Permainan Tak Terlihat adalah kisah penuh misteri, ketegangan, dan pengkhianatan, yang mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang benar-benar mengendalikan nasib kita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faila Shofa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dunia yang tak dikenal
Diana memandang simbol-simbol yang tersembunyi di dinding dengan rasa cemas yang mendalam. Setiap simbol tampaknya saling berhubungan, tetapi menggabungkannya menjadi sebuah pola yang utuh terasa seperti tugas yang mustahil. Batu hitam yang sempat mereka temukan di meja itu, kini berada di tangan Arman, dan sinar cahaya yang dipancarkannya semakin memudar, seolah kehabisan energi. Tetapi kegelapan yang mengelilingi mereka justru semakin menebal.
"Ini semua sepertinya bagian dari satu teka-teki besar," kata Rina dengan suara terengah-engah. "Kita harus menemukan hubungan antara simbol-simbol ini sebelum kita terperangkap lebih jauh."
Diana mengangguk, mencoba mencerna setiap detail yang ada di hadapannya. Lukisan yang ditemukan Rina tadi menunjukkan seseorang yang berdiri di depan pintu besar dengan simbol-simbol yang hampir identik dengan yang ada di dinding. Beberapa simbol tampak seperti huruf-huruf aneh yang tidak bisa ia pahami, sementara yang lainnya seperti bentuk-bentuk geometris yang saling terkait.
"Tunggu!" kata Diana dengan suara yang lebih yakin. "Simbol-simbol ini... mereka terlihat seperti sebuah kode."
Shara, yang dari tadi memperhatikan lukisan itu, tiba-tiba menyadari sesuatu. "Lihat ini," katanya, menunjuk pada garis lengkung yang terhubung ke beberapa simbol di dinding. "Mungkin kita harus mencocokkan simbol-simbol ini dengan urutan tertentu."
Diana menatapnya dan berusaha melihat pola yang dimaksud. "Bagaimana cara kita tahu urutannya?"
"Jika kita melihat bagian bawah lukisan ini," jawab Shara, "ada sebuah angka yang tersembunyi di balik bayangan pintu itu—sepertinya itu adalah petunjuk pertama."
Rina berlari menuju lukisan itu, memeriksa dengan seksama. "Angka itu... ada di sudut paling bawah, terlihat samar, tapi... itu angka satu."
"Berarti simbol pertama yang harus kita pilih adalah yang ada di urutan pertama," kata Diana dengan penuh keyakinan. "Kemudian, kita harus menemukan simbol yang sesuai untuk angka dua dan seterusnya."
Mereka mulai memeriksa dinding dengan lebih teliti. Rina dan Arman bekerja sama, mencoba mencocokkan simbol-simbol tersebut dengan angka yang mereka temukan di lukisan, sementara Shara dan Niko memeriksa setiap detail kecil yang mungkin bisa memberikan petunjuk.
Beberapa menit berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Kegelapan semakin pekat, dan suara bisikan misterius di ruangan itu semakin keras, seakan mengancam mereka untuk menyerah. Diana merasa matanya mulai berputar, dan rasa takut yang sebelumnya terkendali perlahan-lahan mulai meresap ke dalam dirinya.
"Tapi bagaimana kita bisa tahu jika kita sudah benar?" tanya Niko, tampaknya semakin putus asa.
Diana menatap simbol terakhir yang mereka periksa, dan tiba-tiba sesuatu dalam dirinya bergeming. Ia teringat kata-kata pria misterius itu. "Kalian sudah membuka pintu yang tidak bisa ditutup lagi," kata pria itu. "Apa yang kalian temui berikutnya akan mengubah segalanya."
"Jika kita benar-benar sudah membuka sesuatu yang tak bisa ditutup," gumam Diana, "mungkin kita tidak perlu takut lagi. Kita hanya perlu menyelesaikan teka-teki ini, dan kita akan tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Dengan semangat yang diperbarui, Diana memeriksa pola yang ada dengan lebih cermat. "Cobalah menyentuh simbol-simbol ini satu per satu, dimulai dari angka satu. Jangan ragu."
Mereka mengikuti petunjuk Diana dan mulai menekan simbol-simbol yang mereka yakini sesuai dengan urutan yang benar. Ketika mereka menekan simbol pertama, dinding di sebelah mereka bergetar, dan suara misterius yang terus bergema mulai mereda. Tetapi saat mereka menekan simbol kedua, suara itu kembali terdengar lebih keras, disertai dengan getaran yang lebih kuat.
"Ini benar!" seru Arman, matanya bersinar. "Kita hampir sampai."
Namun, ketika mereka mencapai simbol ketiga, sebuah suara keras tiba-tiba menggema di seluruh ruangan, membuat mereka tersentak. Pintu yang tadinya mereka kira terkunci, kini mulai terbuka perlahan, tetapi tidak dengan cara yang mereka bayangkan. Pintu itu terbuka dengan sendirinya, disertai dengan angin dingin yang menderu keluar dari dalam.
Tiba-tiba, bayangan-bayangan hitam mulai berkumpul di sekitar mereka, dan suasana menjadi semakin tidak wajar. Dinding di sekitar mereka tampak bergerak, dan ruangan yang semula tampak luas kini terasa semakin sempit. Setiap langkah yang mereka ambil seolah membuat dunia ini semakin gelap.
"Ini... ini bukan jalan keluar," kata Rina dengan cemas. "Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."
Diana merasakan detak jantungnya semakin cepat, namun ia tetap berusaha untuk tidak panik. Mereka telah membuka pintu yang tidak bisa ditutup, dan sekarang mereka harus menghadapi apa pun yang ada di baliknya.
"Pintu ini... bukan untuk keluar," kata Diana, nadanya semakin dalam. "Ini adalah pintu menuju kebenaran yang lebih besar, yang selama ini kita cari. Dan kita harus memasukinya, apapun yang terjadi."
Saat mereka memasuki pintu itu, suasana semakin mencekam. Dunia yang mereka masuki tidak lagi tampak seperti dunia yang mereka kenal. Di depan mereka, terdapat sebuah lorong panjang yang gelap, dengan cahaya samar yang berasal dari ujung yang tak terlihat. Tetapi mereka tidak bisa mundur lagi. Mereka sudah melangkah terlalu jauh.
Diana dan teman-temannya berjalan perlahan, menyadari bahwa mereka sedang memasuki dunia yang berbeda—dunia yang penuh dengan misteri yang lebih dalam dan lebih gelap daripada apa yang pernah mereka bayangkan. Setiap langkah mereka terasa berat, namun tekad untuk mengungkap kebenaran mendorong mereka untuk terus maju.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam lorong yang gelap itu, suasana di sekitar mereka menjadi semakin suram. Langkah kaki mereka menggema di ruang yang semakin sempit, dan udara terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan mereka untuk berhenti. Lorong itu tidak hanya gelap, tetapi juga tampak berputar-putar, mengarah ke tempat yang tidak jelas, seperti sebuah labirin yang tidak akan pernah berakhir.
"Ini... tempat apa ini?" tanya Rina dengan suara bergetar, mencoba menahan rasa takut yang menggerogoti dirinya.
"Entahlah," jawab Diana, memegang tangan Arman erat-erat. "Tapi kita tidak punya pilihan selain terus maju."
Mereka berjalan lebih jauh, berusaha mencari petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dinding-dinding di sepanjang lorong itu tampak bergerak perlahan, seakan-akan hidup. Ada goresan-goresan samar di permukaan batu yang membuat suasana semakin mengerikan. Setiap langkah mereka terasa semakin berat, dan meskipun mereka mencoba untuk tetap tenang, ketegangan di udara semakin menekan.
"Tunggu," Arman tiba-tiba berhenti dan menatap dinding di sebelah kiri mereka. Di sana, di atas batu yang terkikis, tampak sebuah tulisan yang terukir dalam huruf-huruf kuno. "Ini... ini bisa jadi petunjuk," katanya dengan suara pelan, mendekatkan dirinya ke tulisan itu.
Diana mendekat, berusaha melihat dengan seksama. "Apa itu?"
"Ini... seperti sebuah teka-teki," kata Arman, memutar otaknya untuk memahami arti tulisan itu. "Tapi... aku tidak bisa membaca huruf-huruf ini. Sepertinya ini bukan bahasa yang kita kenal."
Rina yang sejak tadi mengamati lingkungan sekitar, tiba-tiba menemukan sesuatu yang menarik perhatian. "Ada sesuatu di lantai," serunya, menunjuk ke bawah.
Mereka semua menatap ke lantai, dan di sana, terlihat sebuah pola yang terukir dengan sangat halus, hampir tak terlihat oleh mata biasa. Pola itu tampak seperti serangkaian lingkaran yang saling terkait, dengan titik-titik kecil di antara mereka, yang membentuk semacam jaringan. Pola itu sepertinya mengikuti arah lorong yang mereka lewati, berkelok-kelok menuju ujung yang tak terlihat.
"Apa ini?" tanya Niko, berjongkok dan mencoba meraba pola tersebut. "Apakah ini petunjuk lain?"
"Sepertinya ya," jawab Diana, matanya meneliti pola itu. "Tapi bagaimana kita memecahkannya?"
Tanpa diduga, dinding di sebelah kanan mereka tiba-tiba mengeluarkan suara berderak keras, seperti ada sesuatu yang sedang terlepas. Mereka semua melompat mundur, terkejut. Ternyata, dinding itu terbelah, memperlihatkan sebuah pintu yang besar dan berat, yang tampaknya muncul entah dari mana.
"Apakah ini... pintu keluar?" tanya Shara, suaranya hampir berbisik.
Namun, sebelum ada yang bisa menjawab, suara berat pria misterius yang mereka dengar sebelumnya kembali menggema di ruang itu, kali ini terdengar lebih jelas, seperti berasal dari seluruh penjuru ruangan.
"Selamat datang," suara itu terdengar dengan nada sinis. "Kalian telah menemukan pintu, tetapi jangan salah, ini bukanlah jalan keluar. Ini adalah ujian terakhir kalian. Jika kalian ingin melangkah lebih jauh, kalian harus menghadapi apa yang ada di dalam."
Diana menatap pintu itu dengan waspada. Ada sesuatu yang aneh dengan pintu itu, seperti ada sesuatu yang mengintai di baliknya, siap untuk menerkam mereka kapan saja. "Kita tidak bisa mundur," katanya, mencoba mengumpulkan keberanian. "Kita harus menyelesaikan semuanya."
"Bagaimana jika itu jebakan?" tanya Rina dengan suara cemas.
"Jika kita tidak masuk, kita akan terperangkap di sini selamanya," jawab Diana, menggenggam tangan teman-temannya dengan erat. "Kita harus mencoba."
Dengan hati-hati, Diana memimpin langkah mereka, membuka pintu itu perlahan. Saat pintu terbuka sepenuhnya, sebuah cahaya putih yang sangat terang menyilaukan mereka. Mereka terpaksa menutup mata, tetapi segera setelah cahaya itu mereda, mereka bisa melihat apa yang ada di dalam.
Di dalam ruangan itu, terdapat sebuah meja besar, dan di atasnya tergeletak sebuah buku tua yang tampaknya sangat berharga. Buku itu terbungkus kain hitam, dengan simbol yang sama seperti yang mereka temui sebelumnya. Di samping buku itu, ada sebuah kunci besar yang tampaknya terbuat dari logam kuno, dan di sekelilingnya terdapat tulisan-tulisan yang lebih banyak, seakan memberikan petunjuk lebih lanjut.
Namun, meskipun ruangan itu tampak tenang, sesuatu terasa sangat salah. Udara di dalam ruangan terasa semakin dingin, dan bayangan gelap mulai bergerak di sudut-sudut ruangan. Mereka bisa merasakan bahwa sesuatu yang mengerikan sedang mengintai mereka, dan mereka harus segera menemukan cara untuk membuka misteri ini sebelum semuanya terlambat.
"Apakah ini semua ada hubungannya dengan yang kita cari?" tanya Niko, melihat buku itu dengan rasa ingin tahu yang terpendam.
Diana menatap buku itu dengan penuh perhatian. "Ini mungkin jawabannya," katanya. "Tapi kita harus hati-hati. Apa pun yang kita temui di sini, kita harus siap menghadapinya."
Arman mendekat dan meraih kunci yang ada di atas meja. "Kunci ini... mungkin akan membuka sesuatu," katanya, suaranya penuh teka-teki. "Tapi untuk apa?"
Namun, saat kunci itu tersentuh, ruangan itu seketika berubah. Langit-langitnya seolah retak, dan suara yang terdengar di sekeliling mereka semakin menakutkan. Bayangan-bayangan gelap mulai bergerak lebih cepat, membentuk bentuk-bentuk aneh yang tampaknya semakin mendekat.
"Kita harus segera pergi!" seru Shara, mulai panik. "Ini terlalu berbahaya!"
Tetapi sebelum mereka bisa melangkah mundur, suara berat pria itu kembali terdengar.
"Kalian telah memilih untuk mengetahui kebenaran," katanya dengan suara yang menggelegar. "Sekarang, kalian harus membayar harga untuk setiap pilihan kalian."
Diana menggenggam tangan teman-temannya lebih erat. "Tidak ada jalan mundur sekarang," bisiknya. "Kita harus terus maju."
Dengan itu, mereka melangkah maju, menyadari bahwa ujian terakhir ini mungkin jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.