Seharusnya

Seharusnya

1. Bebas, hanya kedok penutup sepi.

Dering HP perlahan menyadarkan aku. Berat, tubuhku terasa belum bisa merespon sepenuhnya. Dengan reflek, tangan kananku mencari-cari dimana sumber suara itu.

”halo...“

Aku mengangkat telpon dengan nyawa yang belum sepenuhnya kembali. Ternyata bosku yang menelepon, suaranya masih terdengar samar, bertanya jumlah salah satu stok aroma parfum laundry. Besok kita mendapat banyak pesanan untuk aroma tersebut, itulah yang dikatakannya. Setelah mendengar semua perintah, tak perlu waktu lama untukku segera mengakhiri panggilan tersebut.

Dengan tubuh yang masih malas, ku lirik angka jam pada pojok kiri atas HP. 12.21. Suara decakan keluar dari mulutku,”pantas kepalaku pusing, belum ada 15 menit aku tidur.”

Aku kembali menaruh HP tepat di atas wajah, tanpa sedikitpun mengubah posisi. Terlentang pada kursi yang ada di dalam gudang toko parfum tempatku bekerja, berbantalkan jaket yang ku taruh di atas tanganan kursi lalu memejamkan mata, berharap kembali terlelap biarpun cuma sekian menit.

Belum juga lelap ku kembali, suara kodok berbunyi, tanda pesan WA masuk. Membuatku kembali membuka mata dengan terpaksa. Lagi, suara decakan keluar dari mulutku bersamaan dengan pesan yang kubuka.

”jangan lupa nanti sore kirim barang, list nya segera ku kirim sekalian.”

“siap!”balasku singkat sambil bersiap bangun.

”biasanya juga aku sendiri yang ngelist!”gumanku sendiri, merasa tidak terima karena tidur siangku tidak selancar hari-hari sebelumnya.

Setelah selesai mencuci muka dari kamar mandi, aku menyiapkan semua alat juga bahan-bahan untuk membuat parfum laundry. Biasanya aku meracik berdua, tapi karena temanku resign beberapa hari yang lalu, dengan terpaksa aku mengerjakannya seorang diri.

Menakar semua bahan secara rinci, mulai dari metanol, fixatif, juga bibit parfum dengan komposisi dan urutan yang sudah berada diluar kepala. Sekitar dua jam aku menyelesaikan tugas pertama, botol ukuran satu liter berbaris rapi dengan stiker AL-KAUTSAR selaku nama toko kami dan snappy nama aroma parfum laundry yang baru saja ku buat menempel pada badan botol tersebut.

Aku Nyalakan sebatang rokok, menikmati beberapa hisapan awal sebelum bersiap keluar dari gudang membawa dua keranjang kosong, menuju toko yang berada dalam satu atap hanya terhalang kamar mandi dan dapur, posisi toko berada pada sekat paling depan. Aku bersiap untuk mengumpulkan barang yang ada dalam list.

”bantu aku menyiapkan barang, list nya sudah kukirim padamu.”pintaku pada Vika, saat melintas di sebelahnya. Dia adalah partner sekaligus teman akrabku, ia juga termasuk karyawan senior, sudah tiga tahun lebih kami menjadi rekan kerja. Meski akulah yang paling senior dari semua karyawan yang terbagi dalam 7 cabang toko.

”sudah berapa kali kubilang! Kau tetap saja mengulanginya!”Vika sedang marah pada lawan bicaranya dalam telpon, cempreng dengan intonasi cepat adalah ciri khas suaranya.

Suaraku tidak dia hiraukan, dia bahkan belum menyadari kehadiranku.

”bentar lagi dia pasti mencari pelampiasan!”gumanku sendiri, mencoba menebak. Aku masih berjalan menuju lemari pendingin, tempat aneka minuman tertata rapi, terletak di pojok kiri depan toko.

”kapan mulut itu bisa di percaya dan sejalan dengan tingkahmu! Terus saja pancing emosiku! Bikin bosan saja.”nada Vika semakin meninggi, sebelum akhirnya dia menutup telpon dengan paksa serta HP yang ia lempar tepat pada kardus kecil tempat bekas nota transaksi.

Karena wajah antagonisnya masih jelas terpampang, aku segera menyodorkan botol minuman dingin padanya. Belum juga tanganku lepas dari botol, tangan kanan wanita yang selalu marah saat kusebut gendut itu, main serobot tanpa ekspresi terima kasih.

"Bukan gendut! Tapi gemoy... camkan itu!"seperti itulah kalimat andalan yang selalu Vika gunakan.

”tumben kau cerdas El.”ucapnya, sambil membuka segel tutup botol itu.

Ghozali adalah namaku. Tapi, sejak dulu hampir semua orang memanggilku dengan sebutan EL. Tidak ada alasan khusus untuk itu.

”biar kau malu, misal punya rencana ingin menjadikanku pelampiasan.”jawabku menatap foto dari galery HP. Tanpa memperhatikan gelagat Vika.

“sekaligus otot-otot dalam lehermu biar kembali tenang, juga wajahmu biar tidak menua sebelum waktunya.”lanjutku mengejeknya, sambil mulai mengumpulkan barang yang ada dalam list. Aku berdiri di samping rak parfum yang paling dekat dengan etalase, keranjang kotak warna biru ada di sebelahku.

”sial kau! Habis, gimana gak kesal coba. Sudah sering kubilang kalau mau pergi chat dulu, tapi dia selalu saja beralasan, lupalah, gak sempat lah. Males!”gerutunya di sela-sela air dingin yang dia teguk.

Vika masih duduk di depan mesin kasir, dengan HP yang sudah kembali ditangannya. Sebentar, aku melirik ke arahnya sebelum kembali melanjutkan tugas.

Aku yang sudah hafal dengan tabiat cewek satu ini, hanya mendengarkan ocehannya sambil mimik mulutku menirukan setiap kata yang keluar dari mulut partner kerjaku itu

”emang dasar! Hobi sekali dia mancing emosi!”Lanjutnya mengoceh panjang, lebar tanpa titik. Sedangkan aku, masih terus asyik menirukan gaya bicaranya dengan tangan yang tetap bekerja.

”planggg!!!”

Tiba-tiba botol kosong mendarat tepat di kepala, tanpa kusadari Vika sudah tepat berada di belakangku.

Keningnya mengerut dengan sempurna, wajah penuh geram menyapaku.

"apa maksud bibirmu itu. Mengejekku!”serunya melotot dengan botol bekas terus ia pukulkan pada kepalaku, layaknya bass drum.

Aku menunduk menahan tawa.”hehe, kapan kau sampai di belakangku Vik. Maaf..”ucapku nyengir, tak bisa membuat alasan.

”apa memang semua cowok gak ada yang peka!! Susah sekali memahami maksud pasangannya.” dia masih saja protes seakan belum puas.

Aku mengernyit.”iya ndoro! Semua cowok memang tidak peka. Putuskan saja dia, biar kau tidak punya keluhan lagi terhadap kami, kaum salah yang tak pernah peka.”nadaku mengejek karena merasa ikut jadi tersangka.

”saranmu sesat, El.”gumannya. mulai melihat daftar list dan bersiap membantu.

aku menghela nafas panjang.”dasar wanita! Ini pasti salah satu efek dari bahan baku kalian, iga yang bengkok.”keluhku lirih. Vika mendengarnya dan langsung menyambar tanpa ragu.

”siapa juga yang berminat mengikuti jejakmu!”ucapnya ketus.

”selalu bangga dengan kata bebas, padahal itu hanya kedok untuk menutupi kesepianmu.”lanjutnya berganti mengejekku penuh penekanan, ucapannya membuatku kalah seketika.

”sial! ampun ndoro, mari sudahi ini dan segera masukan data dalam stok.”aku sengaja mengubah topik pada pekerjaan. Vika tertawa puas. Ia memang mulai membantu, namun mulutnya masih terus nyerocos seakan lupa jika beberapa menit yang lalu dia masih dalam keadaan marah-marah.

”bodo amat!” jawabku tak peduli dengan semua ejekannya. Aku segera pergi meninggalkannya setelah selesai mengumpulkan semua barang yang ada dalam list pada sebuah keranjang kotak, mengambil mobil inventaris dan bersiap mengirim barang.

***

Pukul 20:11 sebatang rokok beserta secangkir kopi hitam sedang aku nikmati. Merebahkan diri karena sudah terbebas dari tugas, mendengarkan ringkasan sebuah film lewat YT sudah menjadi kebiasaanku ketika sedang malas login game.

Suara narator dengan nada bicara dan intonasi khusus yang menjadi ciri khasnya menggiringku masuk ke dalam imajinasi, membayangkan apa yang terjadi pada adegan yang sedang dia bicarakan.

Dering HP mematikan paksa suara narator, padahal aku mulai menikmati alur dari film yang sedang dia ringkas itu. Aku meraih HP yang tergeletak di atas meja, tanpa sedikitpun mengubah posisi. Nama emak(2) muncul di layar.

Terpopuler

Comments

Steven Vasquez

Steven Vasquez

halo juga

2024-07-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!