Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Tidak rela
"Non Yasna!" Zaki terkejut melihat kedatangan majikannya, Zaki memang memanggil Yasna Non, karena permintaan Yasna sendiri, seperti halnya Bik Rahmi.
"Maaf pak, saya membangunkan Pak Zaki," ucap Yasna dengan suaranya yang serak.
Zaki heran melihat majikannya berada disini, ia melihat jam dipergelangan tangannya menunjuk ke angka tiga, ini masih sangat pagi, tapi kenapa Nona Yasna berada disini? Dan lihat wajahnya seperti habis menangis, dan suaranya pun terdengar serak, pasti sudah lama sekali nonanya ini menangis, tapi karena apa? Zaki segera bangun dan menghampiri Yasna.
"Ada apa ya, Non?" Zaki bertanya pada Yasna dan Yasna hanya menggeleng sebagai jawaban.
"Aku buatin Pak Zaki teh, silahkan diminum."
"Kenapa repot-repot, Non. Saya bisa membuatnya sendiri."
"Aku lagi butuh teman ngobrol."
Yasna duduk diikuti Zaki sedikit jauh, Yasna menatap langit yang gelap, tidak ada satu pun bintang disana.
"Pak Zaki punya anak berapa?"
"Dua, Non."
"Anak tertua umur berapa Pak? Laki-laki atau perempuan?"
"Tiga belas tahun Non, kelas satu SMP, dia perempuan."
"Pak Zaki pernah tidak memikirkan, seperti apa suami untuk anak Pak Zaki kelak?" tanya Yasna yang masih menatap langit yang gelap.
Mendapat pertanyaan seperti itu, membuat Zaki semakin yakin, jika terjadi sesuatu pada rumah tangga majikannya itu, tapi apa itu? Ia tidak tahu sama sekali, yang ia tahu semalam kedua majikannya itu baru pulang.
"Saya mah, tidak mau banyak bermimpi Non, asal dia seagama dan beragama itu saja Non."
"Maksudnya, Pak?" tanya Yasna menatap Zaki.
"Maksudnya seagama? Dia juga Islam seperti saya dan keluarga, sedangkan beragama? Dia bukan hanya Islam KTP saja, tapi juga menjalankan hak dan kewajibannya sebagai seorang muslim, karena saya yakin jika orang itu sungguh mengerti tentang Islam, kebaikan akan mengikutinya."
"Bukankah dalam Islam juga menjelaskan, tentang balasan bagi perempuan yang mau dimadu itu surga? apa Bapak juga mengizinkan anak Bapak dimadu?"
"Memang ada Non?" tanya Pak Zaki balik.
"Aku nggak tahu Pak, aku cuma pernah mendengar, ada orang yang mengatakannya saja."
"Yang saya tahu sih Non, belum ada dalil shahih yang menyatakan secara khusus, tentang ridhonya istri yang dimadu, namun ada hadits yang menjelaskan,
'ketika seorang wanita bersabar dalam ketaatan kepada suaminya, maka hal itu menjadi salah satu sebab yang akan mengantarkannya masuk surga'
Saya tidak tahu apakah keikhlasan seorang istri yang rela dimadu itu termasuk dalam hadits tersebut atau tidak, saya masih minim, Non. Tentang agama, masih perlu banyak belajar."
"Non, kenapa diam?" tanya Zaki yang melihat Yasna terdiam cukup lama, sepertinya memikirkan perkataannya tadi.
"Tidak apa-apa Pak, silahkan diminum tehnya, Pak."
"Terima kasih Non."
Benar apa yang dikatakan Pak Zaki, ia juga tidak tahu apa keikhlasan seorang istri yang rela dimadu, termasuk dalam ketaatan pada suaminya? Yang lebih penting dari itu, dia tidak akan pernah rela dimadu, meskipun dia bukan istri yang sempurna bagi suaminya, tetap saja dia tidak ingin berbagi suami.
*****
Flashback on
Zahran yang tengah berada di ruang meeting, tiba-tiba mendapat telphon dari Mamanya yang mengatakan bahwa, Yasna dilarikan ke Rumah sakit, tanpa banyak bertanya Zahran segera pergi, ia tidak mengatakan apapun pada karyawannya, para karyawan pun dibuat kebingungan dengan kepergian Zahran tanpa pamit.
Zahran mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi, begitu sampai di Rumah sakit segera ia berlari mencari Mamanya yang berada didepan ruang UGD.
"Ma, bagaimana keadaan Yasna?" tanya Zahran saat bertemu Mamanya.
"Masih didalam, Dokter sedang memeriksanya."
"Bagaimana ini bisa terjadi Ma?"
Faida pun menceritakan semua yang terjadi di rumah tadi, Zahran mengusap wajahnya kasar menyalurkan kegelisahannya, ia sudah berkali-kali mengingatkan Yasna agar berhati-hati, tetapi kenapa Yasna masih saja ceroboh
"Bukankah di rumah ada Bik Sari, kenapa Mama tidak meminta Bik Sari saja? kenapa harus Yasna?"
"Mama tidak pernah memintanya, dia sendiri yang ingin mengambilkan."
"Sudah, lebih baik kita menunggu Dokter," sela Hamdan.
"Nak Zahran! Bagaimana keadaan Yasna?" tanya Alina yang baru datang dengan ngos-ngosan, sepertinya Ia juga sama halnya dengan Zahran yang begitu mengkhawatirkan Yasna.
"Kami masih belum tahu, Bu," jawab Zahran.
"Sudah, Bu. Kita tunggu saja," ucap Hilman.
Zahran mondar-mandir di depan pintu menunggu dokter dengan gelisah, tak berapa lama dokter akhirnya keluar.
Terlihat pintu terbuka, seorang dokter keluar diikuti seorang perawat.
"Bagaimana keadaan istri saya, Dok?" tanya Zahran.
"Mohon maaf pak, kami tidak bisa menyelamatkan janinnya dan...." dokter tersebut terdiam, ia tidak tega mengatakannya.
"Dan apa, Dok?" tanya Zahran.
"Ibu mengalami pendarahan hebat dan kami harus segera mengangkat rahim beliau," ucap Dokter.
Duarrr
Hari masih siang, Matahari pun bersinar begitu cerahnya, tapi kenapa Zahran merasa dunianya begitu gelap, tidak ada tanda-tanda akan adanya badai, tapi kenapa badai kini menghantam kehidupannya? lalu bagimana dengan Yasna? Apa yang harus ia katakan pada Yasna nanti? Ia tak sanggup mengatakannya, ia tak sanggup melihat wajah sedih Yasna.
Sementara Alina sudah tak sadarkan diri, setelah mendengar keadaan Yasna dari dokter.
"Sebentar lagi Suster akan datang dan saya harap Tuan segera mengambil keputusan, karena semakin lama, akan semakin memperburuk keadaan pasien," ucap Dokter yang diangguki Zahran.
Zahran akhirnya menanda tangani persetujuan operasi dengan terpaksa, ia tidak punya pilihan lain hanya itu jalan satu-satunya.
Operasi berjalan dengan lancar dan kini Yasna sudah berada di ruang rawat inap, Zahran tak meninggalkan Yasna sedikit pun, ia selalu disampingnya dan kini ia tengah gelisah memikirkan apa yang harus dikatakan nanti pada Yasna, untuk masalah keguguran Zahran masih bisa mengatakannya, tapi untuk rahimnya? Zahran tidak sanggup, karena ia tahu betapa berartinya rahim bagi seorang wanita.
Setelah cukup lama menunggu akhirnya Yasna tersadar, Yasna melihat sekeliling dan merasa tidak mengenali tempat ini dan bau obat yang menusuk hidung, membuat ia tahu keberadaannnya tanpa bertanya, tapi kenapa dia ada disini? Kemudian ingatannya kembali pada kejadian di rumah, seketika tangannya bergetar mencoba mengusap perutnya dan tebakannya benar, perutnya kini sudah rata dan menetes juga air mata Yasna.
"Sayang, kenapa kamu menangis?" tanya Zahran yang terlihat kebingungan, pandangannya tanpa sengaja menangkap tangan Yasna yang berada diatas perut, ia sekarang tahu penyebab Yasna menangis.
"Sayang, sabar ya! Tuhan lebih sayang padanya, kita nanti bisa mengadopsi anak, kamu mau berapa anak? kita bisa mengadopsinya dari panti asuhan," ucap Zahran.
Deg
"Apa maksud, Abang? Kenapa kita harus adopsi? Kita bisa memiliki anak sendiri, kenapa harus mengadopsi?" tanya Yasna.
"Sayang kamu harus sabar, tadi kamu mengalami pendarahan hebat, mau tidak mau rahim kamu harus diangkat dan Dokter tadi sudah mengangkat rahim kamu," ujar Zahran hati-hati.
Duarrrr
.
.
.
.