Balas Dendam Psikopat

Balas Dendam Psikopat

BAB 1 AWAL MULA.

Angin kencang berhembus di pantai yang sunyi, mengiringi suara ombak yang samar-samar terdengar di kejauhan. Di sebuah rumah kecil yang sederhana dan usang, bau garam lembap tercium kuat, memenuhi ruangan yang sempit.

Di sudut ruangan, seorang anak kecil duduk meringkuk, menahan tangis yang menggoyangkan bahu kecilnya. Matanya merah dan berair, mencerminkan kesedihan dan kehilangan.

Cahaya senja yang lembut menerobos melalui jendela kecil, menerangi wajah polos anak itu, menambahkan kesan kesepian dan kerentanan. Suasana di rumah itu sunyi dan menyedihkan, seolah-olah angin dan ombak juga merasakan kesedihannya.

Plak! Suara keras terdengar ketika Adiman menampar Cintia, gadis kecil berusia 9 tahun yang menahan tangis.

"Dasar anak tidak tahu diuntung!" bentak Adiman dengan wajah merah padam. "Dengar tidak?!"

Cintia merasakan sakit yang sudah biasa dialaminya. Tendangan dan tamparan dari Ayahnya sudah menjadi rutinitas sejak ibunya meninggal ketika dia berusia satu tahun.

Sekarang, Cintia berusia 9 tahun dan masih terus merasakan siksaan itu.

"Maaf, ya..." ucap Cintia dengan suara tertahan dan bergetar.

Adiman marah lagi dan menendang Cintia sekali lagi.

"Makan!!" teriaknya dengan emosi yang membuncah.

Dengan susah payah, Cintia bangkit dan berjalan terhuyung-huyung menuju meja makan. Badannya penuh lebam dan sakit, tapi dia tetap berusaha untuk tetap positif.

"Ayah seperti ini karena Ayah sayang," batin Cintia. "Ayah tidak mau aku kelaparan."

Cintia memandang Ayahnya dengan mata yang berair, berharap ada sedikit kasih sayang di balik kekerasan itu.

Dengan lemah, Cintia duduk di meja makan dan memulai makanan sederhana yang telah dia masak sendiri. Sejak kecil, dia terbiasa mandiri, menghadapi kenyataan hidup yang pahit.

Semua ini berawal sejak ibunya meninggal. Adiman, ayahnya, berubah menjadi pribadi yang kasar dan kejam. Cintia harus belajar mengurus dirinya sendiri, termasuk memasak.

Masakan seafood menjadi menu utama mereka karena kedekatan rumah dengan pantai. Cintia terbiasa mengolah berbagai jenis seafood seperti ikan, udang, dan kerang.

Saat makan, Cintia tidak bisa menikmati masakannya. Dia terus memikirkan mengapa ayahnya bersikap kejam padanya.

Tangisnya tertahan, dan dia berusaha menelan makanan yang hambar itu. Namun bagaimanapun dia berusaha, dia tidak bisa memakan makanan itu.

Meskipun hidup di pesisir pantai, Cintia menyimpan rahasia pahit. Setiap kali mengonsumsi olahan laut seperti udang, ikan atau kepiting, kulitnya bereaksi secara ekstrem.

Gatal yang tak tertahankan, rasa sakit yang menghantam dan bintik-bintik merah yang menjalar, menambah penderitaan Cintia.

Siksaan fisik dan emosional yang dialaminya semakin memburuk karena ayahnya, Adiman, terus melakukan kekerasan.

Cintia merasa terjebak dalam kesengsaraan yang tak berakhir. Dia hanya bisa menerima nasib dengan pasrah, tanpa kekuatan untuk melawan atau membela diri.

Kehidupan Cintia terasa seperti beban berat yang tak terangkat.

"Masih tidak mau dimakan?!" teriak Adiman, emosinya membuncah. Tendangan bertubi-tubi membuat Cintia tersungkur jauh ke lantai, piring dan lauk berserakan.

"Kalau kamu seperti ini, saya tidak akan membawa hasil laut lagi!" Adiman mengancam.

Cintia kecil menangis, kondisinya memilukan. "Maaf, yah..."

Adiman mengusap wajahnya, kenangan pahit muncul. Istri tercintanya, Irma, meninggal dalam kecelakaan di bukit jurang dekat rumah mereka. Mereka sedang berhiking bersama Cintia yang baru berusia satu tahun.

Irma terjatuh saat menyelamatkan Cintia yang merangkak terlalu dekat dengan tepian jurang. Kenangan itu terus menghantui Adiman.

"Hah! Hanya maaf yang kamu ucapkan, tapi kamu selalu seperti ini! Saya benci kamu! Kamu bukan anak saya!" Adiman meledak.

Cintia terguncang, air matanya mengalir deras. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya membencinya.

Sejak saat itu, Adiman benar-benar membenci Cintia. Rasa kesal dan dendam menghantui hatinya. Meskipun Cintia adalah darah dagingnya sendiri, Adiman tidak bisa memaafkan anaknya karena merasa bahwa kehadiran Cintia adalah penyebab utama kematian Irma, istri tercintanya.

Rasa bersalah dan kesedihan yang mendalam membuat Adiman menyalahkan Cintia atas kejadian tragis itu. Dia tidak bisa melihat Cintia tanpa merasa sakit hati dan marah.

Kebencian Adiman terhadap Cintia semakin mendalam seiring waktu, membuat hubungan ayah-anak mereka semakin retak.

"Maaf yah hiks.." ucap Cintia masih dengan kondisi yang memilukan Cintia berusaha untuk mendekat ke arah sang Ayah mengesot-ngesot dilantai dingin. Badan yang terus bergetar.

Cintia berusaha menggenggam tangan sang Ayah, bentuk pengampunan dia karena sudah membuat sang ayah marah.

BUGH!

Tendang Adiman pada akhirnya, membuat tubuh Cintia mental kebelakang.

"Semakin kamu seperti ini, semakin saya benci kamu!!" ucap Adiman masih tersulut emosi.

BRAK! Suara pintu yang terbanting kencang, membuat rumah ikutan bergetar. Adiman keluar, dia sudah tidak tahan melihat Cintia darah dagingnya.

Seperginya Adiman, Cintia tergletak dilantai masih dengan kondisi yang memilukan. Darah yang berkecucuran dari telinga dan hidung, kulit badan yang sudah keluar bintik-bintik merah. Dan rumah kecil yang seperti kapal pecah.

Kondisi yang seperti itu sudah sering terjadi, setiap hari dan pada akhirnya Adiman yang keluar dari rumah, dan kondisi Cintia yang terbaring pingsan dilantai yang dingin dan lembab.

Tapi sebelum pingsan Cintia selalu berharap akan semua hal baik terjadi mendatang.

"Cintia harap ayah sayang sama Cintia." ucapnya mengingat perlakuan yang Adiman lakukan.

"Cintia sayang ayah."

"Cintia juga rindu ibu."

"Cintia ingin menyusul ibu yang sudah bahagia dilangit, tapi Cintia juga sayang sama ayah, Cintia tidak mau ninggalin ayah sendirian."

"Bu, apakah boleh Cintia berharap. Suatu saat nanti ayah bisa sayang ke Cintia, ayah yang menyaingi putrinya bu. Ayah yang jadi garda terdepan Cintia suatu saat nanti."

BERSAMBUNG.

Next episode.

Cintia terbangun dari pingsan nya, ntah sudah berapa lama Cintia tertidur dilantai yang dingin kotor, lembab.

Hal pertama yang dia lakukan ialah, keluar memotong lidah buaya yang ada diteras rumah. Kenapa lidah buaya ? Karena cuma itu yang bisa Cintia lakukan ketika kondisi dia seperti sekarang ini, kulit yang masih gatal, badan yang masih sakit-sakit penuh luka dan darah.

Disaat Cintia sedang fokus mengobati luka demi luka, dan dengan susah payah ia meraih bagian belakang punggung yang itu memang amat sangat susah untuk tangan semungil Cintia.

Shhh...

"Sedikit lagi," ucap Cintia masih berusaha meraih bagian belakang.

Terpopuler

Comments

◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐

◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐

Adiman gambaran seorang ayah yang bodoh dan belum mendapatkan hidayah dari yang Maha Pencipta. Ayah yang tidak punya welas asih dan tidak bertanggung jawab atas kewajiban sebagai seorang ayah.

2025-02-07

3

☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩

☆🅢🅐🅚🅤🅡🅐☆🇮🇩🇸🇩

mampir Thor, baru tau lidah buaya bagus buat luka

2025-02-18

1

◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞ᴹᴿ᭄°Knight⁹⁹🦅™࿐

◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞ᴹᴿ᭄°Knight⁹⁹🦅™࿐

Ijin mampir Thor,lanjutkan ttap semangat 🤝🤝

2025-02-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!