkah menuju ruang tamu.
“aku bikin kopi sendiri saja. Kasian, dia nunggu sendiri.”jawabku ketus sambil menyalakan kompor, sisa air pada teplon bekas Ain masih cukup untuk segelas kopi. Aku masih menahan kesal, berdiri mematung memandang air yang sudah mendidih dengan kompor yang masih menyala.
“cepat tuang le, nanti airnya habis, menguap.”ibuk mengagetkanku dari belakang.
“Ain tadi pulang sama dia buk?”tanyaku langsung, seraya menuangkan air panas pada gelas yang sudah berisi racikan kopi, kemudian mengaduknya.
Meski gula dan kopi akan terasa nikmat setelah di satukan oleh air panas, dengan komposisi yang pas, tentunya. Namun, tanpa adanya peran sendok, gula akan tetap keras kepala mengendap di dasar gelas.
“iya le, katanya teman kelompok sekaligus anak dari salah satu guru di pesantrennya.”
Aku menarik nafas panjang, dengan rasa khawatir semakin membesar. Ibuk meminta tolong untuk membawa sekeranjang baju yang baru di cuci ke tempat jemuran, ada di samping rumah. Ada kursi bekas di teras tempat menjemur pakaian, aku duduk di sana. Meminum kopi yang kehilangan nikmatnya karena suasana hatiku sedang risau, sambil memperhatikan laku ibuk, beliau mulai menggantung satu persatu baju pada kawat jemuran, ibuk sadar dengan gelagat wajahku, beliau tersenyum dan beberapa kali mengejekku dengan sindiran-sindiran halus. Aku cuma bisa tersenyum sambil menahan jengkel, bukan karena ucapan ibuk tapi lebih ke membayangkan apa yang sedang dilakukan Ain sekarang. Saat aku hendak pamit, ibuk memberiku sedikit nasehat.
“ini kan pilihanmu le. Yakin saja pada takdirmu, jangan terlalu berlebihan membebani pikiranmu sendiri dan juga jangan lupa untuk terus berdoa."
Aku pulang tanpa pamit dengan Ain, keluar tanpa melewati pintu ruang tamu. Kulihat bertambah lagi jumlah motor yang terparkir di halaman, menjadi tiga motor. Ain melihatku ketika hendak menyalakan motor, dia berdiri. Mungkin berniat berjalan ke arahku, namun ku hiraukan, aku masih kesal dan memilih memutar motor lalu pergi begitu saja.
***
Sepanjang jalan pulang aku mencoba menyederhanakan semuanya. Rasanya begitu lucu, baru tadi pagi aku mulai merasa lebih berhak atas Ain dan sedikit menaikan harapanku. Namun, lagi-lagi hanya dengan satu moment saja, ketika hatiku tidak setuju dengan apa yang ku lihat, semua kegelisahan itu seketika kembali.
Aku melaju pelan, pikiranku masih belum menemukan titik temu. Semakin dekat arah menuju toko, semakin malas pula niatku untuk pulang. Apalagi teringat dengan suasana toko yang masih kurang baik.
Toko Laras. Tiba-tiba aku ingin kesana, aku juga masih memegang kunci rolling door nya. Segera aku memutar mengganti tujuan.
Sesampainya di sana aku hanya membuka sebelah pintu, menyalakan semua lampu, mengambil satu kursi dan meletakkannya di tengah pintu masuk, sedikit ke dalam. Desain yang istimewa, lagi-lagi aku terkagum. Cahaya lampu menyempurnakan tampilannya.
”pulang gak pamit!”di sertai dengan stiker anak kecil berwajah marah, Ain mengirim pesan padaku. Hembusan nafas panjang keluar dari mulutku, memejamkan mata seraya mendongak ke atas, menyandarkan kepala bagian belakang pada ujung badan kursi, memutar HP di antara jari tangan kanan, belum ada niat untukku menjawab pesan itu.
Andai saja logikaku yang memimpin, semua tidak akan semenyebalkan ini. Tanpa sebuah kesepakatan, kenapa sulit sekali untuk menumbuhkan rasa percaya. Aku sadar, sangat sadar. Apa yang ku lihat tidak selalu mewakili sebuah kesimpulan, tapi hatiku terlalu banyak ikut campur, hingga menyulitkan ku menerima. Sepertinya terlalu sering bertemu hanya akan menyeret ku pada banyak situasi pelik.
Hati..!! kau benar-benar sangat menyebalkan.
Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel pada pipi kiriku. Tentu saja aku sangat kaget, membuka mata dengan cepat lalu menengok ke arah belakang. Senyum manisnya menyapa, sepertinya dia puas melihat ekspresi kaget ku.
“ngapain mas? sendiri disini!”sapa Laras. Dia hanya memakai kaos cokelat lengan panjang dengan kerudung warna hitam, minuman dingin ada di tangan kanannya.
“astaga!! Untung kau belum kena tampol, kirain setan.”aku masih mengelus dada sembari membuang nafas panjang. Laras terkekeh.
“gimana ya... kalau aku beneran jadi setan! Yang hanya muncul saat kau mulai memejamkan mata..”celotehnya dengan sedikit mendongak ke atas. Tawanya masih belum hilang, sepertinya suasana hati Laras sedang bagus. Aku mengambil paksa botol minuman yang ada di tangannya, segera ku minum beberapa teguk, menguatkan tekad.
”sederhanakan tentang Ain!! Mari bangun kembali logika dengan benar.”batinku.
Laras bengong.”sudah ku kembalikan, aku kan cuma pinjam bentar. Hehe-”ku tempatkan kembali botol itu, pada tangannya yang masih mematung.
”tapikan.. itu bekasku.”protesnya dengan wajah mulai memerah. Aku nyengir tanpa dosa.
“kau dari mana? Bagaimana bisa tau aku ada disini.”tanyaku mulai bangkit dari kursi, berjalan menuju salah satu kata bijak yang terbingkai dalam pigura, menempel pada dinding.
”gak sengaja lewat mas, baru nganter ayah ke stasiun katanya ada kerjaan di luar kota.”Laras masih menyender di pintu masuk, dia mengambil HP dari tas kecilnya.
”pikirku siapa yang membuka toko dan menyalakan semua lampu.”imbuhnya menjelaskan.
“hehe.. maaf, aku penasaran seperti apa tampilannya saat malam hari, desain mu benar-benar hebat.”pujiku, masih menatap pigura berukuran 50x30cm yang bertuliskan.
”suasana halaman hatimu. Menentukan, lalat ataukah kupu-kupu yang akan berkerumun di sana.”
“lalat ataupun kupu-kupu yang berada di halamanku, apapun itu tak masalah.”ucapku menoleh ke arah Laras.
“alasannya...”dia berjalan mendekat.
“karena mereka hanya berkumpul di halaman dan yang ku butuhkan hanya satu kupu, untuk menemaniku di dalam rumah.”jawabku. Meski baru saja menguatkan tekad, nyatanya wajah Ain tetap sangat jelas dalam imajinasiku dan berharap dialah kupu-kupu itu.
Laras tersenyum.”ternyata kau punya sisi seperti ini juga.. hehe.”senyumnya perlahan menjadi tawa kecil. Obrolan kami berlanjut, duduk di depan etalase yang masih kosong. Laras yang lebih banyak berbicara, bercerita tentang masa-masa kuliahnya yang hampir usai. Termasuk ekspektasi dari ayahnya yang membuat Laras tidak pernah terpikirkan masalah asmara, beberapa kali aku menggeleng kepala mendengar betapa disiplinnya kehidupan yang dia jalani. Seolah keluarganya memiliki tiket khusus untuk mengatur kemana arah takdir mereka berjalan.