Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Zayn langsung mengurus jenazah ibu mertuanya supaya bisa segera di bawa pulang dan di kebumikan. Mobil Zayn mengiringi mobil jenazah ibu mertuanya hingga sampai ke komplek rumah orang tua Adhisty.
Salwa tak ikut ke sana karena ia sedang tidak enak badan. Alasannya.
Keluarga Adhisty juga keluarga Zayn sudah berkumpul di sana menunggu kedatangan jenazah. Setelah di hubungi, keluarga Zayn langsung datang ke rumah besan mereka.
Sejak tadi, Adhisty tak berhenti menangis. Ia terus memanggil bundanya. Senja, ibu mertuanya terus memberi kekuatan untuk Adhisty. Ia terus berusaha menenangkan menantunya tersebut, "Mommy tahu, apapun yang mommy katakan tidak akan mengurangi rasa kehilangan dan kesedihan kamu, sayang. Tapi, kamu harus ikhlas, supaya bunda tenang di sana. Dia akan sedih jika melihat kamu seperti ini, yang juat ya sayang? Kita antar bunda ke peristirahatan terkahirnya,"
Adhisty mengangguk, ia bangun di tuntun oleh Senja dan Zea, kakak Zayn. Karena jarak makam yang dekat, biasa para warga di sana tak menggunakan mobil jenazah ke makam, mereka memilih berjalan.
" Maafkan suamiku ya Dhisty, dia tidak bisa datang ke sini karena sedang berada di luar negeri. Tapi, dia turut berduka cita dan titip doa buat bunda," ujar Zea.
"Tidak apa-apa, kak. Sampaikan terima kasihku buat beliau atas doanya," sahut Dhisty.
Zayn dan Elang, ikut mengangkat jenazah bunda sampai ke makam. Adhisty cukup terkejut melihat suaminya yang mau melakukan hal itu mengingat sikap pria itu. Tapi, sejak di rumah sakit tadi, Zayn terus bersikap layaknya menantu beneran. Terlihat jelas ketulusan pria itu sebagai bentuk baktinya sebagai seorang menantu.
Setelah proses pemakaman selesai, Adhisty dan Zayn pulang ke rumah karena hari sudah malam. Sebenarnya Adhisty ingin menginap di rumah ayahnya, tapi Zayn mengajaknya pulang dengan alasan Adhisty tidak akan bisa istirahat jika terus berada di sana dan menangisi ibunya.
"Dhisty, aku turut bela sungkawa atas meninggalnya bunda kamu, maaf aku nggak bisa ikut ke sana, karena lagi tidak enak badan," ujar Salwa. Entah beneran sakit atu hanya alasan saja, Pasalnya Salwa terlihat biasa saja bahkan cenderung sehat.
Dhisty hanya tersenyum tipis," Terima kasih, mbak. Aku ke atas dulu," pamitnya. Ia benar-benar lelah jiwa dan raga rasanya.
Di dalam kamar luas itu, Adhisty tak menyalakan lampu. Ia duduk bersandar pada tepian ranjang. Dalam gelap itu, ia memeluk photo ibunya, "Kenapa bunda pergi secepat ini. Kenapa bunda memilih meninggalkan Adhisty," gumamnya dalam pilu. Ia terlalu lelah hingga tak bisa menangis lagi.
Adhisty merasa pengorbanannya sia-sia. Ibunya tetap saja pergi meninggalkannya. Kalau tidak ingat masih ada ayahnya, ingin sekali rasanya Adhisty mundur. Adhisty tak ingin ayahnya di penjara, sekarang hanya ayah yang di miliki di dunia ini.
.......
Sebulan telah berlalu, kini Adhisty mulai terbiasa dengan kehidupannya yang ia jalani sekarang. Ia mulai bangkit dan berusaha tetap kuat demi sang ayah.
Pagi hari, Adhisty sudah bersiap untuk turun dan ikut makan di meja makan. Tiba di meja makan, Adhisty langsung menghela napasnya melihat menu makanan yang ada di meja.
"Aku langsung berangkat saja," ucap Adhisty lesu.
"Loh, kenapa Adhisty? Nggak selera lagi sama masakan aku?" tegur Salwa ketus.
Adhisty mengangguk jujur, karena memang begitu adanya. Ia sendiri tak tahu kenapa beberapa hari ini sangat pemilih sekali soal makanan, padahal biasanya tidak.
Salwa terlihat sedih, "Apa masakanku nggak enak?" ucapnya sengaja memancing keadaan.
Benar saja, Zayn langsung bereaksi. Menurutnya Adhisty keterlaluan karena tak menghargai usaha Salwa masak.
"Duduk!" ucap Zayn tegas pada Adhisty.
"Tapi, aku nggak bisa makan," sahut Adhisty.
Zayn bergeming, seperti biasa aura menyeramkannya keluar. Yang mana membuat Adhisty terpaksa duduk.
Adhisty terpaksa mengambil nasi meski hanya sedikit sekali.
"Kamu harusnya berterima kasih karena Salwa sudah bersusah payah masak buat kamu. Dia melakukannya dalam keterbatasannya. Bukan kamu malah tak menghargai usahanya. Kalau memang tak mau makan masakan Salwa, kamu bisa masak sendiri dan silakan makan di dapur!" Zayn mulai menceramahi Adhisty.
Jika biasanya Adhisty acuh, tak peduli mau Zayn marah atau ngamuk sekalipun. Kali ini berbeda, pria itu hanya menasihatinya tapi rasanya sakit hati ia rasakan. Ini bukan kemauan Adhisty, bukannya dia tak menghargai Salwa. Andai saja suaminya itu tau kalau beberapa hari ia merasa tak enak badan. Ah, tahupun pasti tak akan peduli, pikir Adhisty. Mendadak hatinya menjadi melow.
Adhisty tak peduli dengan Zayn yang masih saja menceramahinya. Dhisty sendiri heran, tumben sekali Zayn mau bicara panjang kali lebar hanya untuknya, biasanya juga masa bodoh. Adhisty memilih menyudahi makannya dan berangkat ke kampus.
Di kampus, Adhisty merasa tubuhnya semakin memburuk. Entah apa yangbia rasakan, hanya saja ia merasa tak enak dan lemas sekali. Mungkin karena kurang makan jadi lemas pikir Adhisty.
Selesai kuliah, Adhisty berniat pergi ke toko buku bersama temannya, Lisa. Karena hari ini ia libur kerja. Lisa adalah sahabatnya dari SMP, hanya saja kini mereka beda kampus, jadi jarang bertemu. Namun, komunikasi tetap lancar. Hanya Lisa sahabat satu-satunya yang Adhisty punya.
Turun dari angkot dan berjalan menyusuri trotoar menuju ke toko buku, Adhisty melihat penjual telur gulung. Tiba-tiba ia ingin sekali makan telur gulung itu, padahal biasanya ia tak suka jajan.
"Kamu doyan apa lapar, Dhis? Udah habis berapa kamu tuh," tanya Lisa heran dengan Adhisty yang mendadak doyan banget sama telur gulung.
"Aku tuh lapar, Lis. Dari kemarin nggak selera makan banget aku, lemes bestie," ucap Adhisty dengan mulut masih penuh telur gulung.
"Minta dong sama suami kamu, maunya makan apa. Percuma suami tajir kalau makan aja susah," cibir Lisa.
"Ya kali aju minta di beliin makan, dia lihat aku aja kayak malah dia yang mau makan aku hidup-hidup," celetuk Adhisty.
"Yang sabar, ya? Semuanya pasti cepat berakhir, kok," ucap Lisa. Adhisty mengangguk, hanya Kisa sahabat satu-satunya yang tahu soal Adhisty yang akan menjadi ibu pengganti. Wanita itu prihatin dengan nasib Adhisty, tapi dia juga bukan irang kaya yang bisa menebus Adhisty pada Zayn.
Mereka lanjut jalan ke toko buku. Tak di sangka, Arka sudah berada di dalam toko buku tersebut. Tentu saja Adhisty kaget, ia menatap Lisa.
" Maaf, aku nggak sengaja buat story otw toko buku sama kamu, mungkin dia baca," Lisa meringis.
"Dhisty," sapa Arka.
"Mas Arka," Adhisty balas menyapa. Ia menarik tangan Lisa menuju ke tempat dimana buku yang ia cari berada.
"Tunggu, Dhis! Aku mau bicara sama kamu," Sergah Arka.
"Maaf, mas. Aku ke sini buat beli buku. Tolong jangan buat keributan di sini," ucap Dhisty pelan tapi tegas.
"Baiklah, aku tunggu di luar!" ucap Arka.
"Kamu nggak usah simpan nomor dia lagi, Lis. Biar dia nggak tahu story kamu lagi," ucap Dhisty setelah Arka pergi.
"Nggak bisa, Dhis. Aku tuh suka lihat story dia soalnya," Lisa keceplosan.
"Maksudku nggak gitu, Dhis. Jangan salah paham," Lisa jadi merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa, itu hak kamu kok. Dia udah bukan siapa-siapa aku lagi," ucap Adhisty.
"Aku cuma ngefans sama dia, Dhis. Kamu tahu itu dari dulu. Cuma fans aja, nggak lebih!"
Adhisty mengangguk, "Percaya," ucapnya meski sebenarnya ia tak percaya. Hanya untuk menenagngkan sahabatnya tersebut.
Selesai membayar buku yang ia beli, Adhisty dan Lisa keluar dari toko buju tersebut. Rupanya Arka benar-benar menunggunya di sana. Padahal hampir dua jam Adhisty berada di dalam toko buku dan pria itu setia berdiri di depan toko.
"Dhis, tunggu! Aku sudah tahu kenapa tiba-tiba kamu memutuskan hubungan kita dan menikah dengan pria beristri itu!" ucapa Arka sedikit keras, yang mana sukses membuat Adhisty menghentikan langkahnya.
"Kamu tenang saja, aku akan menyelamatkan kamu dari pernikahan yang sama sekali tidak kamu inginkan ini," ucap Arka lagi.
"Apapun yang aku lakukan, sebaiknya mas arka tidak usah ikut campur! mas Arka urus saja diri mas Arka sendiri, segera cari calon istri yang selevel dengan ibunya mas Arka!" ucap Adhisty.
Ia melanjutkan langkah setelah mengatakan itu dengan perasaan hancur. Ibunya Arka memang tak pernah menyukainya berhubungan dengan putranya. Ia pikir, keluarga Adhisty pasti akan merepotkan Arka karena banyak hutang. Lebih-lebih ibunya Arka takut kalau selama ini Adhisty sengaja memoroti putranya untuk biasa pengobatan sang bunda. Kalau bukan karena Arka baik dan selalu meyakinkannya, Adhisty sebenarnya ingin menyerah sejak dulu.
Tiba-tiba Adhisty merasa pusing luar biasa dn akhirnya ia pingsan. Lisa yang tiba-tiba melihat Adhisty pingsan langsung panik.
Arka langsung berlari mendekat dan membopong Adhisty dan membawanya ke tempat dimana mobilnya parkir tak jauh dari sana.
"Buka pintunya, Lis!" teriak Arka.
Lisa dengan panik membuka pintu belakang mobil Arka, "Kamu masuk duluan!" ucap Arka lagi dan Lisa menurut.
Setelah memastikan posisi Adhisty aman, Arka segera masuk ke belakang kemudi dan melajukan mobilnya.
...----------------...