Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Nitha,,," Yuna langsung memeluk Nitha begitu pintu kontrakannya terbuka.
"Maaf baru sempet main ke sini, soalnya Mama baru di bolehin pulang kemarin." Jelasnya kemudian melepaskan pelukan.
Nitha mengulas senyum.
"Nggak papa Yun, kamu kan emang harus jagain Mama kamu."
"aku juga belum sempet jengukin Mama kamu lagi, sekarang malah udah pulang." Nitha terlihat tidak enak, sama halnya dengan Yuna.
"Kamu sudah mulai ke kantor lagi.?" Nitha memperhatikan penampilan Yuna yang rapi seperti saat bekerja di kantor.
"Baru jam 11 Yun, kok kamu bisa kesini.?"
Kehadiran Yuna di jam kerja tentu saja membuat Nitha kebingungan, apa lagi Yuna memang belum memberitahu Nitha soal mengundurkan diri dari kantor.
"Aku nggak disuruh masuk dulu nih.? Capek kalo cerita sambil berdiri." Yuna menyengir kuda.
"Ya ampun, aku sampai lupa." Nitha sampai menepuk keningnya.
"Ayo masuk."
Yuna langsung masuk kedalam kontrakan Nitha. Kontrakan yang beberapa lagi akan di tinggalkan oleh Nitha karna dia berniat pulang ke kampung halaman setelah terjadi kesalahpahaman dengan salah satu dewan direksi sampai akhirnya Nitha di pecat secara tidak hormat.
Ini salah satu tujuan Yuna mengajak Nitha untuk membantu usahanya. Dengan begitu, Nitha tidak akan meninggalkan ibu kota. Dia juga tidak harus pulang ke kampung halamannya karna tidak ada lagi yang bisa dia temui di sana setelah Mamanya meninggal dunia beberapa tahun lalu.
"Jadi gimana ceritanya kamu bisa kesini.?" Tanya Nitha penasaran. Dia meletakkan air mineral dingin di atas meja, lalu duduk di samping Yuna.
Sebelum bercerita, Yuna lebih dulu meneguk air mineral itu. Selain menceritakan bahwa dia sudah mengundurkan diri dari kantor, Yuna juga ingin mengatakan kalau saat ini dia sudah menikah.
Karna akan mengajak Nitha bekerja dengannya, Yuna tidak punya alasan untuk menutupi kehidupan pribadinya pada Nitha sebelum nantinya Nitha akan banyak meminta penjelasan ketika melihat Barra di rumah itu.
Hanya saja, Yuna memilih bungkam soal surat perjanjian yang ia tanda tangani.
Bagi Yuna, cukup dia dan Barra saja yang tau kalau pernikahan mereka hanyalah pernikahan kontrak.
"Kamu serius Yun.?" Nitha tampak tidak percaya kalau temannya itu sudah menikah. Karna selama ini Yuna memang tidak pernah dekat dengan siapapun.
“Bukannya selama ini kamu nggak punya pacar.? /" Nitha hampir tidak bisa berkata-kata. Dia cukup terkejut mendengar pengakuan Yuna.
Yuna mengulas senyum tipis. Dia sudah menduga reaksi Nitha akan seperti ini.
"Kamu tau sendiri kan kondisi keuanganku seperti apa, belum lagi masalah hutang dengan rentenir tua itu." Yuna kembali menginginkan Nitha. Selama ini Nitha memang jadi tempat keluh kesahnya.
"Tiba-tiba saja Mas Barra datang dan mau melunasi hutang kami, juga membiayai operasi Mama."
“Bagaimana mungkin aku akan menolak laki-laki sebaik dia." Tuturnya dengan senyum tipis.
"Segampang itu dia bantuin kamu.?" Nitha menatap heran.
"Kamu nggak curiga sama kebaikan dia Yun.?" Pertanyaan Nitha membuat raut wajah Yuna berubah. Dia salah sudah menyembunyikan hal besar dari Nitha, sedangkan Nitha bukan tipe orang yang akan menerima sebuah cerita mentah-mentah tanpa di cerna dan dipikir logis.
"Maaf, aku nggak bermaksud mencurigai suami kamu Yun,,"
"Tapi aneh saja kenapa bisa sebaik itu sama orang yang baru dia kenal."
Nitha tampak berfikir keras. Di jaman yang serba susah mencari uang, apa lagi di kota besar ini, rasanya tidak mungkin ada orang yang akan memberikan bantuan secara cuma-cuma dengan nilai yang terbilang fantastis.
Memang ada pernikahan yang harus terjadi untuk membayar semua itu, tapi sulit untuk diterima begitu saja.
"Tapi Mas Barra memang sebaik itu Nit, kamu nggak percaya karna belum mengenalnya saja." Yuna masih berusaha menutupi kejanggalan yang mulai tercium oleh Nitha.
"Aku harus pulang sekarang, kasihan Mama kalau terlalu lama sendirian." Ucap Yuna sembari melihat jam di pergelangan tangannya.
"Besok jam 9 aku kesini, kita langsung cari konveksi saja biar cepat produksi." Yuna beranjak dari duduknya.
"Kamu memang selalu kerja cepat." Ujar Nitha.
"Oke,, semoga semuanya berjalan lancar."
Nitha sangat mendukung usaha yang akan dirintis oleh Yuna. Bahkan merasa terharu karna Yuna mempercayakan dirinya untuk terlibat dalam hal ini.
...*****...
Selesai makan malam, Yuna dan Mama Rena duduk di ruang keluarga. Yuna menceritakan keinginannya untuk membuka usaha sendiri di rumah setelah memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan.
"Apapun keputusan kamu, Mama hanya bisa mendukung, berdoa yang terbaik dan membantu semampu Mama."
"Mama rasa keputusan kamu sudah tepat."
"Meski dulu kami menyekolahkan kamu hingga meraih gelar sarjana demi masa depan kamu, agar kamu bisa mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak, tapi Mama jauh lebih senang kalau kamu rela melepaskan semua itu demi suami dan rumah tangga kalian kedepannya."
Yuna hanya mengulas senyum tipis sembari menganggukkan kepala. Namun dalam hati memanjatkan doa, berharap perceraian yang akan terjadi nantinya tidak akan melukai hati sang Mama.
"Sudah malam, sebaiknya Mama istirahat. Yuna juga mau tidur, sudah mengantuk."
Yuna menguap. Dia benar-benar lelah karna sepulang dari kontrakan Nitha langsung menyiapkan keperluan untuk membuka usahanya.
"Memangnya kamu Nggak nungguin Barra dulu.?"
"Mas Barra pulang larut malam. Dia bilang nggak usah di tungguin." Yuna menjawab asal. Padahal dia tidak tau Barra akan pulang atau tidak. Pesannya bahkan belum di baca sampai sekarang.
"Dia juga bawa kunci rumah kok."
"Ayo, Yuna antar Mama ke kamar."
Yuna merangkul pundak Mama Rena, lalu menuntunnya sampai ke kamar.
"Maafin Yuna, Mah,,," Gumam Yuna lirih. Dia menutup pintu kamar dengan mata yang berkaca-kaca. Jika Mama Rena tau kalau pernikahan itu terjadi hanya untuk sebuah perceraian, pasti Mama Rena tidak akan pernah memberikan restu pada Barra.
“Yuna nggak punya pilihan lain." Air matanya mulai menetes. Dia takut akan menghancurkan perasaan sang Mama jika perceraian itu terjadi.
Beranjak dari depan pintu, Yuna berjalan cepat sembari menghapus air matanya. Namun baru beberapa langkah, dia menabrak sesuatu hingga membuatnya hampir terjatuh.
"Aww,,," Pekik Yuna sembari memejamkan mata. Dia yakin akan jatuh tapi ternyata tangan besar melingkar di pinggangnya untuk menahan tubuhnya.
"Kalau jalan lihat-lihat, masih untung bisa di tahan."
"Gimana kalau jatuh." Tegur Barra dengan suara datar.
Seketika Yuna membuka mata. Sempat memegang pundak Barra untuk bisa berdiri dengan benar.
"Ma,,,maaf,," Yuna langsung menundukkan wajah, lalu menghapus sisa-sisa air mata di pipinya agar tidak dilihat oleh Barra.
"Aku pikir Mas Barra pulang larut. Makan malamnya sudah aku bereskan."
"Mau makan sekarang.? Biar aku siapkan." Tawar Yuna.
"Aku sudah makan." Sahut Barra. Yuna sudah menduga, lagipula dia hanya basa basi saja menawarkan makan malam untuk Barra agar status sebagai istri lebih terlihat fungsinya.
"Mama kamu sudah tidur.?" Tanyanya. Kedua bola matanya menatap ke arah pintu kamar Mama Rena.
"Baru saja masuk kamar, sepertinya belum."
Barra hanya mengangguk samar. Sepertinya dia juga hanya basi-basi saja menanyakan Mama mertuanya.
"Tolong isikan bathtub pakai air hangat, aku mau mandi." Pintanya.
"I,,iya,,," Yuna langsung beranjak dari hadapan Barra, pergi ke kamar untuk menyiapkan air.
Barra menghela nafas, lalu menyusul Yuna ke kamar. Tidak ada yang salah dengan Yuna, dia baik, sama halnya dengan Cindy. Keduanya sama-sama bisa menjaga diri. Tapi cinta tidak bisa dipaksakan.
Sesering apapun Cindy memintanya untuk membagi cinta dengan Yuna, rasanya tidak akan pernah biasa dia lakukan.