Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Beberapa minggu setelah pernikahan, Akil dan Nisa akhirnya memutuskan untuk pergi berbulan madu ke luar kota. Bagi mereka, ini adalah momen yang dinantikan—waktu untuk bersama lebih lama dan mengenal satu sama lain tanpa gangguan. Namun, di ruang tamu, terlihat ibunya Akil yang mengerutkan kening, tampak ragu saat Akil dan Nisa berpamitan.
“Ibu, kami pergi hanya beberapa hari saja,” kata Akil sambil tersenyum, mencoba menenangkan ibunya.
“Tapi, Nak,” kata ibunya, suaranya lembut tapi tegas. “Nisa baru saja tiba di sini. Perjalananmu waktu menjemputnya juga sudah jauh. Ibu cuma khawatir kalian terlalu lelah... terutama Nisa yang masih beradaptasi di sini.”
Nisa menunduk, merasa sedikit bersalah. Ia tahu, sebagai menantu baru, keberadaannya sudah membawa perubahan di rumah ini, dan mungkin juga beban. Di hatinya, ia tak ingin membuat ibu mertuanya cemas.
“Bu, jangan khawatir,” kata Akil sambil menggenggam tangan Nisa. “Saya bisa menjaga Nisa, dan perjalanan ini tidak akan lama. Kami hanya ingin waktu untuk menikmati awal pernikahan kami bersama-sama. Ini akan membuat kami lebih dekat.”
Ibunya terdiam sejenak, jelas belum sepenuhnya yakin. Ia menatap Nisa dengan pandangan yang dalam, seperti ingin memastikan semuanya akan baik-baik saja.
“Nak, Ibu bukan tidak setuju. Hanya saja... Ibu khawatir. Kehidupan rumah tangga tidak hanya tentang jalan-jalan atau bulan madu. Apalagi, kau sudah banyak mengeluarkan uang untuk perjalanan jauh waktu menjemput Nisa,” kata ibu mertuanya pelan.
Akil tersenyum tipis, berusaha menenangkan. “Bu, saya paham. Tapi ini hanya sekali, sebagai awal dari kebersamaan kami. Ini tidak akan mengganggu rencana kami ke depan.”
Ibunya akhirnya mengangguk dengan berat hati. “Baiklah, kalau begitu. Tapi Ibu harap, kalian hati-hati, ya.”
“Terima kasih, Bu,” kata Nisa, matanya berbinar meski ada sedikit keraguan di dalamnya. Ia sadar, ada harapan besar di pundaknya sebagai menantu baru, dan ini bukan hal mudah.
Setelah berpamitan dengan semua anggota keluarga, Akil dan Nisa akhirnya berangkat, perasaan mereka bercampur antara bahagia dan penuh harapan. Namun, di rumah, sang ibu masih memandang kepergian mereka dengan hati yang tak tenang. Ada sesuatu di benaknya yang membuatnya ragu, rasa khawatir yang tidak bisa ia jelaskan. Ditambah lagi, saudara Akil tampak tak sepenuhnya setuju, mereka diam-diam merasa bahwa perjalanan ini adalah pengeluaran yang tidak perlu.
Di dalam mobil, Akil menyadari perasaan berat yang mungkin dirasakan oleh Nisa. “Jangan terlalu dipikirkan,” katanya lembut. “Ibu hanya khawatir. Nanti, setelah kita kembali, semua akan baik-baik saja.”
Nisa tersenyum, meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusan mereka untuk berbulan madu ini adalah langkah yang tepat untuk mempererat ikatan mereka. Dengan pandangan penuh harapan, mereka melaju di jalanan, menikmati awal perjalanan baru sebagai pasangan yang ingin semakin mengenal satu sama lain.
___
Mobil melaju santai menyusuri jalanan yang membentang, dengan pemandangan bukit hijau dan langit biru yang menemani perjalanan mereka. Nisa duduk di kursi penumpang, wajahnya berseri-seri, matanya tak henti-hentinya memandangi keindahan yang tersaji di luar jendela. Setiap sudutnya terasa baru baginya, penuh warna dan hidup.
"Senang banget ya, sayang?” Akil tersenyum, melihat ekspresi kagum istrinya.
Nisa mengangguk dengan antusias, matanya berkilauan. “Mas ,tau tidak! ini pertama kali aku keluar jalan-jalan seperti ini. Di kampung, kalau aku tidak ke surau, paling-paling cuma ke rumah sepupu. Atau kalau bosan, ya main di tanah lapang, hibur adik-adik.”
Ia tertawa kecil, namun ada kehangatan di dalam tawanya. “Aku ini memang bukan tipe yang sering jalan ke luar. Teman-teman di kampung sering bilang aku tidak tahu bergaul, tapi... aku tidak keberatan.”
Akil mendengarkan cerita Nisa dengan senyum kecil di wajahnya. Ia bisa merasakan kepolosan dan kebahagiaan istrinya yang sederhana. Ada sesuatu yang indah dalam kesederhanaan itu.
“Lucu, ya,” lanjut Nisa. “Teman-teman tidak pernah menyangka aku yang jarang keluar rumah ini tiba-tiba bisa menikah dengan pria kota seperti Mas Akil. Mereka sempat bilang, aku ini putri desa yang tak mungkin pergi kemana-mana. Sekarang mereka malah bilang iri padaku!”
Akil tertawa, sedikit membusungkan dadanya, pura-pura bangga. “Jadi, aku ini seperti pangeran yang datang menjemput putri desa, ya?” godanya.
Nisa tertawa mendengar kata-kata Akil. “Iya, iya... anggap saja begitu. Memang, Mas Akil seperti pangeran bagiku.” Ia tersenyum, menatap Akil penuh rasa syukur. “Aku merasa sangat beruntung, Mas. Kalau dipikir-pikir, semua ini seperti mimpi. Dari dulu aku hanya bisa membayangkan, tapi sekarang aku bisa menikmati tempat baru, suasana baru… semuanya terasa sangat luar biasa.”
Akil meraih tangan Nisa dan menggenggamnya lembut. “Kalau begitu, aku janji, ini bukan kali terakhir. Kita akan buat banyak kenangan indah. Kamu tidak perlu merasa lagi seperti putri yang terkekang di dalam rumah. Sekarang kamu bebas melihat dunia lebih luas.”
Nisa tersenyum haru, merasakan kebahagiaan mengalir dalam hatinya. Mereka melanjutkan perjalanan dengan perasaan yang hangat dan penuh cinta, menikmati momen berdua dan menyimpan kenangan indah yang tak terlupakan dalam perjalanan pertama mereka sebagai suami istri.
Setelah menempuh perjalanan yang hampir dua jam, akhirnya Akil dan Nisa tiba di tempat tujuan. Udara segar khas pegunungan menyambut mereka begitu mereka keluar dari mobil, diiringi hembusan angin dingin yang menusuk kulit. Di sekeliling mereka, hamparan kebun teh terbentang luas di lereng bukit, menyatu dengan pemandangan alam yang hijau dan menenangkan.
Nisa merapatkan kedua lengannya, menggigil sedikit. "Dingin, ya, Mas," katanya sambil tersenyum, tapi ada kilauan kebahagiaan di matanya.
Tanpa berkata-kata, Akil merangkul Nisa, menariknya lebih dekat ke dalam dekapannya. Nisa tersenyum, merasa hangat dalam pelukan suaminya. Di tempat yang begitu tinggi, ia merasa terlindungi, seperti ada kekuatan yang menyelimuti dirinya.
Bersama-sama, mereka berjalan ke tepi bukit, berdiri di titik yang memungkinkan mereka melihat pemandangan luas di bawah. Dari sana, hamparan kota terlihat kecil, seperti miniatur dunia yang tenang dan damai. Cahaya matahari pagi menyinari permukaan bukit, membuat pemandangan terlihat semakin indah dan menenangkan.
“Mas... aku tidak pernah membayangkan bisa melihat pemandangan seindah ini,” bisik Nisa, suaranya hampir tenggelam dalam kekagumannya. "Lihat itu, kota-kotanya terlihat kecil sekali dari sini, ya. Seperti dunia kita hanya selebar ini."
Akil tersenyum, menatap wajah Nisa yang berbinar. “Iya, dari sini, semuanya terlihat sederhana. Sama seperti hidup kita, sebenarnya sederhana saja asal kita nikmati. Semua terasa indah kalau kita saling ada, saling melengkapi.”
Nisa mengangguk, merasa begitu beruntung memiliki Akil di sisinya. Dalam pelukan suaminya, ia merasa aman dan bahagia, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Di tengah udara dingin dan pemandangan hijau kebun teh yang luas, mereka berdiri bersama, mengukir momen manis yang tak terlupakan.