"Menikahlah segera jika ingin menepis dugaan mama kamu, bang!."perkataan sang ayah memenuhi benak dan pikiran Faras. namun, bagaimana ia bisa menikah jika sampai dengan saat ini ia tidak punya kekasih, lebih tepatnya hingga usianya dua puluh enam tahun Faras sama sekali belum pernah menjalin hubungan asmara dengan wanita manapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peduli amat omongan orang.
"Apa dihati kamu pernah terbesit ingin meninggalkan aku, mas? Jika benar ada, lalu bagaimana nasibku dan anakku nanti jika sampai itu benar-benar terjadi?." batin Inara seraya melirik pada Faras yang fokus menatap garis putih jalanan.
"Kenapa melirikku seperti itu?."
Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sedang melirik pada nya, Inara bertanya-tanya dalam hati pasalnya saat ini Faras terlihat fokus menatap ke depan.
"Bukan apa-apa, mas." Inara sontak mengarahkan pandangannya lurus ke depan. Tak banyak perbicangan lagi sampai mobil Faras tiba di rumah.
"Kalian sudah pulang, nak." sapa mama Thalia ketika Inara dan Faras tiba di rumah.
"Iya, mah." Inara melangkah ke arah Sofa, menghampiri ibu mertua yang sedang membaca majalah. Menyalami ibu mertua, begitu pula dengan Faras yang berjalan di belakang langkah sang istri. Setelahnya, mereka pun pamit ke kamar, ingin segera membersihkan tubuh yang terasa lengket setelah beraktifitas seharian.
"Oh iya, bang, mama hampir lupa, besok Abang dan Inara jadikan menghadiri acara aqiqah cucu teman mama." mama Thalia setengah berteriak karena Faras sudah hampir tiba di anak tangga teratas.
"Abang nggak janji, mah. Soalnya besok Abang ada meeting penting dengan klien."
Mama Thalia mengangguk paham dengan kesibukan putranya. walaupun ia sangat berharap putra dan menantunya itu bisa meluangkan waktu.
"Bukannya besok mas tidak ada jadwal meeting, lalu kenapa tidak mau menghadiri acara aqiqah cucunya teman mamah?."
"Aku malas datang ke acara begituan, hanya buang-buang waktu." jawab Faras seraya menyerahkan jas yang baru ditanggalkannya ke tangan Inara dan lanjut membuka kancing kemejanya.
"Tidak boleh begitu dong mas, gimana kalau suatu hari nanti mama juga mengundang teman mama ke acara aqiqah cucu mama terus yang diundang tidak datang, pasti mama akan kecewa, iyakan?!."
"Memangnya kamu sudah hamil?." dari panjangnya kalimat Inara, hanya itu yang tertangkap oleh otak cerdas Faras. pria itu memeluk tubuh istrinya dari belakang, menyandarkan dagunya pada bahu Inara.
"Bukannya begitu mas, aku hanya bilang seandainya." Inara mengoreksi kalimatnya.
Ketimbang meladeni percakapan yang nantinya justru menjalar kemana-mana, Inara memilih membalikkan badannya menghadap pada Faras, membantu suaminya itu melepaskan kemejanya kemudian meletakkan ke dalam keranjang pakaian kotor.
"Kita baru menikah dua Minggu loh mas, kalau aku sudah hamil sekarang yang ada aku dikira hamil duluan lagi sama orang-orang."
"Ini rumah tangga kita, dan hanya Kita yang tahu. Peduli amat sama omongan orang diluar sana." bukankah di malam pertama Faras membuktikan dirinya lah pria pertama yang menyentuh istrinya, lalu untuk apa peduli dengan komentar orang lain. Faras selalu berpikir dengan logikanya sendiri tidak peduli dengan orang lain.
Inara memilih tak menimpali lagi. Karena, jika ia terus menimpali bisa jadi pembahasan mereka tidak akan ada selesainya terus berlanjut.
Langit di luar sana sudah berubah warna dari jingga menjadi gelap, pertanda malam telah menyapa.
Pukul setengah delapan, Faras dan Inara turun untuk makan malam bersama.
"Makin cantik saja kakak ipar aku ini." goda Za yang sudah bergabung di meja makan sejak beberapa saat lalu.
"Kamu juga makin cantik adik iparku tersayang." Inara membalas kalimat menggoda Za dengan cubitan gemas di pipi adik iparnya itu.
"Sakit, Ra." Za mengadu kesakitan, padahal nyatanya Inara tak sekejam itu untuk mencubit keras pipi putih nan mulus milik sahabat sekaligus adik iparnya itu, hanya Za saja yang terkesan lebay.
"Zaliva..." tegur Faras. Kalau Abangnya sudah memanggilnya begitu, tandanya Faras sedang tidak ingin bercanda.
"Iya, Maaf bang. kakak ipar." Za mengoreksi panggilannya pada Inara. Ya, jika sedang berada ditengah-tengah keluarga, terutama didepan abangnya, Za akan memanggil Inara dengan sebutan kakak ipar. ingat, itu berlaku hanya bila di depan keluarga atau abangnya saja, selebihnya Za akan memanggil sahabatnya itu dengan sebutan nama saja. Sebenarnya Inara tidak masalah jika Za dan Zi memanggilnya dengan sebutan nama saja, mengingat mereka sebaya akan tetapi suaminya tidak menyukainya dan bahkan langsung menegur adiknya Jika mendengar si kembar memanggilnya demikian.
Inara menahan senyum geli melihat ekspresi Za.
"Sudah-sudah. sebaiknya kita makan sekarang nanti makanannya keburu dingin!." ajak mama Thalia.
"Oh iya bang, tadi Dika telepon minta mama menyampaikan permintaan maafnya ke Abang karena tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian tempo hari. katanya sih Dika lagi sibuk banget di kantor. Maklumlah baru menjabat CEO di perusahaan om Okta yang di jakarta." beritahu mama Thalia saat teringat akan obrolannya ditelepon tadi dengan keponakannya.
"Sok sibuk banget si kampret, paling juga dia lagi sibuk ngurusin pacar-pacarnya. si Dika kan playboy cap kadal." Komentar Za.
"Nggak boleh ngomong gitu, Za!."papa Rasya menegur Putrinya.
"Kamu ini kenapa sih sayang, selalu saja negatif thinking sama sepupu kamu sendiri." mama Thalia ikut menegur Putrinya itu.
"Iyaiya...maaf." bagaimana Za bisa lupa kalau Dika adalah keponakan kesayangan mamanya. mana mungkin mama akan membiarkan dirinya mengatai keponakan kesayangannya itu, bukan? daripada sang mama ngambek, Za memilih meminta maaf.
Usai makan malam Za minta izin pada Faras untuk mengajak Inara ke kamarnya sebentar. "Bang, boleh ya Za mengajak kakak ipar ke kamar Za!."
"Jangan lama-lama, soalnya Abang sudah ngantuk."
"Dih... yang diajak kan kakak ipar, terus apa hubungannya dengan ngantuknya bang Faras?." entah benar-benar polos atau memang sengaja mengerjai abangnya itu, yang jelas pertanyaan Za berhasil memancing lirikan tak biasa dari Faras.
"Maaf...!janji cuma sebentar doang, bang." jika Za sebagai adik saja dibuat kehilangan nyali jika Faras sudah dalam mode galak, apa kabar dirinya, begitu pikir Inara. Inara selalu khawatir jika Faras akan marah atau sampai mengamuk padanya, padahal kenyataannya selama menjadi istri dari pria itu tak pernah sekalipun Faras meninggikan suara apalagi sampai marah padanya. sepertinya Inara terlalu Over Thinking.
Di kamar Za.
Sebelum mengobrol Za mengunci pintu kamar terlebih dahulu, jangan sampai anggota keluarganya mendengar ia memanggil Inara dengan sebutan nama saja, terutama abangnya.
"Ra, kamu sudah dengar belum kalau Minggu depan ada reuni Akbar alumni SMA kita."
Inara menggelengkan kepala. bagaimana ia bisa tahu berita seperti itu jika ia sibuk bekerja dan sepulang kerja hanya mengurung diri di kamar, lebih tepatnya Faras yang mengurung nya di kamar.
"Kira-kira Abang bakal ngizinin kamu pergi nggak ya?."
Inara hanya mengedikan bahu. "Entahlah..." Inara lebih berani memprediksi prakiraan cuaca ketimbang memprediksi keputusan suaminya.
"Coba deh kamu tanya dulu ke Abang! bila perlu keluarkan jurus merayu, berikan service terbaik buat Abang. biar kamu di izinkan pergi, sama Abang."
"Cih." Inara langsung berdecak lidah mendengar kata service terbaik yang terucap dari mulut adik iparnya itu. Bicara seolah paham apa itu service terbaik padahal menjalin hubungan dengan seorang pria saja belum pernah.
dan Inara gampang ke makan omongan orang...
mana kepikiran Inara klo kamu juga mencintai nya...
Yuni jadi tersangka pil kontrasepsi...
kamu tau Amanda hanya iri padamu...
malah dengerin kata kata Amanda 🤦♀️
tp tdk untuk lain kali