NovelToon NovelToon
Civil War: Bali

Civil War: Bali

Status: tamat
Genre:Action / Sci-Fi / Tamat / Spiritual / Kehidupan Tentara / Perperangan / Persahabatan
Popularitas:578
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Di masa depan, dunia telah hancur akibat ledakan bom nuklir yang menyebabkan musim dingin global. Gelombang radiasi elektromagnetik yang dahsyat melumpuhkan seluruh teknologi modern, membuat manusia kembali ke zaman kegelapan.

Akibat kekacauan ini, Pulau Bali yang dulunya damai menjadi terjerumus dalam perang saudara. Dalam kehidupan tanpa hukum ini, Indra memimpin kelompok Monasphatika untuk bertahan hidup bersama di tanah kelahiran mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19

Empat sosok berjubah hitam melesat cepat, melompat dari satu atap bangunan ke bangunan lain, menyusuri kota Amlapura yang diselimuti kegelapan. Mereka menyamar dengan sempurna hingga menyatu dengan pekatnya malam untuk menghindari pandangan tajam para prajurit Karangasem yang terkenal kejam dan kuat. Gerakan mereka hampir tak terdengar, layaknya ninja yang menjelajahi wilayah musuh tanpa meninggalkan jejak suara.

Setelah berjam-jam menyusuri kota, mereka tiba di sebuah sektor pertanian. Keempatnya berhenti sejenak dan bertengger di atas pohon yang rimbun untuk mengamati sekeliling dengan hati-hati. Di bawah mereka, hamparan lahan kentang yang luas membentang, diterangi dengan cahaya redup lentera yang berjajar di pinggir jalan. Di tengah lahan itu, terlihat dua bangunan besar berdiri berdampingan dengan kokohnya.

Indra yang memimpin misi penyusupan ini kemudian memecah kesunyian dengan suara yang rendah. "Aryandra, kau bilang mereka memperbudak warga mereka sendiri, bukan?"

Aryandra mengangguk dengan mata yang tetap tertuju pada bangunan masif di depannya. "Benar. Menurut informasi yang kudapat, Ashura menjadikan kaum terdidik dan intelektual sebagai budaknya. Dia melakukan itu agar tidak ada yang berani menentang keputusannya."

Indra mengerutkan kening dan pikirannya bekerja dengan cepat. "Kalau begitu, salah satu dari dua bangunan itu pasti menjadi tempat penampungan para budak."

Mendengar pernyataan Indra, Luthfi yang selama ini diam, menyela dengan suara penuh rasa ingin tahu. "Bagaimana kau bisa yakin, Ndra?"

Indra tersenyum tipis dengan mata yang berbinar, seperti seorang anak kecil yang berhasil memecahkan teka-teki sederhana. "Jika aku punya budak dalam situasi krisis seperti ini, maka aku akan mempekerjakan sebagian besar dari mereka sebagai petani. Ingat, makanan adalah kunci untuk bertahan hidup." Jelasnya kepada Luthfi. Ia lalu menarik napas sejenak, sebelum menutup penjelasannya dengan melemparkan sebuah pertanyaan. "Nah, pertanyaannya, dimanakah sebaiknya aku menempatkan para budak yang sebagian besar bertugas sebagai petani?"

Kiara melirik Indra, lalu menjawab dengan mantap. "Di dekat lahan pertanian."

Indra mengangguk puas sambil mengacungkan kedua jempolnya. "Tepat sekali!"

Krashakk! Tiba-tiba, suara langkah kaki yang menerjang dedaunan di tanah menghentikan percakapan mereka. Lima orang prajurit Karangasem muncul dari balik kegelapan, lalu mendekati pohon tempat mereka bersembunyi. Keempat penyusup itu langsung menahan napas dan bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Namun, ternyata prajurit-prajurit itu hanya ingin buang air kecil di bawah pohon.

"Aku benci berjaga malam." Keluh salah satu prajurit sambil membasahi batang pohon dengan air seninya. "Udaranya dingin banget sampai rasanya menusuk hingga ke tulang!" Tambahnya dengan raut wajah kesal.

"Bener banget, sialan!" Sahut prajurit lain sambil menguap. "Tapi mau gimana lagi? Kalau berani ngelawan Ashura, kita berlima bisa-bisa dibunuh begitu saja olehnya."

Mendengar keluhan mereka, Indra dan rekan-rekannya menjadi sedikit lega. Namun, ketegangan belum hilang sepenuhnya. Indra kemudian memberi isyarat tangan kepada Luthfi dan Kiara sebagai instruksi untuk melakukan serangan mendadak begitu prajurit-prajurit itu selesai buang air kecil.

Aryandra yang tidak paham dengan isyarat itu hanya bisa memandang dalam bingung. Indra lalu mendekat dan berbisik pelan di telinganya. "Aku, Luthfi, dan Kiara akan menyerang tepat saat mereka pergi. Kau tetap di sini dan awasi sekitar." Aryandra mengangguk dan mengacungkan jempolnya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Kelima prajurit itu selesai dengan urusan alam mereka, lalu bergegas kembali menuju pos jaga. Saat itulah, Indra, Luthfi, dan Kiara meluncur dari atas pohon seperti seekor macan kumbang yang mematikan. Dengan gerakan cepat, mereka menyerang titik-titik vital di leher kelima prajurit itu tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Tubuh para prajurit itu seketika kaku, hingga tak sempat berteriak atau melawan. Dalam waktu kurang dari sepuluh detik, musuh mereka berhasil dibuat tak berdaya.

Indra memandang Aryandra yang masih berada di atas pohon. "Turunlah, Aryandra. Bantu kami membawa mereka ke rumah itu." Ujarnya sambil menunjuk ke sebuah rumah kecil yang ada di dekat mereka.

Aryandra melompat turun dengan gesit untuk membantu rekan-rekannya mengangkut tubuh prajurit yang kaku, namun masih memiliki kesadaran penuh.

Indra memandang kelima prajurit itu dengan senyuman tipis yang kaya akan niat jahat. "Kalian berlima bersiaplah, karena interogasi ini tidak akan menyenangkan."

...***...

Setelah kelima prajurit itu mengonfirmasi bahwa salah satu dari dua bangunan besar tersebut digunakan sebagai tempat penampungan budak, Indra langsung mengajak Aryandra bergerak menuju lokasi itu. Bangunan di sebelah kanan berfungsi sebagai lumbung, sementara yang di kiri adalah tempat dimana para budak ditahan. Suasana malam yang pekat serasa menambah kesan suram di sekitar area itu.

Indra dan Aryandra memanjat sisi gedung yang terdapat menara air. Gerakan mereka terlihat gesit dan penuh kehati-hatian untuk menghindari sorotan cahaya lentera yang berkelap-kelip di kejauhan. Setelah mencapai puncak, Indra berhenti sejenak untuk memeriksa sekeliling sambil memegang dagunya.

"Tempat ini rasanya cukup baik untuk kita beristirahat." Ujar Indra dengan suara yang rendah.

Aryandra mengerutkan kening dengan penuh pertanyaan setelah mendengar ucapan Indra. "Kita akan tidur di sini?"

Indra mengangguk dengan mata yang tetap memindai area sekitar. "Iya, ini satu-satunya bagian gedung yang datar. Nggak mungkin, dong, kita tidur di bagian atap yang miring."

Aryandra masih terlihat ragu. "Tapi, kenapa kita harus tidur di atas sini?" Tanyanya lagi.

Indra tersenyum tipis, seperti seorang guru yang sedang menjelaskan pelajaran penting. "Dari pengalamanku saat kerusuhan di Buleleng dulu, atap bangunan yang datar adalah tempat paling aman untuk beristirahat sekaligus bersembunyi. Tidak akan ada yang menyangka bahwa kita sedang berada di sini."

Aryandra terdiam sejenak dengan mata berbinar penuh rasa kagum. "Kerusuhan di Buleleng pasti sangat mengerikan sampai-sampai bisa mengajarkanmu hal seperti ini, ya." Ucapnya ringan.

Indra tertawa kecil mendengar pernyataan itu. "Yah, asal kau tau saja, saat itu tidak ada lagi yang namanya kawan atau lawan. Semua manusia di sana berubah menjadi hewan liar yang saling memangsa satu sama lain."

Hati Aryandra mendadak terasa berat ketika mendengar cerita itu. Ia mencoba membayangkan betapa mengerikannya situasi yang dialami Indra, tapi usahanya sia-sia saja. Kerusuhan di Buleleng, terutama pada tahun pertama musim dingin, adalah mimpi buruk yang tak bisa dibayangkan oleh siapapun.

Tak lama kemudian, Luthfi dan Kiara akhirnya sampai ke tempat mereka dengan wajah yang terlihat sedikit lelah. "Wah, ceritamu seram banget, Ndra. Tapi kenyataannya emang gitu, sih." Ujar Luthfi dengan nada bercanda untuk mencairkan suasana.

Aryandra menyadari bahwa di lengan kiri Luthfi dan Kiara terdapat sebuah armband berwarna merah yang tadinya digunakan oleh kelima prajurit tersebut. "Armband merah itu..." Gumamnya sambil menunjuk ke arah lengan Luthfi.

Luthfi tersentak melihat Aryandra menunjuk ke arahnya. "Oh, ini? Kami mendapatkannya setelah melucuti pakaian dan senjata mereka. Indra memerintahkan kami untuk menggunakan ini agar bisa menyamar sebagai prajurit Karangasem."

Indra berjalan mendekati mereka berdua untuk memberikan penjelasan tambahan. "Itu benar. Prajurit Karangasem memang nggak punya seragam khusus, tapi mereka menggunakan armband merah ini sebagai tanda pengenalnya. Karena itu, hanya dengan menggunakannya saja, Luthfi dan Kiara bisa langsung menyamar dan bergerak di antara prajurit Karangasem."

Aryandra mengangguk sebagai isyarat bahwa ia memahami metode penyamaran Indra. "Begitu, ya." Gumamnya pelan.

Indra kemudian menatap ketiga rekannya dengan tangan yang bertumpu di pinggang. "Sekarang, silahkan gelar sleeping bag kalian sembari mendengarkan penjelasanku terkait rencana untuk besok pagi."

...***...

Keesokan paginya, ketika sinar matahari mulai menyinari bumi, Indra dan Aryandra terlihat sedang bekerja di ladang kentang. Mereka memikul sebuah bambu panjang yang dilengkapi jerigen berlubang untuk mengairi tanaman kentang milik Karangasem. Sebagai penyamaran, mereka mengenakan celana pendek dan baju kaos lusuh agar dapat menyatu dengan para budak lainnya.

Selain dipenuhi oleh budak yang sedang bekerja, lahan kentang tersebut juga berisi para prajurit Karangasem yang berlalu-lalang untuk melakukan pengawasan. Wajah-wajah mereka terlihat begitu menyeramkan dan mengintimidasi, ditambah lagi dengan parang mereka yang berkilau saat terkena sinar matahari pagi. Suasana tegang terasa di udara, seolah setiap kesalahan kecil saja bisa memicu ledakan kekerasan.

Setelah berjam-jam bekerja, Aryandra menyadari bahwa mereka telah mencapai ujung lahan. Di sana, tanah ladang yang subur bertemu dengan sungai yang mengalir tenang. Suara gemericik air berhasil memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan.

"Indra, sepertinya kita harus mengairi ke sisi—" Aryandra terhenti di tengah kalimatnya. Ia menyadari bahwa Indra sedang mengamati sesuatu dengan tatapan tajam.

Perhatian Indra tertuju pada seorang lelaki paruh baya yang sedang dianiaya oleh seorang prajurit berbadan gemuk. Ia terkapar di tanah tak berdaya dan hanya mampu merintih kesakitan sambil memohon ampun kepada prajurit itu.

Indra tersenyum tipis karena momen ini lah yang ia tunggu sejak awal. "Aryandra, ini adalah kesempatan yang kita tunggu-tunggu!" Bisik Indra penuh semangat.

"Berarti, kita akan melawan prajurit gemuk itu untuk mematik keberanian budak lain?" Tanya Aryandra mencoba memastikan.

"Benar." Jawab Indra singkat, sebelum matanya beralih ke arah Luthfi dan Kiara yang sedang menyamar sebagai prajurit Karangasem. Indra memberikan sinyal mata kepada mereka untuk segera mendekat agar bisa melindunginya.

Begitu Luthfi dan Kiara sudah berada dalam jarak yang aman, Indra langsung bergerak untuk menjalankan rencananya. Ia dan Aryandra berjalan menuju prajurit gemuk itu dengan melewati para budak lain yang hanya bisa menonton dalam kepasrahan.

"Akh- Ampuni aku!" Rintih lelaki paruh baya itu dengan tubuh yang sudah penuh dengan luka.

"Diam! Kau pantas menerima ini atas kesalahan yang kau buat!" Bentak prajurit gemuk itu sambil terus memukul tanpa henti.

Tanpa peringatan, Indra dengan cepat melompat ke depan dan menendang prajurit itu di bagian pelipis. Tendangan itu berhasil membuatnya sempoyongan, tapi masih belum cukup untuk menjatuhkannya. Prajurit gemuk itu menggelengkan kepalanya untuk mengusir rasa pusing yang merambat dengan cepat.

Ketika kesadarannya pulih, ia menatap Indra dengan mata penuh amarah dan kebencian. Wajahnya memerah karena tidak terima melihat ada budak yang berani melawannya.

Sadar bahwa semuanya sudah berjalan sesuai rencana, Indra langsung masuk ke dalam perannya untuk berpura-pura menjadi pahlawan. "Aku sudah muak melihat ini semua. Majulah dan lawan aku sampai mati!" Teriak Indra lantang, berhasil memainkan aktingnya dengan sempurna.

"Oi, budak sialan, kau mau aku bunuh, ya?!" Luthfi ikut memainkan perannya dengan berpura-pura marah sebagai prajurit Karangasem.

Wajah prajurit gemuk itu terlihat semakin memerah yang menandakan bahwa amarahnya kian memuncak. "DIAM! TIDAK ADA YANG BOLEH IKUT CAMPUR!" Raung prajurit gemuk itu kepada Luthfi. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Indra dengan tatapan seperti banteng yang siap menyeruduk. "Kau... Siapa namamu?" Tanyanya dengan suara menggeram.

Indra memasang senyuman yang terlihat menantang. "Aku Indra." Jawabnya singkat dengan mata yang menatap tajam ke arah lawannya. Indra kemudian melirik ke arah Aryandra yang sedang memeriksa keadaan lelaki paruh baya itu. Ia memberikan sinyal halus kepadanya untuk segera menjauh ke jarak yang lebih aman.

"Jadi, kau ingin pertarungan sampai mati, ya?" Tanya prajurit gemuk itu dengan penuh ancaman.

"Iya, aku sudah muak menjadi budak. Aku juga muak melihat orang-orang di sekitarku disiksa oleh kalian semua. Maka dari itu, hari ini aku akan melawan!" Jawab Indra dengan tatapan yang penuh tekad.

Para budak yang menyaksikan adegan itu terlihat kagum, tapi juga pesimis di saat yang bersamaan. Sebelumnya, mereka sudah pernah melihat orang lain yang mencoba untuk memberontak, tapi malah berakhir dengan kematian yang sia-sia. Sepertinya, ketakutan dan kepasrahan masih menguasai hati terdalam mereka.

"Baiklah, kalau begitu," prajurit gemuk itu menghembuskan uap panas dari lubang hidungnya, "bersiaplah untuk mati!" Ancamnya dengan suara rendah yang mengerikan.

Akan tetapi, Indra tetap terlihat tenang dengan senyuman kecil tersungging di wajahnya. "Majulah, bangsat!"

1
jonda wanda
Mungkin cara bicara karakter bisa diperbaiki agar lebih natural.
IndraKoi: baik, makasih banyak ya masukannya🙏
total 1 replies
Abdul Aziez
mantap bang
IndraKoi: makasih bang🙏🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!