Mardo, pemuda yang dulu cuma hobi mancing, kini terpaksa 'mancing' makhluk gaib demi pekerjaan baru yang absurd. Kontrak kerjanya bersama Dea, seorang Ratu Kuntilanak Merah yang lebih sering dandan daripada tidur, mewajibkan Mardo untuk berlatih pedang, membaca buku tua, dan bertemu makhluk gaib yang kadang lebih aneh daripada teman-temannya sendiri.
Apa sebenarnya pekerjaan aneh yang membuat Mardo terjun ke dunia gaib penuh risiko ini? Yang pasti, pekerjaan ini mengajarkan Mardo satu hal: setiap pekerjaan harus dijalani dengan sepenuh hati, atau setidaknya dengan sedikit keberanian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riva Armis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18: Bulan Kerja
Sebelum gue menutup pintu, gue dan Dea berpandangan sebentar. Dia melambaikan tangannya, mengantarkan langkah gue pergi ke kantor sore ini. Ketika gue sampai, baru aja gue melangkah masuk, cewek yang bertugas di bagian admin yang gue bilang gak ada alisnya itu memanggil gue.
"K-kenapa, Mbak?"
"Pak Mardo, kan?"
"Iya. Kenapa, ya?"
"Bapak sudah ditunggu si Bos di ruangannya."
Ada apa, ya? Kok mendadak gini. Pintu ruangan si Bos tertutup, tapi terdengar suara dari dalam. Gue mengetuk pintu, dan pintu langsung terbuka sendiri. Gue melihat dua kakek-kakek sedang berdiri di depan si Bos yang lagi ngopi. Mereka semua menatap gue.
"Masuk, Mardo. Sudah ngopi?" tanya Si Bos.
"B-belum ... Bos."
"Nanti ngopi, ya, biar sehat. Perkenalkan, kedua kakek ini adalah teman saya. Mereka jauh-jauh datang ke sini hanya untuk ketemu kamu, Mardo."
Gue menyalami mereka.
"Oh, kamu Mardo, ya? Perkenalkan, saya Apran."
"Saya Afron. Kami ini saudara kembar sampai tua."
"I-iya ... saya Mardo ... Kek."
Si Bos berdiri dari kursinya dan mendekati gue.
"Mereka ini dulunya pernah kerja di sini waktu masih muda. Dan sekarang, ketika saya melihat kamu dan Sulay, membuat saya teringat dengan dua rekan kerja terbaik saat itu."
"Oh ... begitu, ya ... Bos."
Kakek bernama Apran ini adalah seorang kakek-kakek bertubuh tinggi untuk umurnya yang kelihatan gak muda lagi. Kumisnya yang berwarna putih lebat menutupi bibirnya. Pakaiannya biasa aja, kayak orang tua pada umumnya. Baju batik dan celana bahan.
Saudara kembarnya, Kakek Afron bertubuh lebih pendek, tapi agak lebar. Kumisnya gak selebat saudara kembarnya. Perbedaan pakaian mereka adalah, kakek Afron ini memakai baju sasirangan dan sarung. Saat ini, mereka berdua sama-sama tersenyum sambil memandangi gue.
"Jadi, Mardo ... apakah ini pedangnya?" tanya Kakek Apran.
"I-iya, Kek."
"Mohon maaf, boleh kami uji?" tanya Kakek Afron.
Tanpa basa-basi, Kakek Afron menendang pedang gue dengan kekuatan sapi gila! Tentu aja pedang gue langsung melayang dan terbanting ke tembok. Sapi! Gila, nih kakek-kakek! Si Bos tertawa kecil dan kembali duduk ke kursinya. Kakek Apran secara gak natural berdiri di depan gue dan memukul muka gue! Anjir! Sakit banget! Mereka kenapa, sih!? Ingin berkata kasar jadinya, kan!
Hal yang lebih gak bisa gue percaya adalah, walau muka gue dipukul telak kayak tadi dan gue merasa kesakitan, tapi gue masih berdiri di tempat. Si Bos dan dua kakek kembar bersorak sambil tertawa. Kakek Afron mengambil pedang gue dan menyerahkannya.
"Mohon maaf, Mardo. Boleh kami uji lagi?" katanya.
Sekilas, gue bisa melihat gerakan tendangannya. Dengan cepat gue menarik sarung pedang dan menangkis tendangan kakek itu.
"Bagus!" teriak si Bos.
Kakek Apran mencoba memukul gue lagi yang kali ini bisa gue hindari, dan gue beri bonus pukulan balik dengan gagang pedang gue di punggungnya.
"Mantap!" teriak si Bos lagi.
Kedua kakek kembar itu mundur sambil tersenyum puas. Gue pikir sudah berakhir, tapi tiba-tiba si Bos melompat dari balik mejanya sambil mencoba menghantam kepala gue! Gue menangkisnya dengan pedang dan kobaran api menjalar keluar dari sana. Karena hantaman pukulannya yang bisa gue bilang kayak tenaga sapi super gila, gue terpental!
Pedang gue terasa menjadi tebal waktu digenggam. Saat gue melihatnya, keluar asap merah yang bersumber dari gagangnya. Asap merah itu menyelimuti genggaman gue. Tangan gue bergerak sendiri! Gue merasa akan menebas semua yang berdiri di depan gue sekarang! Kacau!
Saat gue hendak melepaskan tebasan ke arah mereka, pintu terbuka dan Sulay langsung menahan tangan gue! Asap merah tadi memudar kemudian lenyap. Saat gue bisa mengendalikan tangan gue lagi, gue segera menutup pedang dan berjalan cepat ke arah si Bos.
"M-mohon maaf, Bos! Maaf, Bos!"
Si Bos membenarkan jasnya yang kebesaran itu sambil tertawa kecil.
"Bagus, Mardo. Kamu berbakat."
Sulay menyepak kaki gue dengan wajah kesal. Dua kakek kembar tadi menepuk bahu gue. Satu lagi hal diluar nalar yang terjadi adalah, dua kakek itu berjalan dan masuk ke dalam lukisan! Gila! Gue baru sadar, waktu gue datang tadi ada dua lukisan yang jadi kosong. Ini aneh banget!
"Sudah. Kalian istirahat saja dulu. Mardo, jangan lupa ngopi."
Gue dan Sulay berjalan ke kantin. Seiring langkah, gue mikirin satu hal: tadi itu buat apa? Kenapa gue tiba-tiba dihajar? Sulay juga masih diam aja. Sampai di kantin, tempat kopi Mery lagi rame banget. Dia gak melihat gue. Ketika duduk, Sulay langsung menyepak kaki gue lagi.
"Sakit, Pak! Ada apa, sih!?"
"Kenapa lo lawan!?"
"Apanya!?"
"Si Bos! Kenapa lo lawan!?"
"Kalau gak gue lawan gue udah mati, Pak! Tua-tua gitu tenaga mereka kayak 50 sapi gila lagi mabuk!"
"Terus kenapa tadi lo makai kekuatan dari dia!? Emang lo udah bisa ngendaliinnya!?"
Karena kami ribut-ribut, bahkan Sulay sampai mukul-mukul meja, orang-orang jadi ngelihatin kami. Dan udah pasti, Mery merhatiin kami juga di sela sibuknya. Perdebatan kami terhenti waktu Sulay ngeluarin HP-nya. Gak mau kalah, gue juga ngeluarin HP gue.
Gue langsung browsing: cara berkelahi dengan lukisan, cara menantang atasan dengan sopan, cara bermain pedang api, dan secara gak sengaja gue malah membuka ramalan zodiak hari ini. Random banget. Setelah kelihatan sibuk dengan HP-nya, Sulay langsung berdiri.
"Gue pergi dulu, Do. Lo tunggu di sini aja."
"Ke mana, Pak?"
Dia langsung berlari pergi. Gak lama setelah itu, gue mendatangi Mery. Gue pengin melihat dia bikin kopi. Dan ... kayaknya gue juga pengin ngobrol sama dia. Dia tahu kalau gue mendatanginya. Dia tersenyum sebentar dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Ada perasaan aneh ketika gue melihatnya dari dekat.
"Apaan, sih, Do? Senyum-senyum gitu."
Perasaan, gue gak senyum, deh. Malah dia yang dari tadi senyum-senyum.
"Masih boleh ... ngutang kopi nggak?"
"Gak boleh."
"Aku ... gue bantuin cuci gelas, deh."
Mery cuma ketawa kecil. Tiba-tiba aja dia ngasih gue secangkir kopi latte.
"Gratis di hari spesial ini."
"Spesial?"
"Awal bulan Februari, kan? Spesial, dong."
Dia kembali sibuk waktu datang banyak pelanggan lagi. Gue kembali ke kursi gue sebelumnya. Kalau gue perhatiin, 90% karyawan yang datang ke kedai Mery buat beli kopi adalah cowok. 70% di antaranya selalu berusaha mengajak Mery ngobrol. 99% yang mengajak ngobrol itu, cuma dibalas pakai senyum sebentar dari Mery. Ternyata gue jago statistik.
HP gue berdering. Ada WhatsApp dari Naya! Belum gue buka karena dua tangan gue lagi megang cangkir. Mery datang dan langsung duduk di depan gue. Gue gak jadi buka HP.
"Gimana latte bikinan gue, Do?"
"Enak banget. Sampai mau meninggal."
"Lebay, deh lo," sahutnya sambil ketawa.
Padahal, gue beneran mau meninggal sejak tadi pagi. Dari kompor terbakar sampai dipukul kakek-kakek.
"Apa yang spesial, sih dari Februari?" tanya gue.
"Ini bulan kelahiran gue. Makanya spesial."
"Oh, gitu."
Mery menatap kedainya sambil membenarkan rambut panjangnya yang berwarna cokelat.
"Gue gak suka makan cokelat. Gak usah repot-repot buat Valentine."
"Hah?"
Mery ketawa. Gue gak ngerti.