Hanna Mahira adalah seorang wanita berumur 27 tahun. Dia bekerja sebagai karyawan staff keuangan pada sebuah cabang dari perusahaan ternama. Anna panggilannya, menjadi tulang punggung keluarga. Setelah ayahnya meninggal dunia, semua kebutuhan hidup ada di pundaknya.
Dia memiliki adik perempuan yang sekolah dengan biaya yang di tanggungnya.
Anna mencintai atasannya secara diam-diam. Siapa sangka jika sang atasan mengajaknya menikah. Anna seperti mendapatkan keberuntungan, tentu saja dia langsung menerima lamaran sang bos tersebut.
Namun, di hari pertamanya menjadi seorang istri dari seorang David Arion Syahreza membawanya pada lubang kedukaan.
Sebab di hari pertamanya menjadi seorang istri terungkap fakta yang amat menyakitkan. Bahwa David sang suami yang sangat Anna cintai mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesalahan terbesar yang dia lakukan.
Ada apa sebenarnya?
Anna berusaha menyingkap tabir rahasia David dan berusaha tegar atas pernikahan tersebut.
Baca kisahnya dan temani Anna mengungkap rahasia besar David
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IkeFrenhas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab. 19
Kata orang, antara perasaan benci dan cinta itu berbeda tipis. Seseorang yang dicintai, maka akan menjadi seseorang yang paling dibenci. Mungkin, ini juga yang aku rasakan saat ini.
Entah kenapa, tiba-tiba lelaki yang berstatus suamiku itu bersikap manis padaku. Kelembutan yang ia berikan bagaikan jarum yang menusuk kulit. Perlahan, tapi pasti akan sakit yang ditimbulkannya.
Aku resah, jiwaku meronta membutuhkan kelembutan itu. Namun, hatiku begitu sakit. Sakit sekali. Hingga, akupun memilih diam. Mengabaikan apapun yang dia tawarkan. Sebab, masih belum mampu jika suatu waktu dia hempaskan kembali.
Aku memilih memejamkan mata. Terserah ... terserah apa mau dia. Aku tak peduli. TIDAK PEDULI.
Pagi ... ah, rupanya ragaku begitu kuat untuk terus menyambut pagi. Perawat datang membawa makanan.
"Dimakan ya ... cepet sehat," ujarnya riang. Aku hanya membalas dengan senyum dan anggukan.
Matanya sekilas melirik ke arah sofa tempat seorang lelaki tampan tengah duduk dengan mata yang fokus menatap ponsel.
Perawat itu tersenyum dengan wajah memerah. Ya Tuhan ... Bang David, bahkan dengan sikap tak acuhmu pun mampu menarik perhatian perawat. CK.
Aku berdehem, yang di sambut tatapan terkejut oleh sang perawat.
Bang David pun tampak mendongak, mengerutkan dahinya. Bingung mungkin.
Aku menatap tajam pada sang perawat. Lantas, perawat itu tampak salah tingkah dan buru-buru pergi.
"Kenapa? kamu cemburu sama perawat itu?" Lelaki itu bertanya dengan alis naik turun.
Aku melengos, membuang muka. Tak bisa kupungkiri ada yang bergejolak di dada ini melihat tingkah perawat tadi. Ck.
Entah seperti apa wajahku sekarang, pasti merah.
"Cemburu juga gak papa, kok. Itu tandanya ...."
Telingaku terasa terbakar, mendengar Bang David yang sengaja menggoda. Menunggu dengan tak sabar kalimat yang akan diucapkannya, sampai beberapa menit kemudian tak juga dilanjutkan.
Aku menoleh, menatap lelaki itu. Yang ternyata tengah menatapku, dalam. Aku bisa gila jika terus seperti ini.
Sialnya, dia tidak melanjutkan kalimatnya. Malah mengulum senyum, kemudian melanjutkan aktivitasnya fokus pada ponsel di tangan.
Sesaat kusadari. Di sini, dia sibuk menggodaku. Namun, di kepalanya ... dia sibuk memikirkan wanita lain.
Ah ....
Aku menurunkan kaki, ingin ke kamar mandi sekedar mencuci wajah dan otak ini agar tetap waras.
"Mau ke mana?" Bang David meletakkan ponselnya di sofa. Berdiri tegak dengan kedua tangan terulur ingin membantuku.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Menepis pelan yltangan kekar itu yang telah bertengger di bahu.
"Mau ke mana? Kamu marah ...?" Bukannya mengerti dengan penolakan yang aku berikan, dia malah memeluk pinggangku erat.
Aku masih diam, tak merespon sikapnya. Kemudian berjalan ke kamar mandi.
"Oohh ...."
Aku bergegas masuk. Bukannya segera melakukan apa yang tadi ingin kulakukan. Aku malah duduk lama di closet dengan berpangku tangan. Menghembuskan napas kasar, berulang kali. Mengurai sesak dalam dada.
Apa kamu pernah kebingungan menghadapi lelaki yang dicintai tapi tak pernah menganggapmu ada?
Bahkan lelaki itu suamiku sendiri. Berbulan-bulan pernikahan yang kami jalani tak membuahkan hasil apapun. Aku terlalu larut pada perasaanku sendiri dan perasaan orang-orang di sekitarku.
Tidak berhak kah hatiku ini bahagia?
Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba dia baik begini? Membuat hatiku kebat kebit?
"Dia hanya kasihan, Anna. Hanya kasihan ... sadarlah." Mulutku bergumam, sedang tangan kanan memukuli kepala agar tersadar.
Setelah berselang lama, aku pun keluar. Betapa terkejutnya, saat mendapati Bnag David tengah berdiri dengan bersandar kepala, matanya terpejam.
Aku melangkah meninggalkannya. Ngapain harus menungguku. Gak ada kerjaan.
"Lho, Ann ...." Aku naik ke ranjang, mengambil ponsel. Lalu menghubungi pak Adrian. Meminta izin.
Satu kali panggilan, langsung mendapat jawaban.
"Halo, Anna ...." Seperti biasa, suaranya terdengar lembut.
"Halo, Pak. Saya meminta izin tidak masuk hari ini. Nanti surat dokternya saya kirim, ya ... Pak ..."
"Kamu sakit apa?"
"Oh, butuh istirahat aja, kok ... Pak. Tidak ada yang serius."
"Baiklah ... kalau butuh apa-apa, segera hubungi aku ya. Jangan sungkan."
Aku tersenyum. "Terima kasih, Pak ...."
Panggilan di putus. Aku masih menggenggam ponsel, bayangan senyum pak Adrian tercetak jelas di wajah.
"Telpon siapa?" Suara ketus Bang David membuyarkan bayanganku.
Aku menoleh. Mengerutkan dahi. "Telpon siapa?" ulangnya dengan nada datar.
"Pak Adrian." Aku menjawab malas.
"Ngapain?" Bang David mendekat, berdiri di samping ranjang. Matanya menyorot tajam.
"Minta izin enggak masuk."
"Ada hubungan apa antara kamu sama si Adrian?"
"Hubungan antara atasan dan bawahan. Apa Bang David lupa, kalau aku seornag karyawan rendahan di perusahaanmu, ha?"
"Tapi, Aku boss nya di sana. Kenapa kamu meminta izin kepada Adrian."
"Karena dia adalah atasanku langsung."
"Tapi aku suami kamu. Aku enggak suka kamu berkata lemah lembut kepada lelaki lain, walaupun itu atasan kamu di kantor. Sedangkan kamu, enggak pernah, tuh ... bicara lembut begitu sama aku. Suami kamu."
"Oh ya ... enggak pernah yaa? Enggak pernah atau enggak inget. Udahlah, Bang ... aku ... capek ... mau istirahat." Suaraku tersendat.
Aku segera merebahkan diri, menarik selimut menutupi tubuh, kemudian berbaring miring memunggunginya. Tanpa bisa dicegah. Air mataku kembali mengalir. Aku lelah. Aku kalah ...
***
jangan lupa like, koment dan vote yang banyak ya teman. Sebagai penyemangat aku menulis.
makasih udah mau baca karyaku 😘😘
sungguh menyebalkan
terus adiknya juga kenapa gak sopan gitu , rasanya gak mungkin ada yg gitu amat , gak ada segen² nya sama kaka sendiri
semangat