"Aliza suka kak diva!!"
"gue gak suka Aliza!!"
"kak diva jahat!!"
"bodo amat"
apakah seorang Aliza akan melelehkan hati seorang ketua OSIS yang terkenal dingin dan cuek itu?atau Aliza akan menyerah dengan cintanya itu?
"Aliza,kenapa ngejauh?"
"kak diva udah pacaran sama Dania"
"itu bohong sayang"
"pret"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akuadalahorang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tantrum, chapter 18
Aliza baru saja tiba di sekolah. Saat keluar dari mobil, pandangannya langsung tertuju pada Diva dan Haira yang sedang mengobrol sambil tertawa riang. Aliza tersenyum manis, yakin bahwa hari ini dia akan melakukan sesuatu yang istimewa. Dengan membawa iPad mini dan sekotak makanan di tangannya, dia berjalan mendekati mereka.
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!" sapa Aliza ceria, mengejutkan Diva dan Haira.
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka serempak. Aliza berdiri di samping Diva, dan Diva menyambutnya dengan senyuman tipis.
"Hai Haira, hai Kak Diva! Kok pagi-pagi udah ngobrol aja? Kayaknya seru banget!" ujar Aliza penuh rasa ingin tahu.
"Oh, kita lagi ngobrolin momen masa kecil, Liz," jawab Haira ramah sambil tertawa kecil.
Aliza tersenyum mendengar itu. "Oalah... Aku juga punya cerita masa kecil, lho! Sama Ikbal, hehe," katanya dengan semangat.
Senyum Diva perlahan memudar. Wajahnya berubah menjadi datar.
"Ikbal? Ikbal kelas IPS 5?" tanya Haira penasaran.
"Iya, tau?" Aliza mengangguk antusias.
"Iya, aku tau. Dia teman aku waktu di pesantren. Sekarang dia nggak pesantren lagi," jelas Haira.
Aliza mengangguk lagi, tapi tiba-tiba Diva menatapnya tajam.
"Aliza," panggil Diva dengan nada serius.
Aliza mengerutkan dahi. "Kenapa, Kak?" tanyanya polos.
"Haira, kamu ke kelas aja," ucap Diva, membuat Aliza terkejut.
Haira tampak ragu, tapi akhirnya menurut. "Iya, Kak," jawabnya sebelum berpamitan dengan mereka berdua.
Begitu Haira pergi, Diva menatap Aliza dengan ekspresi yang sulit ditebak.
"Aliza, kamu sadar nggak apa yang kamu barusan omongin?"
Aliza terlihat bingung. "Maksudnya? Aku cuma cerita soal Ikbal."
"Kenapa harus Ikbal? Dan kenapa pagi-pagi kamu harus bahas itu?" suara Diva terdengar makin tegas.
Aliza tertawa kecil, tapi jelas terlihat ia kesal. "Wajar dong aku bahas Ikbal!aku juga liat Kakak pagi pagi sama haira!"
Diva hanya bisa melongo melihat Aliza yang tiba-tiba pergi dengan langkah cepat.
"Tantrum? Ya jelas tantrum," gumam Diva sambil menghela napas panjang sebelum ikut beranjak pergi, pasrah menghadapi situasi tersebut.
Aliza dan Cesya meminta izin ke toilet untuk buang air kecil, tetapi sebenarnya mereka keluar kelas karena malas mendengarkan guru. Aliza langsung berlari ke kantin untuk mencari makanan dan minuman. Saat tiba di kantin, mereka melihat Haira dan Diva sedang bersama. Namun, karena Aliza sedang bad mood, ia tidak memperhatikan keberadaan mereka.
"Bi! Saya mau nasi goreng rasa buaya buntung!" teriak Aliza dengan suara lantang, membuat Diva dan Haira menoleh ke arahnya. Diva segera berlari menghampiri Aliza, sementara Haira berjalan mendekat dengan tenang dan anggun.
"Jam pelajaran, kok malah liar ke kantin?" tanya Diva, menatap Aliza dengan tegas.
Aliza terdiam sejenak, lalu menarik tangan Cesya. "Ya, serah gue lah mau ke mana juga! Bukan urusan lo!" balasnya sinis sebelum pergi bersama Cesya.
Cesya yang berjalan di samping Aliza mulai merasa aneh melihat ketegangan antara Aliza dan Diva. Ia menatap mereka bergantian, bingung.
"Al-" ucap Diva, mencoba menenangkan situasi.
"Apa?! Kalian juga bolos dari kelas, kan?" potong Aliza dengan ketus. Diva mencoba bersabar menghadapi Aliza yang sedang tantrum.
"Aliza... nanti pulang bareng, ya?" pinta Diva lembut, meski suasana masih tegang.
"Urusin aja tuh cewek!" balas Aliza dengan nada tajam sambil berlalu, meninggalkan Diva.
Cesya menatap Aliza penuh kebingungan. "Lo kenapa sih?" tanyanya pelan.
Namun, Aliza tidak menjawab. Ia hanya berjalan dengan wajah kesal, menyimpan emosi yang belum terungkap.
---
"Aliza, tunggu!!"
Aliza terus berjalan menuju mobilnya untuk pulang, tapi Diva tetap mengejarnya dari kelas sampai ke parkiran. Begitu Aliza berhenti, Diva segera memegang tangannya, membuat Aliza tak punya pilihan selain menatapnya dengan kesal.
"Kenapa sih kamu terus deketin Haira? Katanya cinta, kok malah akrab sama cewek lain? Dasar laki-laki!" Aliza menyindir dengan nada tajam.
Diva tertegun sejenak. Baginya, Aliza adalah miliknya, walau ia belum pernah menyatakan perasaannya secara langsung.
"Kamu milik aku," ucap Diva penuh penekanan, matanya menatap Aliza lekat.
Mendengar itu, Aliza mengalihkan pandangannya, menahan rasa salting yang mulai muncul di wajahnya. Tapi, ia tetap bersikap tegas.
"Masa? Terus kenapa deketin Haira? Dia kan tipe kamu. Kalau iya, ya udah klaim aja dia jadi cewek kamu!"
Diva merasa frustasi melihat Aliza yang terus ngambek. Ia berusaha menenangkan, meski bingung harus berkata apa.
"Jangan tantrum terus dong," ujar Diva lembut.
"Tantrum? Siapa yang tantrum? Kamu kan yang mulai duluan," balas Aliza tak mau kalah.
Diva tersenyum tipis dan mencoba mengalah. "Iya, iya, aku minta maaf ya. Sini peluk, nggak apa-apa kok... meskipun masih haram juga."
Diva lalu merengkuh Aliza dalam pelukannya. Meski canggung, Aliza membalas pelukan itu dengan erat.
"Tapi, jangan deket-deket lagi sama Haira!" tekan Aliza.
Diva mengangguk sambil mengelus punggungnya dengan lembut. "Iya, sayang. Aku janji nggak akan lagi."
Namun, tiba-tiba Aliza mendorong Diva ke belakang mobilnya.
"Nathan!!" Aliza berbisik panik sambil menarik Diva agar bersembunyi.
Diva, yang bingung dengan tingkah Aliza, hanya mengikuti tanpa protes. "Sttt, jangan berisik!" bisik Aliza lagi.
Di kejauhan, Nathan dan Bagas terlihat sedang bertengkar kecil.
"Sialan lo! Mana ada gue macam-macam sama Carissa?! Gue gampar lo ya!" Bagas memarahi Nathan dengan kesal.
Nathan hanya tertawa puas. "Lah? Terus siapa tuh kemarin yang ciuman sama Carissa di belakang sekolah? Siapa? Hah?!" ejek Nathan.
Bagas langsung menjitak kepala Nathan, sementara Gavin yang berada di dekat mereka hanya bisa tertawa sambil menahan sakit.
Di balik mobil, Diva menatap Aliza yang wajahnya kini memerah malu. Aliza menunduk, tak berani menatap balik. Diva tersenyum kecil, lalu mendekat dan memeluknya erat.
"Nanti kalau Nathan tahu, kamu bakal dimarahin, kan?" tanya Diva lembut.
Aliza hanya mengangguk pelan. Diva mengangguk balik, pandangannya penuh kelembutan.
"Aku sayang kamu," ucap Diva dengan suara lirih.
Aliza memeluk leher Diva, lalu menjawab pelan, "Aku juga sayang kakak."
Mendengar itu, Diva tersenyum lebar, menahan rasa salting yang hampir membuatnya kehilangan kendali.
---
Hari itu, Aliza meminta Cesya, yang masih berada di lapangan basket karena urusan penting, untuk membawa mobilnya ke rumah. Aliza juga mengajak Cesya sekalian mampir dan main di rumahnya. Sementara itu, Aliza memutuskan untuk pulang dengan diantar oleh Diva.
"Ayo main dulu biar nggak stres mikirin tugas," ucap Aliza pada Diva sambil tersenyum.
Di perjalanan, Aliza memeluk Diva dari belakang. Tangannya melingkari pinggang Diva erat, sementara Diva menggenggam tangan Aliza yang melingkar di tubuhnya. Di kaca spion, Diva bisa melihat senyum manis Aliza yang begitu hangat. Dagu Aliza bertumpu di bahu Diva.
"Mau ke mana?" tanya Diva tiba-tiba.
"Hah?" Aliza balas dengan kebingungan.
"Mau ke mana?!" Diva mengulang pertanyaannya dengan suara lebih keras.
"Oh, kemana aja deh," jawab Aliza santai.
Diva mengangguk kecil dan mulai memikirkan tempat yang nyaman untuk berduaan bersama Aliza. Ia ingin membawa Aliza ke tempat di mana mereka bisa menghabiskan waktu tanpa gangguan.
Setelah beberapa saat hening, Aliza tiba-tiba bertanya, "Kak?"
"Iya?"
"Kenapa sih Kakak deket banget sama Haira? Kalian dijodohin, ya?"
Diva menggeleng. "Bukan. Aku cuma menjalankan amanah dari Abi-nya Haira buat jagain dia."
Aliza mencibir, menunjukkan ekspresi tak puas. "Jadi Kakak udah kenal sama Umi dan Abi-nya Haira, dong?"
Diva mengangguk. "Iya. Keluarga Haira banyak bantu aku dan Mama waktu kami lagi susah. Setelah Papa nggak ada, mereka yang support aku."
Aliza terdiam sejenak, mencerna cerita Diva. Ia mengangguk pelan, mulai memahami betapa besar perjuangan yang sudah dilewati oleh Diva.
"Kakak hebat bisa lewatin itu semua," ucap Aliza dengan nada kagum.
Diva tersenyum kecil, matanya tetap fokus ke jalan. "Ya, walaupun capek, aku nggak punya pilihan selain terus kuat. Keadaan yang memaksa aku buat bertahan."
Mendengar itu, Aliza mempererat pelukannya pada Diva. Ia ingin Diva tahu bahwa ia ada untuk mendukungnya.
"Aku bangga sama Kakak," bisik Aliza pelan, membuat senyum di wajah Diva semakin lebar.
---