Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tertinggal Bus
"Non! AWAS!"
"Ah!"
Bi Sari bangkit seraya berlari secepat yang dia bisa. Namun, sayangnya, mobil itu telah menghantam pembatas jalan di mana Seira baru saja menampakkan kedua kakinya.
Pintu mobil itu pun cepat terbuka, dan seorang laki-laki berkaos lengan pendek keluar diikuti kerumunan warga yang semakin menutupi tempat tersebut.
Laki-laki itu menyibak kerumunan, ia melihat Seira yang terduduk dengan wajah pucat juga napas yang tersengal. Suara riuh para warga yang mengelilingi tempat itu tidak membuatnya serta merta panik. Ia berjongkok di samping Seira, menelisiknya dari atas hingga bawah.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada rendah, tapi masih bisa didengar Seira.
Pelan kepala wanita itu menoleh, tangannya masih menempel di dada yang terasa sesak akibat terkejut. Bibirnya yang pucat gemetar, matanya sayu menatap sosok yang hampir saja membuat celaka.
"A-air, b-boleh a-aku minta a-air?" ucap Seira dengan lidah kelu hampir tak dapat digerakkan.
Laki-laki itu lekas bangkit dan segera mendekati mobilnya. Mengambil sebotol air mineral, membawanya kepada Seira.
"Maaf, Bapak-bapak dan Ibu-ibu, tolong tinggalin tempat ini. Wanita di dalam sana kesulitan bernapas, tapi kalian malah mengerubunginya. Silahkan pergi!" pinta laki-laki tersebut.
Suaranya rendah, tapi penuh dengan wibawa. Matanya tajam dan dingin, tinggi tegap berdiri bagai seorang raksasa. Para warga membelah diri sebelum bubar meninggalkan tempat tersebut.
Ia kembali berjongkok sambil memutar penutup botol dan memberikannya pada Seira. Ekor matanya melirik bagian kanan mobil, mendesah lembut supaya tidak menyinggung wanita yang hampir celaka itu.
Seira menenggak air tersebut hingga menyisakan setengahnya. Ia merasa sedikit lega, napasnya perlahan mulai beraturan, pandangan yang sempat memburam kembali menjadi normal.
Ia menoleh, mendapati laki-laki tersebut sedang menatap mobilnya yang menabrak pembatas jalan. Seira menggigit bibir tak enak, ia merunduk. Jantungnya berpacu seperti sedang berada di atas sebuah wahana rollercoaster.
"Maaf," cicitnya lirih, "Aku bener-bener minta maaf. Aku nggak tahu kalo mobil Tuan sedang melaju terburu-buru," lanjutnya masih dengan suara rendah hampir seperti bisikan. Genggaman tangan pada botol air mengerat menahan rasa yang bergejolak.
Laki-laki tersebut mengalihkan pandangan dari kerusakan mobil, tapi belum menoleh. Bibir tipisnya membentuk senyuman mendengar suara Seira, entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdegup.
Ia menoleh, menatap lekat pada Seira yang masih tertunduk sambil mencengkeram erat botol air mineral di tangan. Senyumnya semakin melebar, wanita itu memang sederhana, tapi ia terlihat berbeda.
"Kenapa kamu minta maaf? Harusnya aku yang minta maaf karena hampir aja nabrak kamu," tanya laki-laki tersebut semakin menyempurnakan garis di bibirnya.
Seira tampak gugup, tak tahu harus berkata apa. Ia menggigit bibir lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Botol di tangan bahkan hampir saja remuk akibat kungkungan jemarinya.
"Non! Non nggak apa-apa?" jerit Bi Sari dengan napas memburu cepat.
Wanita paruh baya itu lantas berjongkok di samping Seira. Ia memeluknya dengan penuh rasa syukur.
"Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah," ucapnya dengan air yang menetes dari pelupuk.
Laki-laki itu memandang lekat-lekat dua orang wanita yang kini sedang berpelukan. Ada rasa tak enak, tapi ia sendiri tanpa sengaja hampir menabraknya.
"Maaf, aku nggak sengaja. Aku yang salah karena terburu-buru, jadi nggak merhatiin jalanan," ucap laki-laki itu dengan rendah hati.
Bi Sari mendongak, rasa kesal di hati segera berganti disaat melihat mobil tersebut rusak karena menabrak pembatas jalan. Seira menjauhkan diri dari pelukan, keadaannya sudah lebih baik. Hatinya pun sudah lebih tenang.
"Nggak apa-apa, Tuan. Aku juga ceroboh, nyebrang jalan nggak lihat-lihat dulu. Maaf, berapa yang harus aku bayar buat kerusakan mobil Tuan?" tanya Seira sedikit lirih.
Ia sendiri tidak yakin di dalam kartu debit itu terdapat sejumlah uang yang katanya secara rutin dikirim Zafran. Laki-laki itu terkekeh, tak ada beban sama sekali dalam suara tawa yang menggema kecil itu.
Seira dan Bi Sari sama-sama menoleh, rasa tak percaya ada seorang kaya yang tidak menuntut kerusakan pada mobilnya. Biasanya, salah atau tidak, mereka akan membebani kerusakan pada orang-orang bawah yang bahkan sebenarnya adalah korban.
"Nggak perlu, cuma sedikit aja nggak masalah. Justru aku cemas sama kamu, apa kita perlu ke rumah sakit? Aku takut kamu cedera," ungkapnya benar-benar diluar prediksi.
Beberapa saat lamanya mereka saling mematri tatapan sebelum Seira memutuskan berpaling.
"Nggak perlu, Tuan. Aku cuma kaget tadi," katanya dengan kepala yang menunduk menatap perut rata tempat bersemayam si jabang bayi.
"Non beneran nggak apa-apa? Perut Non gimana? Apa sakit?" cecar Bi Sari dengan panik.
Laki-laki itu mengernyitkan dahi, mendengar soal perut, ia ikut menatap perut Seira.
"Maaf, apa kamu lagi hamil?"
Seira mengangguk kecil.
"Ya udah, kita ke rumah sakit aja. Aku takut bayi kamu kenapa-napa, terus nanti jadi masalah sama suami kamu," ujarnya ikut panik.
Seira tertawa kecut mendengar kata suami disebut. Semakin bingung laki-laki itu dibuatnya, terlebih ketika kepala Seira menggeleng yakin.
"Nggak usah, nggak apa-apa, kok."
Ia mencoba beranjak dibantu Bi Sari, tapi menolak disaat laki-laki itu hendak membantunya. Duduk di trotoar, kedua kakinya masih lemas untuk digerakkan.
"Kamu beneran nggak apa-apa?" Laki-laki itu kembali bertanya memastikan.
Seira menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Terima kasih karena Tuan nggak marah-marah kayak yang lain," tutur Seira sambil tersenyum.
Sumpah demi apapun, laki-laki itu terpana dengan senyum yang diukirnya. Ia termangu untuk beberapa saat sebelum menyadari ketidaksopanannya menatap istri orang.
"Nggak usah panggil Tuan. Aku Fatih, panggil aja Fatih," katanya tak enak.
"Iya, terima kasih, Mas Fatih. Kalo Mas Fatih emang buru-buru, nggak apa-apa pergi aja. Beneran aku nggak apa-apa," ucap Seira lagi.
Laki-laki bernama Fatih itu lagi-lagi termangu saat matanya berserobok dengan manik Seira yang sayu. Ia ikut tersentak ketika wajah yang dipandangi kembali memucat.
"Ada apa? Apa ada yang sakit?" Bertanya seraya mengikis jarak bersiap mengangkat tubuh itu jika diperlukan.
Seira menggeleng lemah, digigitnya bibir dengan kuat. Bi Sari sendiri pun turut bingung. Terlebih saat Seira menoleh ke arahnya.
"Kenapa, Non?" Raut panik masih tercetak di wajah keriputnya.
"Bibi ... bisnya udah berangkat," katanya sambil berurai air mata yang tak terkendali seraya memeluk tubuh tua itu.
Bi Sari cepat menatap jalanan, ia termangu lebar. Bis itu sudah melaju di jalanan.
"Non ... bisnya ... ninggalin kita," lirih Bi Sari ikut menangis.
Fatih menatap bis yang melaju, seketika tersenyum saat tahu ke mana arah tujuan bis tersebut. Ia kembali menoleh pada mereka yang kini menangis berdua.
"Sebagai permintaan maaf aku, gimana kalo aku antar kalian saja sampe tujuan," tawarnya yang menyentak tangisan mereka berdua.