Season 2 Pengganti Mommy
Pernikahan Vijendra dan Sirta sudah berusia lima tahun lamanya, namun mereka belum dikaruniai momongan. Bukan karena salah satunya ada yang mandul, itu semua karena Sirta belum siap untuk hamil. Sirta ingin bebas dari anak, karena tidak mau tubuhnya rusak ketika ia hamil dan melahirkan.
Vi bertemu Ardini saat kekalutan melanda rumah tangganya. Ardini OB di kantor Vi. Kejadian panas itu bermula saat Vi meminum kopi yang Ardini buatkan hingga akhirnya Vi merenggut kesucian Ardini, dan Ardini hamil anak Vi.
Vi bertanggung jawab dengan menikahi Ardini, namun saat kandungan Ardini besar, Ardini pergi karena sebab tertentu. Lima tahun lamanya, mereka berpisah, dan akhirnya mereka dipertemukan kembali.
“Di mana anakku!”
“Tuan, maaf jangan mengganggu pekerjaanku!”
Akankah Vi bisa bertemu dengan anaknya? Dan, apakah Sirta yang menyebabkan Ardini menghilang tanpa pamit selama itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19
Sebelum baca part ini, silakan baca Chapter 18 lagi, karena ada tambahan di part tersebut, semalam masih banyak yang kurang updatenya. Terima kasih.
Ardini langsung mengambil baju yang dipilihkan oleh Vi. Baju tidur warna merah muda, dengan motif renda, tanpa lengan, dan sangat cantik bila digunakan oleh Ardini. Vi asal mengambil baju itu, karena ia merasa Ardini akan cocok memakai baju itu.
“Tuan,” panggil Ardini.
“Apa, Adin? Kok masih di situ? Sana ganti bajunya?”
“I—ini gak ada model yang lain? Masa saya pakai baju tanpa lengan?”
“Kamu gak pakai baju di depanku saja sah-sah saja, kan kamu istriku? Kenapa pakai baju tanpa lengan kamu ini kebingungn?” ujar Vi.
“Saya gak biasa pakai baju begini, Tuan. Apalagi ini bajunya tipis?” ucap Ardini.
“Harus dibiasakan, kalau mau tidur pakai baju begini. Ini baju tidur yang bagus, Adin? Masa kamu pakai baju tidur Hello Kitty, Doraemon, sama Pokemon terus? Kayak keponakanku saja yang usianya lima tahun?” ucap Vi.
“Baiklah, Tuan. Saya ganti baju ini dulu,” ucap Ardini.
Dengan langkah ragu, akhirnya Ardini ke kamar mandi, untuk berganti pakaiannya. Sedangkan Vi, dia masih duduk di sofa dengan menyesap tehnya yang sudah mulai dingin. Vi langsung menoleh saat mendengar pintu kaamar mandi terbuka. Ardini keluar dengan memakai baju tidur pilihannya. Dress tanpa lengan berwarna merah muda, dengan motif berenda di bagian dadanya, dan lengan yang menggantung. Membuat Ardini terlihat begitu anggun dan feminim sekali. Ditambah perut Ardini yang sudah mulai menyembul membuat Vi terkesima dan bahagia melihatnya.
Vi tersenyum melihat Ardini yang berpakaian itu. Pakaian tidur pilihannya tadi sangat pas, sangat cocok digunakan oleh Ardini.
“Sini, Adin,” pinta Vi.
Dengan langkah kecilnya, Ardini mendekati Vi. Ia sambil mengusap lengannya, karena merasa dingin. Dengan sigap Vi mengganti suhu ruangan supaya lebih hangat. Ardini berdiri di depan Vi. Vi menyentuh kedua lengan Ardini, lalu mengecup keningnya.
“Adin, boleh aku usap perutmu?” pinta Vi.
“I—iya, Tuan. Silakan,” ucap Ardini.
Dengan perlahan, Vi menurunkan tangannya, dan dengan lembut Vi menyentuh perut Ardini yang sudah mulai membuncit. Vi menurunkan tubuhnya, ia berjongkok di depan Ardini, menghadap perut Ardini. Tak terasa air mata Vi luruh membasahi pipinya.
“Hai anak papa, sehat-sehat di peruh bunda ya, Sayang? Jangan nakal sama bunda. Kamu harus jadi anak yang hebat, anak kuat, yang bisa melindungi bundamu. Papa sangat berharap kamu bisa lahir dengan sempurna ke dunia ini, Nak. Papa sayang kamu,” ucap Vi dengan suara serak, lalu ia mencium perut Ardini dengan lembut.
Tak tahu kenapa hati Ardini menghangat, meskipun ia ikut menjatuhkan air matanya. Tangan Ardini terulur untuk mengusap kepala Vi yang sedang berada di depan perutnya.
“Aku janji, Papa. Aku akan lahir dengan sehat, aku akan jadi anak yang hebat, anak yang kuat,” ucap Ardini dengan suara seperti anak kecil.
“Terima kasih kamu mau mempertahankan kandunganmu, Adin. Sungguh aku sangat merindukan memiliki seorang anak. Aku ingin sekali memiliki anak, Adin. Tapi Sirta menolak keras dengan alasan yang tidak masuk akal,” ucap Vi dengan tatapan sendu.
“Tuan, mungkin Mbak Sirta belum siap untuk hamil, semoga suatu hari Mbak Sirta akan berubah pikiran, Tuan.”
“Semoga, tapi sepertinya tidak akan pernah bisa, Adin.”
“Kenapa tidak bisa? Orang itu berubah-ubah pikirannya, Tuan harus lebih banyak membujuk Mbak Sirta,” tutur Ardini.
“Nanti setelah kamu melahirkan, aku akan coba bicara lagi dengan Sirta. Sekarang aku tidak ingin mengganggu kesenangannya, biar saja dia melakukan apa pun yang dia suka, aku hanya ingin fokus dengan kamu, dan anak kita. Ayo tidur, sudah malam. Besok kita ketemu Dokter kandungan, aku ingin tahu perkembangan anakku,” ucap Vi.
“Besok? Apa tidak apa-apa kita keluar berdua, Tuan? Kalau ada yang melihat? Mbak Sirta, atau temannya? Atau bisa jadi keluarga Tuan?”
“Tidak masalah, kamu tidak usah takut akan hal itu. Sirta tidak di rumah malam ini, dia sedang di puncak, merayakan ulang tahun temannya. Mungkin tiga atau empat hari di sana, bahkan bisa saja satu minggu. Tidak mungkin juga teman-teman Sirta, kan mereka juga di puncak? Kalau keluargaku, jujur mereka malah menyuruh aku untuk menikah lagi, kecuali Daddy ku, yang sedikit keberatan aku menikah lagi. Suatu hari mau kan kalau aku kenalkan pada keluargaku?”
“Aku terserah Tuan saja.”
“Adin, aku mohon, jangan panggil aku Tuan, aku ini suamimu. Panggil lah panggilan untuk suami yang baik, aku bukan tuanmu lagi,” ucap Vi.
“Ehm ... apa manggilnya?”
“Apa, ya? Mas, Kakak, atau apa terserah kamu,” ucap Vi.
“Mas boleh tidak?”
“Hmm boleh, ya sudah yuk tidur.”
“Ehm ... baiklah, tapi aku harus menata baju-baju itu dulu, Tuan. Eh Mas,” ucap Ardini.
“Ya sudah tata dulu baju kamu, jangan lupa baju tidur Hello Kitty, Doraemon, dan Pokemonnya jangan dipakai lagi, ya? Aku mau kamu pakai baju tidur yang begini, lebih cocok, terlihat anggun dan dewasa, gak kayak anak TK,” ucap Vi terkekeh.
“Tuan bisa saja?”
“Mas, Adin. Jangan panggil aku Tuan lagi.”
“Oh iya, Mas. Maaf.”
Ardini kembali menata baju yang dibelikan oleh Vi. Lalu ia menata baju-baju lama miliknya, dan ia taruh didalam kardus. Ia pilih-pilih lagi, yang masih nyaman dan masih layak dipakai Ardini tidak memasukkannya di dalam kardus. Padahal Vi mau baju Ardini semuanya di packing ke dalam kardus. Tapi, Ardini belum bisa menyesuaikan baju-baju pemberian Vi yang sangat bagus, masa iya, masak pakai baju sebagus itu, kan sayang?
Ardini tidak menyangka Vi akan membelikan baju sebanyak itu, semuanya bagus-bagus. Bahkan bajunya yang khusus untuk pergi saja masih kalah bagusnya. Ardini juga tidak menyangka Vi membelikan pakaian dalam juga untuknya. Sampai Ardini berpikir, kenapa Vi bisa tahu semua ukuran pakaian dalamnya.
Ardini membawa kardus yang berisi pakaiannya keluar, mungkin yang masih layak pakai, Ardini ingin memberikan pada orang yang membutuhkan, karena memang masih bagus dan layak pakai. Ardini kembali masuk ke kamarnya, ia melihat Vi sedang menyandarkan tubuhnya pada sofa. Vi memejamkan kedua matanya, sambil memijit kepala, leher, dan pundaknya sendiri.
“Mas?” panggil Ardini dengan mendekati Vi.
“Ya, Adin,” jawab Vi seraya membuka kedua matanya.
“Sedang tidak enak badan?” tanya Ardini.
“Pegal sekali bahuku, Din,” jawab Vi.
“Mau saya pijit, Mas? Kalau boleh, aku bisa melakukannya,” tawar Ardini dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Bisa-bisanya ia berani menawari pijat pada Vi.
“Memang kamu bisa memijat?” tanya Vi.
“Bisa, Mas. Sini biar saya pijat pundaknya,” ucap Ardini.
Vi tampak diam berpikir. Ia tidak menyangka Ardini menawarkan diri untuk memijatnya. Tapi ini memang harus, karena Vi sendiri berniat untuk mendekatkan diri dengan Ardini. Mungkin ini juga saat yang tepat untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka berdua.
“Kalau begitu, coba pijati aku,” pinta Vi.
“Baiklah, mau di sini pijatnya, atau di sana?” tanya Ardini dengan menunjukkan tempat tidur.
“Hah! Di sana?” Vi cukup terkejut setelah melihat arah tangan Ardini menunjuk ke tempat tidur.