Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Lili dan Eriva
Bab 19
Kesibukan di rumah Tuan Asher seperti biasa selalu dimulai sejak pagi. Lili pun tak luput dari rutinitas barunya, namun hari ini ada sesuatu yang istimewa. Sore hari, dia dijadwalkan bertemu Diaz di kantor pusat Mahendra Corp.
Sore hari tiba;
Sebelum berangkat, Lili mengenakan pakaian kerja yang dipilih dengan cermat. Blazer putih tulang dipadukan dengan blouse satin biru muda dan celana panjang hitam, membuat sosoknya terlihat profesional namun tetap anggun. Rambutnya yang panjang ditata simpel, dan heels mungil menambah kesan elegan pada tubuhnya yang mungil.
Dion yang menjadi pendamping kepercayaan papinya Lili, sudah menunggu di lobi. "Siap Nona?" tanyanya ramah.
Lili mengangguk. "Semoga semuanya berjalan lancar."
Ketika tiba di lobi Mahendra Corp, suasana modern dan profesional langsung terasa. Lili dan Dion disambut oleh petugas resepsionis, yang mencatat data mereka sebelum mengarahkan ke ruang rapat.
Namun, di tengah lobi itu, Lili tak sengaja berpapasan dengan Gunawan dan Kakek Guru, yang sedang melakukan tinjauan bisnis rutin untuk beberapa anak perusahaan.
Lili yang merasa tahu dengan kedua tokoh itu, terlebih Tuan Gunawan, sedikit mengangguk tanda menyapa.
Gunawan mengernyit, merasa wajah Lili seperti tak asing. "Siapa dia?" pikirnya.
Sebaliknya, Kakek Guru langsung tersenyum ramah. "Kau anak yang manis," ujarnya sambil menyapa Lili.
Lili membungkuk hormat. "Terima kasih, Tuan."
"Semoga sukses, anakku," doa Kakek Guru, membuat Lili tersenyum kikuk.
Gunawan memandang Kakek Guru dengan heran. "Kenapa Anda begitu ramah pada orang yang bahkan kita tidak kenal?" tanyanya.
Kakek Guru tersenyum bijak, "Dia memberi kebaikan dengan ramah pada kita, sebaliknya kita harus membalas dengan kebaikan pula," jawab Kakek Guru, bijak.
Setelah itu, Lili dan Dion diantar oleh salah satu karyawan langsung ke ruang rapat. Di sana, sudah ada Diaz, Samir, dan seorang sekretaris bernama Meli.
Begitu pintu terbuka, Diaz menoleh, dan matanya terpaku sesaat pada Lili. Blazer putih tulang itu sangat pas di tubuhnya, dan gerak-geriknya begitu anggun. Namun, Diaz segera menguasai dirinya, berdiri untuk menyambut dengan sopan.
"Selamat sore," sapanya sambil mengulurkan tangan.
Lili membalas dengan senyum ramah, "Selamat sore, Tuan Diaz."
Namun, saat baru memasuki ruangan, Lili tiba-tiba bersin beberapa kali.
"Maaf," katanya sambil mengambil sapu tangan dari tas.
Samir menoleh dengan perhatian. "Apakah AC-nya terlalu dingin, Nona Lili?"
Lili menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, mungkin hanya flu ringan."
Sementara itu, Diaz berusaha menjaga wibawa sebagai CEO, meskipun dalam hatinya ia terus memperhatikan Lili. Cara dia berbicara, gerak tubuhnya, semuanya terlihat begitu alami namun memikat.
Diskusi tentang proyek rumah sakit dan fasilitas kesehatan pun dimulai. Diaz memimpin pembahasan dengan nada serius, sesekali mengajukan pertanyaan langsung yang cukup membuat Lili sedikit kesal karena terlalu frontal.
"Apakah Anda yakin barang ini dapat memenuhi standar yang kami tetapkan? Ini bukan proyek kecil, dan saya tidak ingin ada kesalahan sedikit pun," kata Diaz dengan nada dingin.
Lili menarik napas panjang, menahan diri. "Kami sudah melakukan uji coba pada beberapa klien sebelumnya, dan hasilnya sangat memuaskan, Tuan Diaz. Saya bisa memastikan kualitasnya."
"Kau wanita, biasanya pandai bicara, merayu. Apa kau pastikan promosi ini bukan omong kosong?"
Samir yang duduk di samping Diaz menengahi dengan nada ramah. "Diaz, santai sedikit. Nona Lili sudah menjelaskan dengan sangat detail."
Diaz hanya melirik Samir dengan sudut matanya.
"Bagaimana jika barang dari Asher Corp sampai tempat banyak kerusakan atau cacat?"
Samir dalam hati menggeleng, begitu detailnya Diaz menjaga supaya tidak kerugian.
Tak terasa satu jam berlalu, Lili dengan lancar bisa memberikan respons yang memuaskan.
Kini, Samir mempersilakan semua orang untuk menikmati jamuan kecil yang telah disiapkan.
Namun, Lili dengan sopan meminta izin. "Maaf, saya membawa minuman sendiri," katanya sambil mengeluarkan botol minum cantik dari tasnya.
Begitu tutup botol itu dibuka, aroma coklat hangat langsung memenuhi ruangan.
Diaz yang sejak tadi mengagumi Lili diam-diam, tidak sadar bahwa gadis di hadapannya ini memiliki ciri-ciri yang cocok dengan gadis yang selama ini dicarinya.
"Baik, kita lanjutkan diskusi. Waktu kita terbatas."
Samir tertawa kecil. "Diaz, kau terlalu serius. Kita butuh jeda sebentar."
Lili tersenyum tipis, meski dalam hatinya merasa sedikit bersalah. Seharusnya dia menolak jamuan sejak awal, tapi aroma bunga dalam ruangan ini membuatnya harus meminum coklat untuk meredakan alerginya.
Meeting segera dilanjutkan dengan pembahasan inti. Fokusnya adalah mengembangkan sistem teknologi terbaru untuk meningkatkan pelayanan di proyek rumah sakit yang sedang dikerjakan bersama. Lili menjelaskan konsepnya dengan percaya diri, dibantu oleh Dion.
"Sistem ini akan memudahkan akses pasien dan meningkatkan efisiensi kerja staf rumah sakit," papar Lili sambil memproyeksikan slide presentasi.
Diaz menyimak dengan serius. Sesekali dia menanyakan detail teknis dengan nada yang tetap dingin.
"Bagaimana dengan data keamanan? Apakah ada risiko kebocoran informasi?" tanyanya tajam.
Lili menjawab dengan tenang, "Kami telah bekerja sama dengan tim IT terbaik untuk memastikan sistem ini memiliki enkripsi tingkat tinggi. Data pasien akan aman."
Samir yang duduk di sebelah Diaz mengangguk puas. "Bagus sekali. Saya yakin sistem ini akan menjadi nilai tambah besar untuk proyek kita."
Setelah beberapa poin terakhir dibahas, meeting pun mencapai kesimpulan. Diaz menutup pertemuan dengan ringkas.
"Baik, saya harap semua pihak dapat bekerja sesuai timeline. Terima kasih atas waktunya," ujar Diaz sambil berdiri.
Sebelum Lili benar-benar pamit, Samir menghampirinya dengan senyum hangat. "Nona Lili, apakah Anda akan menghadiri acara lelang besok?"
Lili terlihat berpikir sejenak. "Saya belum tahu, Tuan Samir. Itu tergantung pada keputusan Papi."
Samir sedikit membujuk. "Acara lelang itu sangat penting, terutama untuk memperluas koneksi di dunia bisnis seperti ini. Saya rasa Anda harus mempertimbangkannya."
Lili tersenyum tipis. "Terima kasih atas sarannya, Tuan Samir. Saya akan bicarakan dengan Papi, nanti."
Diaz memperhatikan dari kejauhan tanpa berkata apa-apa, hanya fokus pada catatannya.
Setelah Lili dan Dion pergi, Samir memandang Diaz dengan alis terangkat. "Kau benar-benar terlalu kaku, Diaz. Wanita secantik dan secerdas itu, kau hanya duduk diam seperti patung."
Diaz tidak menanggapi ejekan itu. Matanya menatap kosong ke arah pintu yang baru saja dilewati Lili. Dalam pikirannya, dia tidak memikirkan lelang atau presentasi tadi. Yang terus muncul adalah kenangan masa kecil, sepatu kaca biru, dan rasa ingin tahu tentang Leri saat ini. Di mana dia sekarang?
"Diaz, kau dengar aku?" Samir menyentuh bahu Diaz, membuyarkan lamunannya.
"Ya, aku dengar," jawab Diaz singkat.
Samir menghela napas, menggeleng kecil. "Terserah kau. Tapi aku akan sangat menyayangkan kalau kau membiarkan Lili berlalu begitu saja."
Diaz hanya diam, tetap dengan pikirannya sendiri. Ia tahu, yang lebih penting sekarang adalah mencari tahu cara, bagaimana ia bisa membuat Eriva mencoba sepatu kaca biru peninggalan mendiang Mamanya.
Bersambung...