Arnav yang selalu curiga dengan Gita, membuat pernikahan itu hancur. Hingga akhirnya perceraian itu terjadi.
Tapi setelah bercerai, Gita baru mengetahui jika dia hamil anak keduanya. Gita menyembunyikan kehamilan itu dan pergi jauh ke luar kota. Hingga 17 tahun lamanya mereka dipertemukan lagi melalui anak-anak mereka. Apakah akhirnya mereka akan bersatu lagi atau mereka justru semakin saling membenci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
"Kenapa kamu menangis? Kamu masih sakit?" tanya Gita sambil mendekati Arvin.
Arvin menghapus air matanya agar berhenti menangis. "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah menolong saya."
Gita menyentuh kening Arvin lalu tengkuk lehernya. "Kamu makan dulu terus minum obat. Badan kamu masih agak hangat."
Tiba-tiba Arvin memeluk mamanya. Setelah berpisah selama 17 tahun akhirnya dia bisa merasakan kehangatan itu lagi. Dia kembali menangis terisak dalam pelukannya.
"Ada apa?" Gita mengusap punggung Arvin. Dia juga merasakan pelukan yang berbeda dari biasanya. Rasa rindunya pada Arvin seperti terobati dengan pelukan hangat itu.
"Tante mirip sekali seperti Mama," kata Arvin. Sebenarnya dia ingin berkata jujur tapi dia sudah janji akan mengikuti rencana Vita.
"Mirip Mama kamu. Mama kamu kemana?"
"Sudah pergi." Arvin melepas pelukannya dan menghapus air matanya. "Maaf."
Gita tersenyum menatap Arvin. "Jangan sedih. Anggap saja, aku adalah mama kamu. Kamu kakak kelasnya Vita kan? Nama kamu siapa? Vale?"
"Vale?" Kemudian Arvin melihat tulisan Vale di jaketnya. "Iya."
"Aku pernah melihat kamu di taman. Kamu hebat sekali bermain gitar."
Di taman? Arvin mengingat-ingat lagi pertemuannya dengan Gita sebelumnya.
"Waktu kamu pakai masker tapi aku baca tulisan yang besar di speaker kamu. Vale, apa itu hanya nama panggung."
"Itu memang nama saya. Tante kapan lihat saya?"
"Kemarin lusa. Aku mau beri kamu uang tapi kamu tolak."
Arvin baru mengingat hal itu. Bodohnya dia tidak menyadari bahwa itu mamanya.
"Makan dulu ya atau mau mandi air hangat dulu. Aku siapkan buat kamu."
"Saya mau mandi dulu. Biar saya siapkan sendiri."
"Aku hidupkan dulu pemanasnya. Kamar mandinya di dekat dapur." Gita keluar dari kamar itu dan menghidupkan pemanas air, lalu menyiapkan handuk untuk Arvin. Dia juga mengambil kaos oblong lengan panjangnya. "Kamu pakai ini. Kaos ini tidak pernah aku pakai karena kebesaran. Aku siapkan sarapan dan obat buat kamu."
Arvin mengangguk pelan. Dia masuk ke dalam kamar mandi sambil tersenyum kecil. Ternyata seperti ini rasanya diperhatikan oleh Mama.
Sedangkan Gita kini sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Setelah itu dia membangunkan Vita yang masih tidur dengan nyenyak di kamarnya. "Vita, bangun!"
Vita hanya bergeliat dan semakin memeluk gulingnya.
"Vita, nanti kamu terlambat. Vale sudah selesai mandi, kamu cepat mandi."
"Vale?" Seketika Vita membuka kedua matanya. Dia lega karena Arvin tidak mengaku nama yang sebenarnya. "Iya, Ma." Vita turun dari ranjang lalu mengikat rambutnya. Dia membawa handuknya berjalan ke kamar mandi.
Dia kini melihat Arvin yang sudah duduk di meja makan sambil meminum susu hangat. Hatinya kembali terharu, akhirnya Arvin bisa merasakan sarapan pertamanya bersama mama dan adiknya.
"Kak, jangan pulang dulu. Nanti aku bareng ke sekolah," kata Vita. Dia mendekati Arvin dan meminum susunya hingga habis setengah.
"Pulang? Aku gak mau pulang," kata Arvin.
"Kenapa?" tanya Gita. Dia duduk di dekat Arvin setelah meletakkan masakannya di atas meja. "Kamu harus pulang. Papa kamu pasti sangat khawatir sama kamu."
"Saya capek karena Papa terus menuntut. Papa juga tidak ingin aku bermain musik," cerita Arvin singkat.
"Kamu bicara baik-baik sama Papa kamu, pasti Papa kamu mengerti. Jangan bertengkar seperti ini, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Hanya saja terkadang tidak ada komunikasi yang baik sehingga memicu pertengkaran."
Vita tersenyum melihat interaksi keduanya. Pasti hal ini yang sangat diinginkan Arvin semasa hidupnya. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan segera membasuh tubuhnya.
Arvin menganggukkan kepalanya mendengar nasihat mamanya. Selama ini dia memang tidak pernah bicara baik-baik dengan papanya. Dia terus memberontak dan merasa hidupnya paling menderita.
"Sekarang kamu makan, dari semalam kamu tidak makan. Papa kamu pasti sudah khawatir memikirkan kamu. Hp kamu juga tidak aktif dari semalam. Nanti biar dibantu Vita menjelaskan sama Papa kamu biar Papa kamu percaya dan tidak marah sama kamu lagi atau tante saja yang antar kamu?"
Arvin terdiam. Ini bukan saatnya. Kalau mamanya tahu, pasti dia tidak akan diantar sampai rumah dan mamanya pasti memilih putar balik. "Biar saya sama Vita saja."
"Ya sudah. Semoga kamu segera baikan sama Papa kamu. Aku tahu kamu anak yang baik."
Arvin hanya menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.
...***...
"Sudah semalam mencari tapi belum ketemu juga! Ngapain saja kamu! Cepat kamu cari Arvin sampai ketemu!" Arnav membentak anak buahnya lewat panggilan telepon karena gagal menemukan Arvin. Dia mematikan ponselnya dan melemparnya ke ranjang. Hampir semalaman dia tidak tidur setelah mencari Arvin hingga tengah malam.
Arnav mengacak rambutnya sendiri. Dia kesal dengan dirinya yang selalu saja tidak bisa menahan emosi. Bagaimana jika Arvin juga pergi meninggalkannya?
Dia mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi nomor Arvin tapi nomor itu masih saja tidak aktif.
Arnav akhirnya duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajah kusutnya. "Arvin, maafkan Papa."
Beberapa saat kemudian terdengar suara motor Arvin yang memasuki halaman rumah. Arnav segera berjalan mendekati jendela dan melihat Arvin yang baru saja menghentikan motornya.
"Arvin!" Arnav berjalan jenjang keluar dari kamarnya. Dia segera menemui Arvin.
"Arvin, kamu darimana saja? Papa sangat khawatir." Arnav memegang lengan Arvin, tapi pandangan matanya kini tertuju pada Vita yang berdiri tak jauh dari Arvin. "Jangan bilang semalam kamu menginap di rumahnya."
Arvin menganggukkan kepalanya. "Semalam aku pingsan di depan rumah Vita dan ditolong mamanya Vita."
"Kamu pingsan? Kamu sakit?" Arnav menyentuh tengkuk leher Arvin untuk memastikan suhu tubuh Arvin.
"Iya. Maaf, aku kemarin sangat marah sama Papa sampai dadaku terasa sesak dan kepalaku pusing."
"Papa yang harusnya minta maaf sama kamu. Papa terlalu emosi dan mementingkan ego Papa sendiri. Papa sangat takut kamu juga meninggalkan Papa." Arnav memeluk Arvin sesaat tapi lagi-lagi tatapan Vita yang berkaca-kaca itu menyita perhatiannya.
Arnav melepas pelukannya dan mendekati Vita. "Kamu yang kemarin ke kantor kan? Jadi kamu ada hubungan dengan Arvin."
Vita tak menjawabnya. Bibirnya bergetar karena dia menahan tangis. Seseorang yang sekarang berdiri di hadapannya memang benar Papa kandungnya.
"Kenapa? Arvin sudah ngapa-ngapain kamu semalam?" Arnav memegang kedua bahu Vita untuk memastikannya. "Kalau Arvin sudah berani menyentuh kamu, kamu bilang saja. Biar dia bertanggung jawab." Arnav semakin khawatir saat melihat air mata itu mengalir di pipi Vita.
"Bapak mirip sekali dengan Papa. Boleh aku memeluk Bapak sebentar saja."