Akhir diskusi di majelis ta'lim yang dipimpin oleh Guru Besar Gus Mukhlas ternyata awal dari perjalanan cinta Asrul di negeri akhirat.
Siti Adawiyah adalah jodoh yang telah ditakdirkan bersama Asrul. Namun dalam diri Siti Adawiyah terdapat unsur aura Iblis yang menyebabkan dirinya harus dibunuh.
Berhasilkah Asrul menghapus unsur aura Iblis dari diri Siti Adawiyah? Apakah cinta mereka akan berakhir bahagia? Ikuti cerita ini setiap bab dan senantiasa berinteraksi untuk mendapatkan pengalaman membaca yang menyenangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hendro Palembang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Interogasi Siti Adawiyah
Sementara Siti Adawiyah berlari sekuat tenaga, burung besar itupun terbang cepat diikuti ratusan prajurit yang mengejarnya.
Secara kebetulan tanpa disangka oleh Siti Adawiyah, tiba-tiba tubuhnya jatuh ke jurang dan lagi-lagi secara kebetulan tubuh Siti Adawiyah terjatuh keatas tubuh burung besar tersebut.
Para Jenderal dan ratusan prajurit yang mengejar burung itu melihat dengan jelas bahwa Siti Adawiyah sedang menunggangi burung besar yang dikejar mereka.
"Jenderal Umar! Tidak salah lagi! Ternyata perempuan itu adalah anggota suku Iblis. Lihatlah! Betapa akrabnya perempuan itu dengan burung besar tersebut."
"Serang burung itu beserta penunggangnya sekalian!"
Jenderal Umar memotong kedepan burung besar tersebut.
Akhirnya burung besar itu mendarat, dan Siti Adawiyah turun dari punggung burung itu.
Jenderal Umar menghadapi burung besar, sementara jenderal lainnya beserta beberapa prajurit menyerang Siti Adawiyah.
Tatkala Jenderal Umar hampir kewalahan menghadapi burung besar, tiba-tiba ada sebuah pedang melesat menyerang burung besar itu dan tidak lama kemudian muncul sosok yang semua orang mengenalnya, yaitu Panglima Jenderal Asrul.
Semua tertegun sejenak, kemudian Jenderal Umar memerintahkan prajuritnya untuk menangkap burung besar itu dan juga Siti Adawiyah.
Semua jenderal dan prajurit bersujud kepada Panglima Jenderal Asrul, sementara Asrul sedang berusaha melemahkan kekuatan burung besar tersebut.
"Salam Panglima.."
"Selamat datang Panglima.."
"Ternyata dia Panglima Jenderal Asrul. Kenapa kelihatannya tidak seperti yang ku baca di buku?"
Siti Adawiyah tercengang.
Sementara itu di lembah taman seribu bunga, Wildan baru pulang. Tidak lama kemudian, Maelin juga pulang.
"Hey.. Maelin! Kenapa engkau ada disini? Bukannya engkau sedang bertugas di negeri akhirat?"
Wildan kaget melihat Maelin yang berada di lembah taman seribu bunga.
"Halaah... Kurang ajar elo Wildan! Gara-gara elo nih. Sekarang Siti Adawiyah ditangkap oleh prajurit negeri akhirat."
Maelin sangat marah kepada Wildan, bahkan sampai Wildan dihukum oleh Maelin dengan cara mengikatnya di pohon apel.
Wildan terdiam seribu bahasa. Sedangkan Maelin, bergegas mencari Jena untuk melaporkan kejadian yang menimpa Siti Adawiyah di istana negeri akhirat.
"Ayah.. Ayah dimana?.. Ayah.."
Akhirnya Maelin menemukan Jena berada di beranda sedang bersantai ria.
"Ayah.. Ada yang ingin Maelin laporkan.." Tanpa membuang waktu, Maelin langsung berlutut tanda penghormatan.
Memang sejak kecil Jena telah mengajarkan adat istiadat kepada semua muridnya, yaitu anak angkatnya, bahwa harus memberi hormat kepada orang yang lebih tua dan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya.
"Tunggu dulu, tunggu dulu.. Ngomong-ngomong kenapa engkau meninggalkan negeri akhirat? Bukankah engkau sudah diberi titah oleh Khalifah untuk bertugas di istana negeri akhirat?" Jena sengaja mengalihkan perhatian Maelin agar tidak terlalu tegang.
Jena telah melihat gelagat Maelin bahwa ada sesuatu yang sangat penting, dan Jena berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan olehnya.
"Gawat ayah, gawat..." Maelin tidak sanggup menahan kekhawatirannya.
"Tenang, tenang.. Bicarakan perlahan-lahan. Ceritakan dimulai dari mengapa engkau meninggalkan istana negeri akhirat." Jena masih menggiring Maelin untuk bicara dengan tidak panik.
"Ayah, Siti Adawiyah.."
Maelin terdiam.
"Ya, kenapa Siti Adawiyah?"
Jena menjadi khawatir.
"Ketika Maelin sedang menghadiri upacara pelantikan Panglima baru, Maelin melihat Siti Adawiyah sedang di interogasi. Siti Adawiyah dikenakan tuduhan telah bekerjasama dengan bangsa Iblis."
Maelin bercerita sambil menangis tersedu-sedu.
"Kenapa bisa begitu? Kenapa Khalifah tidak memandang identitas aku?" Jena mengamuk dan tergesa-gesa ingin segera menjumpai Khalifah.
"Ayo kita ke istana negeri akhirat... Jangan lupa bawa tanda pengenal..."
Jena menarik tangan Maelin untuk segera berangkat ke negeri akhirat.
Di istana negeri akhirat, Jenderal Asrul sedang menghadap Khalifah Taimiyah untuk melaporkan kembalinya dirinya.
"Selamat datang Panglima Jenderal Asrul. Saya sangat senang sekali akhirnya engkau kembali bergabung bersama negeri akhirat."
Khalifah Taimiyah memeluk Asrul.
"Kembalinya Jenderal Asrul adalah suatu berkah. Sang Pencipta telah menganugerahkan cinta kasihNya kepada negeri akhirat." Khalifah Taimiyah kembali mengucapkan rasa syukur.
Kemudian selanjutnya Jenderal Umar melaporkan kejadian yang telah terjadi di Jurang Neraka.
"Lapor Khalifah.. Kami telah berhasil mengatasi burung besar kendaraan raja Iblis."
"Jenderal Umar, saya mendengar bahwa engkau telah menggunakan seluruh kemampuanmu untuk menghadapi siluman burung tersebut. Sekarang silahkan menemui tabib Maelin untuk memulihkan kondisi tubuhmu."
Khalifah Taimiyah sangat mengenal Jenderal Umar, semangat juang tinggi namun kemampuan tidak memadai.
"Terimakasih Khalifah.. Saya rasa hal itu tidak usah dikhawatirkan. Kondisi tubuh saya baik-baik saja."
Jenderal Umar merasa tidak enak dengan kekhawatiran Khalifah.
Kemudian Jenderal Usman angkat bicara.
"Maafkan saya Khalifah.. Izinkan saya mengungkapkan saran. Sungguh.. Kami menjadi saksi, bahwa Jenderal Umar telah berusaha maksimal untuk menghadapi siluman burung itu. Seandainya Panglima Jenderal Asrul tidak datang, sudah pasti Jenderal Umar akan binasa terbunuh oleh siluman burung itu. Saran saya, sebaiknya Jenderal Umar segera dibawa ke tabib istana untuk memulihkan kembali kondisi tubuhnya."
"Lancang kau Usman!.. Engkau telah merendahkan kemampuanku!" Jenderal Umar sangat tersinggung atas ucapan jenderal Usman.
"Jenderal Usman, ingat batasanmu. Jenderal Umar adalah seniormu." Khalifah Taimiyah meredakan situasi.
"Maaf Khalifah.. Ada satu lagi yang ingin saya laporkan.. Kami telah menangkap seorang wanita dari alam dunia. Kami melihat dia menunggangi siluman burung itu. Sudah pasti dia adalah pengikut Iblis. Mohon Khalifah menghukumnya."
Jenderal Usman memerintahkan prajuritnya untuk membawa Siti Adawiyah ke hadapan Khalifah.
Lalu Khalifah Taimiyah bertanya kepada Siti Adawiyah.
"Nona, siapa namamu?Darimana asalmu?.. Mengapa engkau mengacaukan negeri akhirat?"
Siti Adawiyah menjawab.
"Maaf tuan, nama saya adalah Siti Adawiyah. Saya memang bersalah, saya patut dihukum. Saya hanya mengikuti perintah ayah saya untuk mengantarkan obat ke istana negeri akhirat. Saya terlalu percaya diri untuk memasuki istana negeri akhirat."
"Siapa nama ayahmu."
Khalifah penasaran. Setahu Khalifah Taimiyah, hanya tabib Jena yang diizinkan mengurus masalah pengobatan di negeri akhirat.
Siti Adawiyah ragu untuk menyebutkan nama ayahnya. Siti Adawiyah khawatir jika dia menyebutkan nama ayahnya maka ayahnya akan terlibat dan akan dihukum juga bersamanya.
Siti Adawiyah tidak mengetahui seberapa besar peran ayahnya di istana negeri akhirat. Daripada mempertaruhkan sesuatu yang tidak diketahui, Siti Adawiyah berinisiatif untuk merahasiakan identitas ayahnya.
"Engkau telah lancang memasuki istana negeri akhirat. Terlebih lagi engkau tidak menyebutkan identitas dirimu. Bukankah ini namanya engkau cari mati?"
Khalifah Taimiyah hampir naik pitam, namun akhirnya mereda setelah akhirnya datang seorang pria paruh baya yang memaksa untuk bertemu Khalifah Taimiyah.
"Minggir kalian! Jangan halangi aku untuk bertemu Khalifah Taimiyah! Jika kalian tidak menyingkir, jangan salahkan saya jika kalian akan terluka!"
Pria paruh baya itu berusaha masuk meskipun beberapa prajurit menghalanginya.
Dari kejauhan Khalifah Taimiyah melihat bahwa yang datang adalah tabib Jena. Maka Khalifah Taimiyah memerintahkan prajuritnya untuk membiarkan tabib Jena menghadap.