Sofia Amara, wanita dewasa berusia 48 tahun yang hanya dipandang sebelah mata oleh suami dan anak-anaknya hanya karena dirinya seorang ibu rumah tangga.
Tepat di hari pernikahan dirinya dan Robin sang suami yang ke-22 tahun. Sofia menemukan fakta jika sang suami telah mendua selama puluhan tahun, bahkan anak-anaknya juga lebih memilih wanita selingkuhan sang ayah.
Tanpa berbalik lagi, Sofia akhirnya pergi dan membuktikan jika dirinya bisa sukses di usianya yang sudah senja.
Di saat Sofia mencoba bangkit, dirinya bertemu Riven Vex, CEO terkemuka. Seorang pria paruh baya yang merupakan masa lalu Sofia dan pertemuan itu membuka sebuah rahasia masa lalu.
Yuk silahkan baca! Yang tidak suka, tidak perlu memberikan rating buruk
INGAT! DOSA DITANGGUNG MASING-MASING JIKA MEMBERIKAN RATING BURUK TANPA ALASAN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DAAP 3
Malam itu, Robin, Reno, dan Mikaila akhirnya tiba di rumah setelah seharian bersenang-senang bersama Vanessa. Mereka memasuki ruang tamu dengan tawa kecil, masih terbawa suasana bahagia dari perjalanan mereka.
Namun, ada sesuatu yang terasa berbeda.
Biasanya, setiap kali mereka pulang, Sofia akan duduk di sofa ruang tamu, menunggu mereka meskipun sudah larut malam. Wanita itu selalu siap dengan segelas air hangat untuk Robin, memastikan anak-anaknya pulang dengan selamat, dan menanyakan bagaimana hari mereka.
Tapi malam ini, Sofia tidak ada.
Ruangan terasa lebih sepi, lebih dingin.
Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar peduli.
Reno melepas jaketnya dengan santai, lalu berjalan ke kamarnya tanpa berpikir lebih jauh. Mikaila hanya mendengus kecil, mungkin mengira ibunya akhirnya mulai tahu diri untuk tidak terlalu mengurusi mereka.
Robin pun sama.
Tanpa menghiraukan apa pun, ia langsung masuk ke kamar mereka. Begitu ia membuka pintu, matanya langsung tertuju pada sosok Sofia yang sudah berbaring di ranjang.
Terlelap.
Robin mengerutkan kening. Ini aneh.
Selama 22 tahun pernikahan mereka, Sofia tidak pernah tidur lebih dulu darinya. Tidak peduli seberapa lelah atau sibuknya Sofia, wanita itu akan selalu menunggu, akan selalu melayaninya.
Biasanya, saat Robin pulang, Sofia akan sigap menyiapkan air hangat untuk mandi, memastikan baju tidurnya sudah siap, dan bahkan menawarkan diri untuk memijit kakinya meski ia tidak pernah memintanya.
Tapi malam ini, Sofia tidak melakukan semua itu.
Dia hanya tidur.
Robin berdiri di ambang pintu, menatap istrinya dengan ekspresi heran. Ada sedikit rasa tidak nyaman yang menggelitik hatinya, tapi ia mengabaikannya dengan cepat.
Mungkin Sofia lelah.
Mungkin akhirnya wanita itu sadar bahwa tidak ada gunanya terus mengurus seseorang yang bahkan tidak pernah benar-benar memperhatikannya.
Robin menghela napas, lalu berjalan ke kamar mandi. Lagi pula, apa pedulinya?
Tanpa pikir panjang, ia pun kembali ke kebiasaannya—hidup seolah-olah Sofia hanyalah bayangan di sudut rumah ini.
****
Pagi itu, suasana rumah terasa berbeda.
Mikaila turun dari kamar dengan seragam SMA-nya yang rapi, sementara Reno sudah siap dengan pakaian kuliahnya. Robin, seperti biasa, mengenakan pakaian khas dosennya, dan Saskia, ibu mertua Sofia, berjalan dengan ekspresi angkuhnya.
Namun, mereka semua berhenti sejenak di ambang ruang makan.
Biasanya, pada jam seperti ini, Sofia akan sibuk di dapur dengan pakaian rumahnya yang lusuh, memastikan sarapan mereka siap dan sesuai selera. Namun, pagi ini, yang mereka lihat justru sesuatu yang tidak biasa.
Sofia duduk santai di meja makan, mengenakan pakaian yang rapi dan elegan. Rambutnya yang biasanya diikat seadanya kini tertata rapi. Di tangannya, ia memegang segelas jus segar sambil dengan tenang membaca majalah, seolah tidak ada beban yang perlu ia pikirkan.
Dan yang lebih mengejutkan—hanya pembantu yang sibuk menyiapkan sarapan.
Mikaila yang pertama kali angkat bicara. "Mama, kok Mama nggak masak?" tanyanya dengan dahi berkerut.
Sofia tetap fokus pada majalah di tangannya, tidak segera menjawab. Setelah beberapa detik, tanpa menoleh, ia menjawab dengan nada datar, "Buat apa? Ujung-ujungnya tetap diprotes."
Ruangan seketika sunyi.
Robin menatap istrinya dengan tatapan tajam. Nada suara Sofia terdengar berbeda. Tidak ada kelembutan. Tidak ada usaha untuk menyenangkan mereka seperti biasanya.
"Kamu kenapa, Sofia?" suara Robin terdengar dingin, seperti biasa.
Sofia akhirnya menoleh, menatap suaminya dengan ekspresi tenang, tanpa emosi. "Aku hanya lelah," katanya ringan. "Aku ingin bersantai."
Robin menyipitkan mata. Ada sesuatu yang terasa aneh, tapi ia tidak ingin membuang waktu untuk mempermasalahkannya lebih jauh.
Saskia, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat suara. "Lalu mana jus detoksifikasiku?" tuntutnya dengan nada tajam.
Sofia tersenyum kecil, tetapi tidak ada kehangatan dalam senyumnya. "Tunggu. Pembantu yang buat," jawabnya santai sebelum kembali menyesap jusnya.
Lagi-lagi, keheningan menyelimuti ruangan.
Mereka tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan Sofia yang biasanya mereka kenal—wanita yang selalu sigap melayani, yang selalu mengutamakan mereka di atas dirinya sendiri.
Namun, karena mereka juga tidak punya waktu untuk mempermasalahkannya lebih jauh, akhirnya mereka hanya duduk di kursi masing-masing dan mulai sarapan.
Tapi di dalam hati mereka, ada satu pertanyaan yang berputar-putar.
Apa yang terjadi dengan Sofia? pikir mereka.
****
Setelah rumah akhirnya sepi, Sofia mengambil tasnya dan pergi. Kali ini, bukan untuk mengurus orang lain, tetapi untuk dirinya sendiri.
Sofia mengendarai mobilnya menuju rumah sakit, sesuatu yang seharusnya ia lakukan sejak lama. Selama ini, setiap kali sakit, ia selalu menunda pergi ke dokter karena terlalu sibuk mengurus keluarga yang bahkan tidak peduli padanya.
Setelah tiba di rumah sakit, Sofia mengambil nomor antrean dan menunggu dengan sabar. Begitu namanya dipanggil, ia masuk ke ruang pemeriksaan dan menjalani serangkaian tes.
Dokter menatapnya dengan tenang. “Hasil pemeriksaannya akan keluar dalam satu sampai tiga hari, Bu Sofia. Kami akan menghubungi Anda begitu hasilnya siap.”
Sofia mengangguk. “Baik, Dok.”
Setelah keluar dari rumah sakit, wanita dewasa itu memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia merasa perlu menyegarkan pikirannya, jadi ia pergi ke mal.
Berjalan-jalan tanpa beban adalah sesuatu yang sudah lama tidak ia lakukan. Biasanya, ia datang ke mal hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga—membeli pakaian untuk suaminya, perlengkapan kuliah Reno, atau kebutuhan Mikaila. Tapi kali ini, ia berbelanja untuk dirinya sendiri.
Saat melewati sebuah toko alat seni, matanya tertarik pada rak yang penuh dengan perlengkapan menggambar. Jari-jarinya menyentuh pensil dan buku dengan lembut. Dulu, mendesain baju adalah hobi yang ia cintai, tetapi sejak menikah, ia tidak pernah punya waktu untuk itu lagi.
Tanpa ragu, Sofia mengambil beberapa perlengkapan dan membawanya ke kasir.
Namun, saat ia berbalik, langkahnya tiba-tiba terhenti ketika seseorang menabraknya.
Bruk!
Sofia hampir kehilangan keseimbangan, tetapi seseorang dengan sigap menahannya.
Saat Sofia menoleh, ia mendapati seorang gadis remaja berdiri di depannya. Gadis itu memiliki wajah yang sangat familiar—begitu familiar hingga Sofia merasa seolah sedang melihat pantulan dirinya di masa muda.
Namun, yang lebih mengejutkan adalah ketika gadis itu menatapnya dengan mata berbinar dan berkata dengan suara penuh emosi, “Mommy?”
Sofia tertegun.
Jantungnya berdetak lebih cepat.
Dia tidak mengenal gadis ini. Tidak mungkin ia mengenalnya.
Dengan alis berkerut, Sofia menggeleng pelan. “Mungkin kamu salah orang, Nak."
Gadis itu tampak berkaca-kaca matanya, lalu menoleh ke seorang pemuda yang berdiri di dekatnya. Pemuda itu, yang terlihat lebih dewasa dan memiliki aura tenang, dengan cepat memberi kode pada gadis itu.
Sofia tidak melewatkan isyarat itu.
Seolah memahami kesalahannya, gadis itu langsung menundukkan kepala dan meminta maaf dengan gugup. “Maaf, Tante. Aku salah orang.”
Pemuda di sampingnya ikut membungkuk sedikit. “Maaf atas ketidaksopanan adik kembar saya.”
Sofia menatap mereka berdua dengan rasa penasaran yang semakin besar. Siapa mereka? pikir Sofia