Cerita ini berputar di kehidupan sekitar Beatrice, seorang anggota keluarga kerajaan Kerajaan Alvion yang terlindung, yang telah diisolasi dari dunia luar sejak lahir. Sepanjang hidupnya yang terasing, ia tinggal di sebuah mansion, dibesarkan oleh seorang maid, dan tumbuh besar hanya dengan dua pelayan kembar yang setia, tanpa mengetahui apa pun tentang dunia di luar kehidupannya yang tersembunyi. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Beatrice akan melangkah ke dunia publik sebagai murid baru di Akademi bergengsi Kerajaan — pengalaman yang akan memperkenalkannya pada dunia yang belum pernah ia kenal sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renten, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
【Crouching Maids, Hidden Butler】 2
Bridget bersandar, botol whiskey-nya tergantung malas di ujung jarinya, masih tertawa geli.
"Jangan percaya, Felicity.
Namanya Edward. Nama yang biasa aja, seperti tampangnya," godanya, seringai mengejek mengembang.
Edward mengatupkan rahang, menahan kekesalannya.
Terdengar gerusan gigi samar, dan matanya menyipit menatap Bridget, seolah berjanji akan membalasnya.
"Haaa, membosankan," keluh Felicity, bahunya merosot, lalu kembali asyik mengambil camilan aneh.
"Terus ngapain bohong?" gumamnya, kecewa.
Bridget mengedikkan bahu, tertawa kecil.
"Memang dia begitu," jawabnya santai.
"Kalau orang tanya namanya, dia nggak pernah jawab jujur.
Kurang ajar, kan? Butler macam apa tuh."
Edward menegakkan punggungnya, meletakkan jempol di dada dengan gerakan tegas.
"Nama itu milikku sendiri. Takkan kubiarkan kepada orang lain," tukasnya bangga.
"Itu pemberian Lady-ku, dan takkan kuberikan pada sembarang orang."
Ren terpana, kerut bingung tampak jelas di dahinya.
"Itu... bukan cara kerja sebuah nama," ujarnya ragu-ragu.
"Pemikiran aneh," timpal Felicity, menaikkan sebelah alis sembari mengunyah camilan aneh lainnya.
Cecilia merapikan letak kacamatanya, tatapannya bersinar iseng.
"Kalau begitu," godanya, "nama apa yang kau gunakan sebelum ini?"
Sebelum Edward sempat membalas, Bridget tiba-tiba bersuara, nadanya sengaja dinaikkan untuk menginterupsi.
"Jadi kau ini butler keluarga duta besar dari Cathay, ya?" serunya keras, seolah ingin mengalihkan pembicaraan secara paksa.
Ia menyeringai, tapi ada kilatan di matanya yang seolah berkata bahwa topik ini lebih aman ketimbang memperpanjang soal nama Edward.
Cecilia yang awalnya tampak penasaran, hanya menutup mata dan membiarkan Bridget mengambil alih pembicaraan.
Ren, dengan kesantunan yang terlatih, menanggapi perubahan topik dengan lancar, meski masih penasaran kenapa percakapan soal nama Edward dihentikan begitu saja.
"Benar, Nona Helvig," ujarnya, disertai sedikit anggukan hormat.
"Kami ditugaskan oleh Kaisar untuk memimpin misi dagang ke kerajaan Anda.
Bukan hanya membawa barang-barang dari Huaxia, tapi juga mewakili seluruh wilayah Jalur Sutra dan kawasan Cathay yang lebih luas."
Cathay—sebutan yang lazim digunakan benua barat untuk menyebut tanah di timur yang jauh—merupakan warisan peta kuno dan kisah-kisah pedagang yang pulang dengan cerita ajaib.
Meski Huaxia beserta kerajaan-kerajaan tetangganya punya nama sendiri untuk tanah mereka, kata itu tetap lestari di Avilon, memunculkan bayangan sutra, rempah, dan makhluk mitos.
Bagi Ren, istilah itu memudahkan komunikasi dengan orang asing, jembatan di antara dua dunia yang berbeda.
Edward bergeser mendekat ke Ren, melangkah menyamping seperti kepiting.
Suaranya merendah—meski tetap bisa terdengar—saat ia berbisik,
"Dengar, sobat, buatlah mereka sibuk bicara."
Alis Ren berkerut samar, ekspresinya nyaris tak goyah, tapi jelas kebingungan.
"Sobat?" gumamnya perlahan.
Baru tadi Edward memanggilnya "manis" untuk mengejek penampilannya yang halus.
Kini tiba-tiba menyebut "sobat"? Sejak kapan hubungan mereka meningkat begitu cepat?
Edward terus saja, tak peduli.
"Fokus sama yang paling beringas di sini—dia pemimpin... kawanan hewan ini."
"Hei, kudengar itu!" seru Bridget, botol whiskey-nya dihentakkan pelan ke anak tangga.
Senyumnya melebar, tapi sorot matanya menyiratkan 'kemarahan pura-pura'.
"Haha! Jadi kita segerombolan binatang, nih," Felicity tertawa, jelas justru terhibur.
Cecilia memiringkan kepala, menyeringai nakal.
"Kalau aku binatang, tak keberatan juga kalau harus 'menerkam' kalian... perlahan," ujar Cecilia, dengan nada menggoda sambil menelusuri bibir gelasnya dengan ujung jari.
Ren tetap tenang, mengangkat sebelah alis.
"Untuk apa?" tanyanya polos, benar-benar tulus.
Edward mengabaikan canda Cecilia. Ia condong lebih dekat ke Ren, nadanya makin rahasia.
"Kau lihat, kelakuan mereka lebih parah dari aku yang jalan di atas rumput.
Mereka minum di siang bolong, di lingkungan sekolah, saat jam kerja."
Ren berkedip, ekspresi anggun itu goyah sedikit ketika ia sadar.
Ia menegakkan tubuh, menatap para maid bergantian.
"Itu... memang kelihatannya tidak pantas."
"Hei! Kalian berbisik soal apa?" hardik Bridget, menyipitkan mata curiga.
Edward mendadak mengalihkan topik, menatap Felicity dengan seringai licik.
"Hei, sobat," ujarnya pada Ren, "kudengar kalian bisa naik ke kepala naga kalau di negeri kalian."
Flask di tangan Felicity terlepas, menumpahkan isinya ke tanah saat matanya melebar.
"N-naga? Naik di kepala naga? Kalian butuh pelana, atau gimana?" tanyanya dengan nada setengah panik setengah kagum.
Senyum sinis terbit di bibir Edward—rencananya sukses menarik perhatian.
Bahkan Cecilia dan Bridget, yang awalnya acuh tak acuh, kini terlihat tertarik.
Cecilia membetulkan kacamatanya, ada kilau minat di matanya, sementara Bridget memiringkan kepala, senyumnya memudar menjadi rasa penasaran sungguhan.
Ren, kembali tenang, memberikan penjelasan dengan sikap santai.
"Tidak, kami tidak 'menunggangi' mereka seperti kuda.
Kami hanya berdiri diam di atas kepala mereka, membiarkan mereka terbang.
Kata tetua kami, kalau pikiranmu jernih dan bebas dari niat buruk, kau bisa 'berbicara' dengan naganya dan membimbing arah terbangnya."
Felicity langsung menatap Cecilia, wajahnya bersemu gembira.
"Bisa bicara dengan naga?! Beneran bisa?" serunya, matanya berbinar penuh rasa penasaran seperti anak kecil.
Cecilia, tetap dengan pembawaan tenang, menjawab dengan nada berpikir.
"Yah, nelayan bisa berkomunikasi dengan lumba-lumba menggunakan isyarat untuk mencari kelompok paus.
Jadi mungkin saja tidak mustahil."
Ia tersenyum tipis, menambahkan dengan nada menggoda,
"Tapi naga? Mereka kan tak terkenal cerdas. Bisa-bisa kau dimakan lebih dulu sebelum sempat ngobrol."
Bridget mendengus.
"Ya, naga itu bodoh. Lengah sebentar, mereka kira kau menghilang."
"Diam, Bridget," tukas Felicity.
"Kau mana tahu soal naga—apa juga nggak."
Bridget menyeringai buas.
"Hah? Aku pernah kok memukul naga tepat di mukanya."
"Itu bukan naga, tapi wyvern!" seru Felicity putus asa.
Bridget menyilangkan lengan, tampang puas.
"Wyvern, anak naga—sama saja."
"Udahlah, dasar kepala batu!" Felicity mendengus.
"Kau nggak ngerti romantismenya naik naga!"
Felicity kembali menatap Ren, semangatnya berkobar lagi.
"Kalau bisa bicara sama naga, apa bisa minta mereka pasang semacam pelana di dekat sayapnya?"
Ren tersenyum tipis, menggeleng pelan.
"Sepertinya Anda salah bayangan, Nona Wade.
Naga di negeri kami bertubuh panjang seperti ular yang terbang, seakan berenang di udara.
Bayangkan beberapa trem Plownonida dirangkai jadi satu, dan kau berdiri di ujung depannya."
"Itu... lebih besar dari segala naga yang pernah kudengar," Felicity mendesah kagum, matanya melebar, membayangkan ukuran raksasa itu dalam benaknya.
"Menarik," gumam Cecilia, menyesap minumannya.
"Bagaimana makhluk sebesar itu, tanpa sayap, bisa terbang?" tanyanya, nadanya berusaha meraba teka-teki yang membingungkan.
"Pasti bukan dengan cara mengendap-endap, kan, Ed-boy?" celetuk Bridget tajam, suaranya memecah suasana.
Bukan hanya kata-katanya, tapi suara yang menyusul membuat semua orang terdiam.
Suara rantai di gelangnya beradu terdengar samar, dingin dan menggelitik, seakan mata rantainya bergerak sebelum tubuh Bridget sendiri sempat bergerak.
Belenggu dengan rantai panjang yang dipakainya bergoyang pelan, tautan logam itu mengirim peringatan yang menegangkan udara.
Sebelum ada yang sempat bereaksi, tangannya melesat cepat, menggenggam pergelangan kaki Edward bak jerat baja.
Gerakan dan suara itu bertepatan, seolah cambuk yang menebas keheningan.
Semua menoleh mengikuti pandangan Bridget, dan barulah mereka sadar Edward sudah setengah jalan membuka pintu di belakang mereka.
Tangannya terulur pada gagang pintu, tubuhnya sedikit membungkuk seolah bersiap menyelinap masuk tanpa terlihat.
"Eh?!" Felicity berseru kaget, sampai menjatuhkan flask lagi.
Bahkan Cecilia pun tampak sedikit terkesiap, alisnya terangkat.
"Kapan dia—?"
Ren yang elegan jadi tegang.
Mata gelapnya bergerak cepat antara cengkeraman Bridget di pergelangan kaki Edward dan sosok Edward yang tertahan di depan pintu.
Suara rantai itu masih menggema samar, terkesan ganjil dan mengintimidasi, seolah Bridget bergerak dengan mekanisme pegas yang tak terelakkan.
Ren tak bisa menahan decak hormat bercampur tak percaya, kagum pada kecepatan dan ketepatan Bridget.
Edward mengklik lidahnya kesal, rahangnya menegang menahan jengkel sekaligus pasrah.
Ia tak berusaha menarik diri, sadar itu tak ada gunanya.
"Tch. Kuduga kau pasti sadar," gumamnya, kesal namun tak terkejut.
Semua terhenti dalam ketegangan singkat, Edward tertahan oleh cengkeraman Bridget, pintu yang hampir dibukanya tetap menunggu, sementara yang lain menatap adegan itu dengan sorot waspada.
Di tempat terpencil yang penuh kejutan ini, satu gerakan keliru bisa menyalakan percikan insiden baru.