Evan Dinata Dan Anggita sudah menikah satu tahun. Sesuai kesepakatan mereka akan bercerai jika kakek Martin kakek dari Evan meninggal. Kakek Martin masih hidup, Evan sudah tidak sabar untuk menjemput kebahagiaan dengan wanita lain.
Tidak ingin anaknya menjadi penghambat kebahagiaan suaminya akhirnya Anggita
rela mengorbankan anak dalam kandungan demi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain. Anggita, wanita cantik itu melakukan hal itu dengan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permohonan Anggita
Evan menatap Anggita sambil membuka sabuk pengamannya sendiri. Melihat Anggita tidak berniat turun, Evan juga masih berdiam di depan setirnya. Ada rasa yang menyusup ke relung hatinya. Evan merasa tidak tega melihat wajah Anggita.
Sedangkan Anggita masih menatap lurus ke depan. Tak sadar, tangannya mengelus perutnya.
"Kamu lapar?" tanya Evan yang melihat Anggita mengelus perutnya. Anggita menggelengkan kepalanya. Tangannya langsung berhenti mengelus. Dia tidak ingin, Evan mencurigai pergerakan tangannya itu.
"Kalau kamu lapar, Kita bisa cari makanan terlebih dahulu. Sebenarnya, aku juga lapar," kata Evan lagi. Anggita menatap Evan. Baru Kali ini suaminya itu perhatian terhadap dirinya. Dan sikap Evan juga berubah aneh. Kali ini, pria itu tidak bersikap dingin kepadanya.
"Baiklah, Kita Cari makanan," jawab Anggita. Ini lebih baik daripada meminta maaf kepada Adelia. Dan semoga saja Evan lupa dan setelah makan nanti mengantarkan dirinya ke rumah kakek Martin.
Evan membawa mobilnya mencari penjual makanan yang buka 24 jam. Mereka sudah hampir satu jam berkeliling tapi makanan yang dicari tidak ada yang cocok dengan selera Evan. Anggita harus menahan kantuk yang luar biasa untuk memenuhi keinginan suaminya itu. Berkali kali mulutnya terbuka lebar karena menguap.
"Bagaimana, kalau di Sana saja?" tanya Anggita sambil menunjuk Warung makanan Sea food. Evan hanya menggelengkan kepalanya pertanda tidak setuju dengan pilihan Anggita.
Anggita merasa bingung bercampur kesal. Dari tadi mereka melewati Warung makanan. Dan bahkan melewati sebuah restoran ayam goreng yang buka 24 jam. Di tengah malam seperti ini, jika lapar tidak seharusnya terlalu memilih makanan. Tapi itu tidak berlaku untuk Evan.
"Sebenarnya kamu mau makan apa mas?" tanya Anggita lembut. Begitu lah Anggita, seharusnya mengingat sikap menyebalkan Evan dia tidak seharusnya bersikap lembut seperti ini. Tapi Anggita adalah tipe manusia yang tidak pendendam. Satu sifat yang disukai kakek Martin yang mengantarkan Anggita menjadi istri Evan.
"Hmm, sebenarnya aku ingin makan ayam goreng," jawab Evan membuat Anggita membulatkan matanya. Tadi mereka sudah melewati restoran itu tapi mengapa Evan tidak menghentikan mobilnya di sana.
"Bukankah Kita sudah melewati restoran ayam goreng?"
Evan menggaruk pelipisnya dengan telunjuk tangan kirinya. Dirinya agak sungkan untuk mengungkapkan keinginan yang sebenarnya.
"Putar balik aja mas," kata Anggita bermaksud mengingatkan suaminya.
"Sebenarnya aku ingin makan ayam goreng masakan kamu sendiri."
Akhirnya Evan tidak tahan untuk memendam keinginannya. Dia juga tidak mengerti mengapa keinginannya sangat kuat untuk memakan ayam goreng buatan Anggita. Anggita akhirnya paham. Inilah alasan suaminya tidak bersikap dingin kepadanya karena ada maunya. Sama seperti kemarin ketika suaminya itu menginginkan sup iga buatannya.
"Baiklah, aku akan memasak ayam goreng untuk kamu sebagai balasan atas kebaikan kamu malam ini," kata Anggita akhirnya. Bagi Anggita membalas perbuatan Evan adalah suatu keharusan. Kelak, biar tidak ada yang perlu diingat dari suaminya itu.
Evan tersenyum senang mendengar jawaban dari Anggita. Dia mengendarai Mobil dengan kencang supaya cepat sampai di rumah.
Evan membawa Anggita ke rumah kakek Martin. Suasana rumah itu sudah sepi. Hanya ada satpam yang berjaga dan asisten yang membukakan pintu untuk mereka. Kedua orang tua Evan Dan juga Gunawan serta keluarganya sudah kembali ke rumah masing masing.
Hampir satu jam, Anggita mengeksekusi bahan bahan itu menjadi ayam goreng permintaan Evan. Untung saja bahan bahan itu sudah tersedia di kulkas sebelumnya.
"Ini mas. Silahkan dinikmati," kata Anggita sambil meletakkan piring yang berisi tiga ayam goreng di hadapan Evan. Pria itu sejak masuk ke dalam rumah sudah menunggu di meja makan. Melihat ayam goreng di hadapannya, wajah pria itu berbinar.
"Kamu, mau ke mana?" tanya Evan sambil mengunyah ayam goreng itu.
"Aku mau makan di kamar saja mas," jawab Anggita. Di tangannya sudah ada piring berisi ayam goreng juga.
"Makan disini saja," kata Evan membuat Anggita berhenti melangkah.
"Apa mas lupa?. Selera makanmu akan hilang jika satu meja dengan aku," kata Anggita sengaja menyindir Evan. Di awal menikah, Evan pernah mengatakan seperti itu. Itulah sebabnya mereka hampir tidak pernah makan bersama di meja yang sama.
Ayam goreng yang Ada di mulut Evan serasa seperti kawat diri. Perkataan Anggita mengingatkan dirinya tentang kata kata itu yang keluar dari mulutnya sendiri. Walau mendapatkan sindiran tidak membuat selera makannya menghilang.
Anggita berlalu dari ruang makan, dia melihat jam yang menempel di dinding yang sudah menunjukkan angka satu. Mereka tidak mengetahui jika nenek Rieta memperhatikan gerak gerik suami istri itu.
Anggita masuk ke dalam kamar yang biasa dia tempati jika menginap di rumah kakek Martin. Tak lama kemudian, Anggita menulikan telinganya ketika mendengar suara ketukan pintu diiringi dengan suara Evan yang memanggil namanya.
Anggita akhirnya bisa menarik nafas lega setelah ketukan pintu tidak terdengar lagi. Setelah ayam gorengnya sudah berpindah ke perut. Akhirnya Anggita membaringkan tubuhnya di ranjang. Terlalu lelah menghadapi masalah hidup satu harian membuat wanita itu cepat terlelap.
Pagi Hari tiba, kediaman kakek Martin kembali ramai. Danny Dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah itu. Sebelum Danny berangkat ke America, pria itu akan menghabiskan satu hari ini di rumah kakek Martin. Sesuai jadwal penerbangan pria itu akan berangkat nanti malam.
Rumah itu bertambah ramai dengan celotehan anak kecil yang merupakan putri Danny yang bernama Sisil.
"Oma, aku mau Susu," teriak Sisil kepada tante Tiara. Wanita itu dengan sigap membuat Susu untuk cucunya. Rencananya, Sisil akan tinggal di rumah tante Tiara. Keputusan itu sudah bulat. Danny menutup akses untuk mamanya Sisil bertemu dengan putrinya untuk sementara.
"Ini Sisil putrinya Danny tante?" tanya Evan yang baru bergabung di ruang keluarga itu. Semalam dia tidak bertemu dengan Sisil karena insiden jatuhnya Adelia di tangga. Ternyata Evan tidak pulang ke rumahnya tadi malam tapi dia tidur terpisah dari Anggita.
"Iya Evan. Sisil, ayo perkenalkan dirimu kepada om Evan," kata Tante Tiara.
"Hai om," kata Sisil sambil melambaikan tangannya. Evan tertawa melihat wajah lucu keponakannya. Anak kecil berusia tiga tahun itu berhasil memikat hati Evan.
"Hai Sisil. Sini sama om," jawab Evan sambil mengulurkan tangannya. Sisil menurut dan kini sudah berada di gendongan Evan.
"Om, akan memberikan kamu sesuatu," kata Evan sambil membawa Sisil menuju dapur.
Evan membuka kulkas mencari makanan yang cocok untuk anak kecil. Pilihannya jatuh pada buah apel.
"Tidak mau," kata Sisil sambil menggelengkan kepalanya.
"Jadi Sisil mau apa?" tanya Evan penuh kesabaran menghadapi anak kecil itu.
"Es krim."
Evan kembali membuka kulkas. Es krim yang diinginkan keponakannya ternyata tidak ada.
"Es krimnya tidak ada. Bagaimana kalau Sisil makan buah apel dulu. Nanti siang kita pergi ke supermarket beli es krim. Mau kan?" bujuk Evan. Sisil mengangguk dan menerima apel dari tangan Evan.
"Janji ya om."
"Janji."
Evan mencium gemas kedua pipi keponakannya. Sedangkan Sisil tertawa karena kegelian akibat gesekan kumis tipis milik Evan.
"Anak pintar. Putri siapa sih ini," puji Evan setelah puas mencium pipi keponakannya. Sisil memang anak yang tergolong pintar. Di usianya yang masih tiga tahun tapi anak itu sudah lancar berbicara dengan dua Bahasa.
"Putri papa Danny." Sisil kembali mendapatkan ciuman di pipinya setelah menjawab pertanyaan Evan.
Sepasang Mata tersenyum melihat interaksi Evan dan Sisil. Tidak sadar, wanita itu mengelus perutnya. Dia membayangkan anaknya akan mendapatkan kehangatan kasih sayang dari seorang Ayah. Tapi tak lama kemudian, senyum itu memudar. Yang ada matanya berkaca kaca membayangkan anaknya tumbuh tanpa kasih sayang. Tak ingin melihat bagaimana sayangnya Evan kepada Sisil. Anggita meninggalkan tempatnya berdiri dan berjalan menuju taman yang Ada di belakang rumah.
"Apa Evan belum mengetahui jika kamu hamil?.
Anggita tersentak mendengar suara yang tiba tiba hinggap di telinganya. Dengan santai, Danny sudah ikut duduk di bangku besi bersama Anggita.
"Hamil. Siapa yang hamil?" tanya Anggita pura pura tidak mengetahui maksud pembicaraan Danny.
"Bukankah kamu yang mengatakan jika kamu hamil ketika kita bertemu di supermarket?.
Anggita menatap Danny sebentar. Dia mengira jika Danny tidak mengingatnya. Tapi ternyata apa yang dia katakan di supermarket kemarin masih diingat oleh pria itu.
"Itu hanya alasan untuk mendapatkan buah Kiwi."
"Mengapa kamu tidak memberitahukan kehamilan kamu kepada Evan?" tanya Danny tanpa memperdulikan jawaban Anggita.
"Untuk apa?. Itu hanya akan memperlama perceraian kami."
"Kamu menyembunyikan kehamilan kamu. Setelah bercerai, kamu akan pergi jauh dari keluarga kakek Martin. Itu yang kamu rencana kan?" tanya Danny membuat Anggita menundukkan kepalanya. Danny seperti manusia yang bisa membaca pikirannya.
"Tidak. Untuk apa Ali pergi jauh. Kakek sudah memberikan aku kafe. Aku akan mengelola kafe itu untuk aku dan anak aku kelak. Aku bukan pengecut yang lari dari kenyataan. Aku akan tetap di kota ini. Aku ingin melihat bagaimana sepupu kamu itu bahagia bersama wanita pujaannya."
"Sebenarnya kalau kamu mau memberitahukan kehamilan kamu kepada kakek. Aku pastikan anak kamu akan langsung mempunyai saham di perusahaan yang dipimpin Evan saat ini. Terlepas dari kalian bersama atau bercerai."
Anggita tersenyum mendengar perkataan Danny. Dia juga sudah mengetahui itu. Kakek dan nenek sudah pernah mengatakan hal itu jika dirinya hamil. Tapi justru itulah yang ditakutkan oleh Anggita. Dia takut, mama Anita akan mengatakan dirinya memanfaatkan keberadaan janinnya demi harta.
"Danny, aku mohon. Tolong rahasiakan kehamilan aku ini. Cukup kamu saja yang tahu," kata Anggita memohon kepada Danny. Pria itu hanya menatap Anggita.
"Tidak boleh begitu Anggita. Bagaimanapun anak kamu harus berhak mendapatkan apa yang seharusnya dia dapat sebagai keturunan kakek Martin. Aku akan berdosa jika membantu kamu menyembunyikan kehamilan kamu itu."
"Danny, aku mohon," kata Anggita sambil menangkupkan kedua telapak tangannya di dada. Dia sangat berharap Danny tidak buka mulut tentang kehamilannya.
tapi di ending bikin Sad
senggol dong
tapi mengemis no.