Agnes tak pernah menyangka, sebuah foto yang disalahartikan memaksanya menikah dengan Fajar—dosen pembimbing terkenal galak dan tak kenal kompromi. Pernikahan dadakan itu menjadi mimpi buruk bagi Agnes yang masih muda dan tak siap menghadapi label "ibu rumah tangga."
Berbekal rasa takut dan ketidaksukaan, Agnes sengaja mencari masalah demi mendengar kata "talak" dari suaminya. Namun, rencananya tak berjalan mulus. Fajar, yang ia kira akan keras, justru perlahan menunjukkan sisi lembut dan penuh perhatian.
Bagaimana kelanjutan hubungan mereka? Apakah cinta bisa tumbuh di tengah pernikahan yang diawali paksaan? Temukan jawabannya di cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Malam itu, acara pernikahan sederhana yang diadakan oleh keluarga Agnes akhirnya selesai. Hanya segelintir orang terdekat yang hadir, namun itu sudah cukup membuat Agnes merasa sangat lelah. Begitu tiba di kamarnya, ia menghela napas panjang, mencampur rasa letih dengan lega, sebelum merebahkan punggung yang terasa seperti ingin patah.
"Akhirnya selesai juga," gumamnya sambil memejamkan mata sejenak. Meski tamunya tidak banyak, lelahnya terasa berlipat—mungkin karena pikiran yang terus berlarian sejak pagi, ditambah dengan hal-hal mendadak yang membuat kepalanya pening terlebih pesan yang dikirimkan Fajar padanya.
Niat hati ingin tidur sejenak, tapi kenyataan berkata lain. Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, menampilkan sosok Fajar, sang suami.
"Eh... Bapak ngapain masuk ke sini?" tanya Agnes, refleks memeluk bantal. Kebaya putihnya yang masih melekat membuat suasana semakin canggung.
Sudut bibir Fajar terangkat, membentuk senyuman kecil. Dulu, ia selalu merasa sebal setiap kali melihat Agnes panik atau bertingkah kaku. Tapi sekarang? Entah kenapa, justru terlihat lucu.
"Lalu aku harus di mana kalau bukan di sini?" jawab Fajar sambil menutup pintu dengan santai, kemudian berjalan perlahan mendekati ranjang.
Mata Agnes membelalak. Kepanikan menyeruak. Ia segera mengangkat tangan, membuat gestur "stop". "Stop! Jangan dekat-dekat!" serunya.
Alis Fajar terangkat, namun langkahnya tidak berhenti. Ia malah terlihat semakin santai.
"Pak, aku bilang stop! Lagian... Bapak pulang aja deh! Gak baik tahu lelaki dan perempuan berada di satu kamar. Apalagi malam-malam begini. Ingat godaan setan, Pak!" Agnes mengucapkannya dengan ekspresi serius, seolah benar-benar lupa bahwa mereka kini pasangan halal.
Fajar menghentikan langkahnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Lalu kenapa? Bagus kalau ada setan. Justru karena ada godaan, kita bisa dapat pahala."
Agnes langsung mundur sedikit, matanya semakin membesar. "Pak... Bapak mesum, dah!"
"Mesum? Aku?" Fajar menunjuk wajahnya sendiri dengan telunjuk, pura-pura terkejut. Senyum lebar mulai menghiasi wajahnya, yang sukses membuat Agnes bergidik ngeri.
"Pak, Pak! Jangan senyum kayak gitu. Bapak nakutin tahu! Mending kayak biasanya aja... galak gitu."
Bukannya tersinggung, Fajar malah tertawa kecil dan menjawab santai, "Kata Nenek, aku gak boleh galak-galak sama istri. Nanti gak dapat jatah malam pertama."
"FAJAR!" Agnes langsung melempar bantal yang sejak tadi dipeluknya, wajahnya memerah seperti tomat.
Bantal itu berhasil ditangkap Fajar dengan mudah. Ia hanya tertawa kecil, lalu berkata sambil mengedipkan mata, "Kalau capek, sini aku pijitin. Bonus pahala lagi."
Agnes tidak bisa berkata-kata lagi, memilih menutupi wajahnya dengan bantal lain sambil bergumam, "Ternyata dosen itu punya sisi gelap juga, dasar bujang lapuk!"
Fajar meletakkan bantal yang dilempar Agnes di sudut ranjang, lalu duduk dengan santai di sisi tempat tidur. Melihat Agnes masih menutupi wajahnya dengan bantal, Fajar menyentuh ujungnya, mencoba menarik perlahan. Sayangnya, Agnes cukup kuat, dan Fajar memilih untuk melepaskannya.
"Agnes, sudah cukup main kucing-kucingannya. Kita perlu bicara," ucap Fajar.
Agnes perlahan menurunkan bantal yang menutupi wajahnya, meski rona merah masih menghiasi pipinya. Tatapannya penuh keraguan dan sedikit ketegangan.
"Pak, aku tahu... aku tahu kita sudah menikah. Tapi hubungan ini—" Agnes menelan ludah, mencoba menyusun kata-kata di kepalanya. "Hubungan ini nggak akan berhasil."
Fajar, yang masih duduk di ujung ranjang, mendengarkan dengan ekspresi tenang. Tapi mata itu... mata yang biasanya tajam seperti seorang dosen tegas, kini memancarkan kelembutan yang membuat Agnes sedikit gelisah.
"Kenapa nggak akan berhasil, Agnes?" tanyanya perlahan, nadanya terdengar tulus.
Agnes memalingkan wajah, tak sanggup menatap mata Fajar. "Karena kita berbeda. Pak Fajar... aku nggak pernah menginginkan pernikahan ini. Kita dipaksa oleh keadaan. Dan... aku juga nggak yakin kalau kita bisa saling menerima."
Fajar terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. Ia sudah menduga kata-kata seperti ini akan keluar dari mulut Agnes. Tapi mendengarnya langsung tetap terasa menyesakkan.
"Jika kamu tahu akan seperti ini, kenapa tiga hari yang lalu tidak menolaknya? Pernikahan bukan permainan rumah-rumahan seperti mainanmu saat kecil, Nes. Kita sudah mengikat janji dan berada di dalam satu perahu. Lebih baik mendayung bersama untuk mencapai tujuan, dibandingkan harus menghancurkannya."
Agnes menelan ludahnya kasar. Fajar memang lebih dewasa dibandingkan dirinya yang masih terbilang kekanak-kanakan. Seharusnya Agnes bisa merasakan perasaan nyaman karena sikap itu, tapi dirinya tetap berpendirian bahwa menikah akan menghalangi kebebasannya.
"Tapi aku lebih ingin menghancurkan perahu itu, Pak. Lagian juga, Bapak kenapa gak nolak saja? Kenapa tiga hari yang lalu malah melemparkan keputusan ke aku? Bapak kan tahu kalau aku gak akan bisa menolak keinginan orang tuaku. Dan lagi, Bapak juga kan yang bilang akan menjelaskan ke semua orang agar tidak terjadi yang namanya pernikahan? Tapi sekarang..."
"Jadi kamu melimpahkan semua kesalahan ini padaku? Kamu yakin?"
Agnes, yang tadi seperti menantang saat berdebat, kini menundukkan kepalanya. Seandainya ia menjelaskan dulu pada Fajar masalah yang dihadapinya sebelum membawa Fajar ke rumah, mungkin hasilnya akan berbeda. Seandainya ia tidak bersikap kekanak-kanakan saat malam itu terjadi, mungkin ia tidak akan dihadapkan pada pilihan sebuah pernikahan. Rasanya Agnes ingin tenggelam saja ke dasar laut.
"Ah... gak tahu ah. Aku mau ganti baju. Nanti Bapak tidur di bawah," ucap Agnes.
Beberapa saat berlalu, Agnes yang baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah mengganti baju menjadi piyama tidur mendapati Fajar tengah terbaring di ranjangnya.
"Pak, kok tidur di ranjangku sih... kan aku bilang Bapak tidur di lantai," ucap Agnes kesal.
"Nes, kamu kan tau kalau aku sudah berumur, gak bagus kalau tidur di lantai nanti aku bisa masuk angin," jawab Fajar.
Agnes menatap Fajar yang sedang terbaring di ranjangnya dengan ekspresi terkejut. Tidak menyangka, suaminya yang tampak begitu dewasa dan penuh pertimbangan sekarang berbicara seperti itu. Ia membuang napas, berusaha menenangkan diri, tetapi dalam hatinya ada campuran antara kesal dan bingung.
"Dih... Bapak kesambet ya?" Melihat Fajar ingin menjawab, Agnes berkata lagi, "Kalau Bapak gak pindah aku teriak ini."
Fajar tertawa kecil. "Teriak aja, Nes. Lagian siapa yang akan peduli?"
"Bapak nantangin ya?"
"Kalau gak percaya coba aja? Tapi sebelum itu aku ingetin, kita itu suami istri, malam pertama lagi. Kalau kamu teriak, bukan malah ditolongin, yang ada mereka akan berpikir ke arah lain," ucap Fajar sembari menelisik tubuh Agnes dari atas ke bawah.
Agnes langsung refleks menyilangkan tangannya di dada. "Pak Fajar! Aku gak mau tau, Bapak harus turun dari ranjangku." Agnes berusaha keras meraih selimut yang kini menutupi tubuh Fajar.
Fajar sendiri tidak mau mengalah. Ia seolah menikmati kebersamaan seperti ini dengan Agnes, seolah reputasinya yang terkenal sebagai dosen killer, berwibawa, dan punya pesona hilang seketika saat bersamanya.
Fajar dan Agnes masih saling berebut selimut dan tempat tidur, hingga saat ini posisi Agnes yang mencondongkan dadanya ke arah Fajar yang setengah duduk hampir menyentuh seluruh selimut tanpa sengaja beralih ke tempat yang tak seharusnya, buah dada Agnes.
Wajah Agnes langsung memerah. Matanya terbelalak, dan seketika ia berteriak, "Pak Fajar!"