Hanya karena ingin membalas budi kepada Abram, lelaki yang telah menolongnya, Gisela memaksa menjadi istri lelaki itu meskipun ia harus mendapat perlakuan kasar dari Abram maupun mertuanya. Ia tetap bersabar.
Waktu terus berlalu, Gisela mengembuskan napas lega saat Abram mengajak tinggal di rumah berbeda dengan mertuanya. Gisela pikir kehidupan mereka akan lebih baik lagi. Namun, ternyata salah. Bak keluar dari kandang macan dan masuk ke kandang singa, Gisela justru harus tinggal seatap dengan kekasih suaminya. Yang membuat Gisela makin terluka adalah Abram yang justru tidur sekamar dengan sang kekasih, bukan dengannya.
Akankah Gisela akan tetap bertahan demi kata balas budi? Atau dia akan menyerah dan lebih memilih pergi? Apalagi ada sosok Dirga, masa lalu Gisela, yang selalu menjaga wanita itu meskipun secara diam-diam.
Simak kisahnya di sini 🤗 jangan lupa selalu dukung karya Othor Kalem Fenomenal ini 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AMM 19
"Kenapa kamu menamparku, Mas? Memang apa salahku?" Gisela tidak menangis apalagi menatap Abram. Ia hanya menunduk karena sedang menahan emosi agar tidak meluap.
"Dasar wanita sialan! Pergi ke mana saja kamu seharian ini! Gara-gara kamu, Stevani salah makan dan harus muntah berkali-kali sampai lemas!" bentak Abram.
Mata Gisela terpejam. Antara sakit dan ingin menangis. Namun, lagi-lagi Gisela berusaha untuk tidak menangis di depan mereka. Ia seolah sudah mengharamkannya. Tidak ada jawaban, hanya helaan napas Gisela yang terdengar samar.
"Kenapa kamu diam saja! Kamu sadar diri kalau sudah bersalah? Jawab! Atau aku tidak akan segan merobek mulutmu!" Suara Abram yang meninggi mampu membuat hati Gisela terasa remuk redam. Tidak menyangka kalau suaminya akan bersikap sekejam itu.
"Bukankah kamu sudah membebaskanku untuk pergi. Lalu kenapa sekarang jadi salah seperti ini? Mas, seharusnya kamu tahu kalau kekasihmu itu bukanlah anak kecil lagi yang harus selalu diawasi dan aku juga bukan pengasuhnya. Aku tidak ada kewajiban untuk selalu berada di dekatnya dan memastikan dia dalam keadaan baik-baik saja." Gisela mulai berani berbicara.
"Tapi dia tinggal bersama kita, kalau bukan kamu lantas siapa lagi yang akan memperhatikannya!"
"Kamu, Mas. Memangnya siapa lagi? Kamu yang lebih memiliki kewajiban menjaga dia karena benihmu yang tumbuh di rahimnya. Kamu mau beralasan sibuk bekerja? Hahaha. Basi!" Gisela tergelak keras. Dia bahkan dengan berani memberi tatapan sinis kepada suaminya.
"Kamu lancang sekali!"
Sebuah tamparan kembali mendarat di pipi Gisela. Wanita itu hanya diam dan memejamkan mata karena rasa panas dan perih yang menjalar. Bahkan, sudut bibir Gisela sudah mengeluarkan darah karena dua kali mendapat tamparan yang cukup keras.
Melihat Gisela yang masih terus memejamkan mata, membuat Abram justru menjadi gelisah sendiri. Rasanya ia menyesal dan ingin memeluk wanita itu sangat erat. Namun, sebelah hatinya seolah menyuruh untuk tetap diam dan apa yang dilakukan sudahlah benar.
"Arggh!" Abram mengacak rambut seperti orang yang sedang frustrasi karena bingung pada sikapnya sendiri.
"Mas, perutku sakit sekali," rengek Stevani. Wanita itu berusaha mengalihkan perhatian Abram.
Dengan langkah cukup lebar, Abram mendekati Stevani dan langsung mengusap perut wanita itu dengan sangat lembut. Hati Gisela makin memanas. Ia pun memilih pergi dari sana sebelum hatinya makin terluka.
Ia tidak akan berharap Abram akan mengejarnya dan menahan agar tetap tinggal karena itu adalah hal yang mustahil. Abram hanya akan fokus pada Stevani. Bahkan, Gisela berpikir kalau dirinya mati pun, Abram tidak akan pernah peduli.
"Kamu mau ke mana!" Suara Abram berhasil menahan gerakan tangan Gisela yang sudah memegang gagang pintu.
Gisela menoleh dan menatap Abram yang sedang melayangkan tatapan penuh selidik ke arahnya. Perhatian Gisela teralihkan pada tangan Abram yang masih terus mengelus perut Stevani.
"Aku mau pulang." Gisela menjawab lirih dan hanya terdengar samar di telinga Abram.
"Aku tidak menyuruhmu pulang! Tetaplah di sini." Abram menahan. Namun, Gisela menggeleng cepat.
"Maaf, Mas. Tapi aku tetap akan pulang. Terserah kamu akan mengancam apa pun, aku tetap akan pulang."
Tanpa peduli pada panggilan Abram yang terdengar berkali-kali, Gisela tetap bersikukuh keluar dari pintu tersebut. Akan tetapi, tubuh Gisela menegang ketika baru keluar dari pintu dan langsung disambut oleh Dirga dan juga Hendarto.
"Pa-papa." Tubuh Gisela gemetar ketakutan apalagi saat melihat sorot mata Hendarto yang penuh dengan kilatan amarah. Tanpa berbicara sepatah kata pun, Hendarto masuk dan melewati Gisela begitu saja.
"Biar papamu memberi pelajaran untuk lelaki itu." Dirga menahan Gisela yang hendak menyusul Hendarto.
"Kamu tahu apa!" Gisela berusaha keras melepaskan tangan Dirga.
"Aku sudah tahu sekarang kalau lelaki yang ada di ruangan ini adalah Tuan Abram, suami kamu."
Mulut Gisela tertutup rapat saat mendengar jawaban Dirga yang sudah mengetahui semuanya.