[TAMAT] Tiba-tiba 7 orang dari keluarga Handoko meninggal dunia selang dua hari sekali. Ketuju itu semua laki-laki dan dimakamkan berjejer dimakam keluarga.
Dewi salah satu anak perempuan dikeluarga Handoko, sangat teramat penasaran dengan kejadian ini. Semua keluarganya diam seribu bahasa, seolah-olah semua ini takdir Tuhan. Disitulah awal Dewi akan mencari tahu masalah demi masalah dikeluarga ini.
Ikuti terus kisahnya di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siswondo07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertobatan
Pagi datang ditemani dengan matahari yang keluar dari arah ufuk timur, cahayanya memasuki celah pepohonan, burung-burung mulai bersiul sambil berterbangan. Para warga mulai berjalan dan menaiki sepeda menuju ke ladang, sawah. Anak-anak sekolah berangkat jalan kesekolah ada yang sendirian dan ada yang rombongan. Ada pula ibu-ibu yang berkumpul membeli sayur mayur keliling yang berhenti dipinggir jalan.
Suasana Pagi dikampung Sugatra sangat asri dan udaranya segar nan bersih. Jaya, Rohman dan Dewi melangkah berkumpul didepan rumah dan menghirup udara segar. Disela itu Dewi bertanya pada Jaya soal tujuan hari ini.
"Hari ini kita mau kemana?" Tanya Dewi, matanya melirik ke arah Jaya.
"Ke Mbah Dukun Sapto. Kita pastiin dulu apa dia yang ditemui Ayahmu." Jawab Jaya.
"Ok." Ucap Dewi dengan puas atas jawaban Jaya.
Lalu mereka kembali menikmati pagi yang hangat ini karena sinar matahari masuk ke dalam kulit mereka.
Saat itulah Ibu Jaya memanggil didepan pintu untuk segera sarapan bersama karena makanan sudah siap.
Jaya, Rohman dan Dewi masuk ke dalam rumah untuk menuju ke meja makan. Setelah duduk dimeja makan, Ibu berkata?
"Kalian makan duluan saja, Ibu mau menyuapi Bapak dulu." Senyum kecil Mamak, dikedua tangannya sudah membawa semangkuk bubur dan air putih hangat. Ibu melangkah masuk ke kamar Bapak.
"Baik Buk." Ucap saling saut Jaya, Rohman dan Dewi.
Lalu makan bersama menikmati masakan Ibu yang nikmat tiada Tara.
Saat sudah selesai makan, Dewi memutuskan untuk beres-beres meja makan dan cuci piring. Sementara Jaya meminta Rohman ikut dengannya ke kamar Bapak.
Setelah Jaya dan Rohman dikamar Bapak. Melihat Ibu sudah selesai memberi makan Bapak. Jaya memulai percakapan soal pertemuannya tadi malam dengan Bapak-bapak.
"Buk. Apa bener ladang karet sudah dijual semua tinggal rumah dan tanah ini yang kita punya." Tanya Jaya pada Ibu. Tatapan Jaya begitu tajam menunggu jawaban Ibunya.
"Benar Nak. Bapak sakit-sakitan, dibawa ke dokter tidak terdeksi penyakitnya, dibawa keorang pintar tidak juga sembuh. Ibu sama Bapakmu Ndak tega jual rumah ini, rumah ini milik kalian berdua." Ungkap Ibu sembari meneteskan air mata kesedihan.
"Ibu sama Bapak minta maaf ya Nak." Ungkap Ibu.
"Jaya dan Bang Rohman Ndak apa-apa kalo rumah ini dijual demi kesembuhan Bapak. Ibu sama Bapak Ndak ada salah apapun. Jaya sama Bang Rohman ada tabungan bisa untuk berobat Bapak." Ungkap Jaya.
"Jangan Nak. Itu uang untuk masa depan kalian berdua." Ucap Ibu yang merasa kasihan dan tak tega pada kedua anaknya.
"Harus diterima Buk. Kalo Bapak sehat Uang bisa dicari lagi." Sahut Rohman.
Akhirnya Ibu mengangguk dan Bapak meneteskan air mata.
Jaya dan Rohman tersenyum kecil pada kedua orang tuannya.
Sementara diluar kamar, Dewi mendengar percakapan itu sedikit iba, nantinya ia akan membantu walau tidak seberapa.
Ibu lalu keluar dari kamar untuk menuju ke dapur. Namun dihentikan sejenak langkahnya oleh Jaya. Jaya berkata "Buk, jaya mau ke Rumah Mbah Sapto, ada kepentingan. Ibu dirumah saja ya."
"Ia Nak. Hati-hati ya." Jawab Ibu. Ibu tersenyum kecil, lalu melanjutkan melangkah ke arah dapur yang sudah terlihat beres dan bersih.
-
Jaya, Rohman dan Dewi memasuki mobil. Kali ini yang menyetir adalah Jaya untuk menuju ke rumah Mbah Sapto. Disepanjang perjalanan terasa sepi pagi ini, semua orang kampung sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Jarak dari rumah Jaya satu kilo, akhirnya sampai dihalaman rumah kayu milik Mbah Sapto.
Dibalik kaca mobil depan, terlihat seorang wanita paruh baya berkebaya sibuk menyapu, karena melihat kedatangan mobil dihalaman depan rumah membuatnya berhenti beraktivitas. Jaya, Rohman dan Dewi keluar dari mobil. Jaya menyuruh Abang dan Dewi untuk tetap didekat mobil.
Jaya melangkah mendekati wanita yang ternyata adalah istri Mbah Sapto.
"Permisi Mbah. Saya Jaya. Mau tanya Mbah Sapto-nya ada Ndak?" Tanya Jaya dengan nada ramah tamah.
"Kamu Jaya anaknya Tukang karet itu ya Le." Tanya balik si Mbah.
"Benar Mbah." Jawab Jaya.
"Mbah Sapto ada, lagi ngopi didalam. Monggo masuk, ajak temannya juga Yo." Jawab Si Mbah.
Jaya lekas kasih kode mata dan lambaian tangan agar ikut masuk kedalam.
Setelah sudah masuk kedalam dan duduk dikursi tamu. Mbah Sapto datang dari arah dapur, lalu duduk dikursi depan Jaya, Rohman dan Dewi.
"Ada urusan apa adek-adek kesini?" Tanya Mbah Sapto.
Sosok Mbah Sapto diluar ekspektasi, dipikirannya seorang dukun yang pakai baju hitam, kain jarik diatas kepala dan bermuka seram. Ini malah beda berbaju Koko dan pakai peci serta sarung. Gayanya seperti baru pulang dari masjid. Mata Jaya, Rohman dan Dewi menatap lekat wajah Mbah Sapto seolah nggak percaya.
"Loh kok pada diam, jawab to? Kalian kaget ya dukun kok pakaiannya kayak ustad." Tanya lagi dengan nada halusnya, lalu tertawa kekeh.
"Gini Mbah, saya mau tanya? Mbah Sapto kenal dengan nama Handoko." Ungkap Jaya dengan pertanyaan yang membuat Mbah Sapto kaget.
"Kalian siapanya Handoko?" Tanya balik Mbah Sapto pada ketiga anak dihadapannya, matanya tajam menatap lekat, ia menunggu jawaban.
"Nama Saya Dewi Mbah, saya anak kedua Pak Handoko. Ayah saya sudah meninggal dunia." Ucap Dewi pada Mbah Sapto.
Mbah Sapto menoleh ke arah Dewi dan menatap lekat anak itu. Saat menatap lekat memang terlihat sorot matanya mirip Handoko.
"Sudah satu tahun ini saya meninggalkan dunia perdukunan karena saya sudah bertobat, saya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan hidup yang diberikan oleh Allah.
Ketika saya membantu salah satu rekan Bapakmu, sukma saya disiksa oleh salah satu orang pintar yang berada dijalan Allah. Sukma saya waktu itu dikasih dua pilihan ingin tobat apa Ingin dimatikan sukmanya agar gila. Saya tidak mau mati dengan penuh dosa musyrik, maka dari itu saya pilih tobat ke jalan yang benar.
Saya membuang ilmu hitam didiri saya, membantu mengeluarkan semua kiriman yang telah saya kirim. Sampai pada titik hari ini saya merasakan ketenangan dan hidup dijalan Allah." Ungkap Panjang Lebar Mbah Sapto pada Dewi dan rekan disampingnya.
"Bisakah Mbah Sapto bantu untuk memutuskan perjanjian setan yang dulu Mbah Sapto kasih ke Ayah saya?" Tanya kembali Dewi ke Mbah Sapto.
"Perjanjian pesugihan Ayahmu memakai jin banaspati, siapapun pesaing yang menganggu usaha Ayahmu akan mati malam itu juga. Saya waktu itu sudah pernah mencoba memutus perjanjian itu namun tidak bisa, karena sudah permanen dan sangat kuat melekat didiri Ayahmu." Jawab Mbah Sapto pada Dewi.
"Kerabat Ayah 6 orang meninggal dunia dalam selang dua hari sekali Mbah. Apakah itu perbuatan Banaspati? Lalu Ayah saya meninggal karena apa?." Dewi bertanya kembali.
Mbah Sapto kaget mendengar pertanyaan Dewi mengenai kematian tersebut. Lalu menjawabnya "ke enam orang yang meninggal itu jelas mengusik Ayahmu, Banaspati menyerang keenam orang itu hingga mati.
Jika Ayahmu mati mendadak, berarti ada kegagalan dalam usaha untuk mendapatkan sesuatu. Ada seseorang yang mengembalikan Tulah Banaspati ke pengirimannya." Setelah menjawab pertanyaan Dewi, Mbah Sapto menatap ke arah Jaya, tatapannya begitu tajam.
Setelah menatap tajam sebentar ke arah Jaya, Mbah Sapto lalu menatap ke arah Dewi dan berkata lagi.
"Kau harus iklas Dewi dan banyak memberikan doa kepada Ayahmu agar Allah memaafkan segala dosa yang diperbuat didunia." Sambung kata Mbah Sapto pada Dewi.
"Ia Mbah. Terima kasih." Jawab Dewi.
"Saya ceritakan awal mula Handoko datang kesini?
"15 tahun yang lalu, Handoko datang kesini karena rekomendasi dari seorang pelanggan saya yang ternyata teman dekat Handoko. Handoko kesini dengan diantar sopirnya, ia meminta sebuah kekuatan pengasihan dan pesugihan yang paling manjur dan tinggi yaitu Banaspati.
Handoko orang yang gigih dan tak kenal menyerah, walau banyak tantangan dan ritual yang panjang ia sanggup menyelesaikan dengan baik dan sabar. Hingga dia lulus dengan predikat tanpa cacat.
Saya juga heran orang segigih ini mau menggunakan ilmu hitam. Padahal jika ke jalan yang benar saja akan lebih berkah dan halal. Sudah saya kasih pilihan apakah lanjut atau tidak, dia tetep lanjut dan bersedia menanggung semua resiko buruk demi harta, tahta dan jabatan.
Hingga saat sudah berhasil, dia mencoba mempertahankan Pesugihan ini dengan tumbal manusia yang bukan dari kalangan keluarganya sendiri. Aku pernah mendengar dari salah satu pelanggan ku kalo dia dan Handoko masuk ke sebuah sekte yang lebih mengerikan dari pesugihan ini.
Sekte itu kumpulan dari semua pengusaha yang memakai banyak pesugihan dan ilmu hitam dari dukun dipenjuru negeri ini. Banyak dari mereka menumbalkan para pekerja proyek bangunan untuk melanjutkan pesugihan dan mendapatkan kesuksesan.
Jika salah satu mati, makan pesugihan itu akan diwariskan dan dilanjutkan oleh anak mereka.
Itu saja yang saya tahu, saya tidak akan ikut campur mengenai sekte itu, bukan ranah saya." Ungkap panjang lebar Mbah Sapto.
"Lalu anak-anak didesa ini ada yang dijadikan tumbal sampai tidak pulang kekampung. Apa Pak Joyo bagian dari mereka Mbah." Ungkap Jaya dengan nada yang menggebu, pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutnya.
"Bisa jadi. Saya sudah peringatkan Joyo untuk tidak macam-macam lagi membawa anak muda dikampung ini. Jika masih membawa dan ketahuan saya maka saya akan mengembalikan yang jahat ke dirinya." Jawab Mbah Sapto.
Dewi yang barusan mendengar ungkapan panjang lebar Mbah Sapto membuat kaget dan otaknya menuju ke Jose kakaknya. Apakah Jose akan menjadi bagian dari sekte itu.
"Mbah saya harus bertemu dengan Pak Joyo." Ungkap Jaya.
"Jangan Nak. Simpan lebih dulu niatmu, ini bukan waktu yang tepat karena Joyo anak buah dari bagian sekte itu." Jawab Mbah Sapto pada Jaya.
"Baik Mbah." Jawab Jaya.
Setelah percakapan yang begitu banyak membuka tabir misteri, disitulah Istri Mbah Sapto mengantarkan teh hangat dimeja untuk diminum bersama. Semuanya minum teh hangat untuk meredakan rasa gelisah dihati.
"Baik Mbah. Terima kasih atas segala informasi yang sudah diberikan. Kami pamit pulang ya Mbah." Ungkap Jaya.
"Baik Nak. Hati-hati dijalan ya." Jawab Mbah Sapto.
Lalu saling berjabat tangan dan meninggalkan rumah Mbah Sapto. Mobil melaju kembali kerumah Jaya.
*
..
..