NovelToon NovelToon
Cintamu Membalut Lukaku

Cintamu Membalut Lukaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kelahiran kembali menjadi kuat / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: achamout

Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.

Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.

Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18 Khawatir

Aqila pulang dengan hati yang hancur. Tubuhnya lelah, dan rasa sakit di perutnya semakin parah. Ia meletakkan pembalut yang akhirnya berhasil ia beli di meja kecil di samping ranjang, lalu duduk di tepi ranjang sambil memeluk dirinya sendiri.

Air matanya tak lagi bisa ia tahan. "Kenapa semua ini harus terjadi pada ku? Apa salah kalau aku masih hidup?" lirih Aqila dengan suara penuh kepedihan.

"Kenapa Mama sangat membenciku, apa salah ku ya Tuhan? " lirih Aqila pilu sambil terus menahan rasa nyeri di perutnya.

Rasa nyeri di perut Aqila semakin terasa hingga membuatnya tak tahan lagi. Ia akhirnya membaringkan tubuhnya di atas kasur, memegang perutnya yang terasa kram, sambil terus menangis dalam diam.

Sementara itu, di kampus, Alvano tengah berdiri di depan kelas, menyampaikan materi tentang pembelajarannya. Setelah memberikan penjelasan mendalam, ia melihat para mahasiswa yang tampak serius mencatat.

"Baik, apa kalian paham dengan penjelasan yang saya berikan tadi?" tanya Alvano, menatap ke seluruh kelas. Beberapa mahasiswa mengangguk antusias.

Areta yang merupakan mahasiswa dikelas itu juga mengangguk antusias. Meski sebenarnya ia tak tak sepenuhnya mengangguk untuk materi yang disampaikan Alvano. Sejak awal kelas dimulai, perhatian gadis itu hanya tertuju pada Alvano. Matanya terus mengamati setiap gerak gerik dosennya itu.

Areta tersenyum kecil, pikirannya melayang. "Pak Vano ganteng banget. Udah ganteng, kaya, pintar, anak pemilik kampus lagi. Kalau aku nggak bisa dapetin dia, rugi banget!” batinnya sambil terus tersenyum licik.

Setelah jeda sejenak, Alvano kembali berbicara. Sekarang tugas kalian adalah membuat analisis strategi bisnis dari perusahaan yang kalian pilih. Analisisnya harus mencakup kelebihan, kekurangan, peluang, dan ancaman yang dihadapi perusahaan tersebut. Tugasnya dikumpulkan sekarang. Kalian bisa letakkan di meja saya setelah selesai," lanjutnya dengan nada tegas, namun tetap ramah.

Setelah memberikan instruksi, Alvano kembali duduk di kursinya. Namun, pikirannya tak tenang. Tanpa sadar, wajah Aqila melintas di benaknya. Ada rasa cemas yang tak ia mengerti.

"Aqila gimana ya di rumah? Apa dia baik-baik saja?" gumamnya pelan.

Tak tahan dengan kecemasannya, Alvano memutuskan untuk menelepon Aqila. Ia mengambil ponsel dan menekan nomor gadis itu.

"Halo, Qila," sapa Alvano saat panggilan tersambung.

Dari seberang, terdengar suara lemah Aqila. "Ha... Halo, Mas."

Nada suara itu seketika membuat Alvano cemas. "Qila, kamu kenapa? Kok suara kamu lemas gitu?"

"A-aku nggak apa-apa, Mas," jawab Aqila, berusaha terdengar tegar meski suaranya parau menahan sakit.

"Aqila, kamu kenapa? kok kamu kayak nahan sakit gitu, kamu kenapa? " tanya Alvano semakin cemas. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi dengan Aqila.

Beberapa mahasiswa menoleh ke arah Alvano, penasaran melihat dosen mereka berbicara serius di telepon dengan raut wajah yang tampak cemas. Perubahan ekspresi Alvano itu tak luput dari perhatian Areta.

"Pak Vano telponan sama siapa, ya? Kok kelihatan gelisah banget," gumam Areta pelan sambil terus memperhatikan gerak-gerik dosennya.

"Ahh... sakit..." lirih Aqila, suaranya terdengar lemah. Rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan.

"Qila, kamu sakit apa? Kenapa? Tolong jangan diam saja," ujar Alvano, suaranya semakin panik mendengar nada kesakitan dari istrinya.

"Ahh... sakit, Mas..." jawab Aqila dengan suara nyaris tak terdengar, sebelum akhirnya sambungan telepon tiba-tiba terputus.

"Qila? Halo? Qila?!" Alvano berusaha memanggil kembali, tapi tidak ada jawaban. Sambungan telepon benar-benar mati.

Raut wajah Alvano berubah tegang. Kekhawatirannya memuncak, membayangkan sesuatu yang buruk sedang terjadi pada Aqila. Tanpa pikir panjang, ia segera membereskan barang-barangnya.

"Cukup sampai di sini," ucapnya buru-buru kepada para mahasiswa. "Tugas yang sudah saya berikan bisa kalian taruh di meja saya nanti. Saya harus pergi karena ada urusan mendadak. Permisi."

Ia langsung meninggalkan kelas, wajahnya penuh dengan kecemasan.

Semua mahasiswa menatap kepergiannya dengan bingung. Suasana kelas berubah hening, kecuali suara bisikan kecil di antara mereka.

Areta terus memandangi pintu yang baru saja dilalui Alvano. Pikirannya penuh pertanyaan. "Kenapa Pak Vano tiba-tiba pergi? Siapa yang dia telepon tadi? Kok cemas banget. Apa itu pacarnya? atau jangan-jangan lebih dari sekedar pacar... istrinya?”

Areta menggeleng, menepis pikirannya. "Nggak-nggak mungkin! Pak Vano pasti belum menikah, secara kan gosip yang beredar bilang dia itu masih single dan belum punya kekasih." Gumam Areta mencoba mengusir pikiran-pikiran yang ia tak ingin kan terjadi dengan Alvano.

🌸🌸🌸🌸🌸

Alvano tiba di rumah dengan wajah cemas. Ia memarkirkan mobilnya di depan rumah, dan saat turun dari mobil, matanya memperhatikan sesuatu yang aneh, motor sport Yamaha miliknya terparkir di halaman. Padahal seingatnya, motor itu ia simpan di garasi.

"Kenapa motornya di sini? Siapa yang mengeluarkannya? Apa mungkin Aqila?" gumamnya dengan alis berkerut. Tapi ia menepis pikirannya, memilih fokus pada Aqila. Ia harus cepat memastikan kondisi istrinya itu.

Tanpa menunggu lebih lama, Alvano masuk ke rumah dan langsung menaiki tangga menuju kamar. Dengan langkah lebar dan tergesa, ia memanggil pelan, "Qila?" Alvano membuka pintu kamar.

Saat pintu kamar terbuka, Alvano langsung disambut pemandangan yang membuat dadanya sesak. Aqila terbaring lemah di kasur, tubuhnya meringkuk sambil memegangi perut. Wajahnya pucat, dan terlihat jelas dia sedang menahan rasa sakit.

"Qila, kamu kenapa?" Alvano langsung mendekat, duduk di tepi kasur. Tangannya dengan lembut menyentuh wajah Aqila yang dingin.

"Mas... Vano..." lirih Aqila, suaranya bergetar. Ia berusaha bangkit, tapi rasa sakit di perutnya membuatnya kehilangan tenaga.

"Aqila, kamu kenapa? kamu sakit?" Alvano semakin panik, tatapannya penuh kecemasan.

Aqila menundukkan kepala, air matanya jatuh. "Iya, Mas... perut aku sakit banget...” jawabnya lirih sambil terisak.

"Sakit kenapa, Qila? Dan ini..." Alvano terdiam sejenak saat melihat noda darah di celana Aqila. "Qila, ini kenapa? Kamu berdarah?" tanyanya, kepanikan di suaranya semakin jelas.

"Aku... aku datang bulan, Mas," lirih Aqila, terisak pilu. "Tapi aku nggak tahu kenapa sakitnya sampai seperti ini..."

Alvano menghela napas, mencoba tetap tenang meski hatinya diliputi rasa cemas. "Aku ambil minyak angin, ya. Semoga ini bisa membantu meredakan sakitnya."

Ia segera bangkit, mengambil minyak angin dari laci kamar, lalu kembali ke sisi Aqila.

"Aku oleskan, ya? Biar rasa sakitnya sedikit berkurang."

"Jangan, Mas... aku aja," lirih Aqila dengan lemah.

Alvano menatapnya serius. "Qila, kamu sakit. Percayalah, aku nggak akan macam-macam. Aku cuma ingin kamu merasa lebih baik," ucapnya lembut.

Tanpa menunggu persetujuan lebih jauh, ia menyingkap sedikit baju Aqila dan mulai mengoleskan minyak angin ke perutnya. Tangannya bergerak perlahan, penuh kehati-hatian agar Aqila tidak merasa semakin tidak nyaman.

Aqila terdiam. Ia terlalu lemah untuk menolak dan hanya bisa membiarkan Alvano membantunya.

"Semoga sakitnya cepat mereda," gumam Alvano sambil terus mengusap lembut perut Aqila. "Gimana? Masih sakit?" tanyanya penuh perhatian.

Aqila mengangguk pelan. "Iya, Mas... masih..."

Alvano terlihat semakin khawatir. "Kalau gitu, aku panggil dokter, ya? Aku takut ini sesuatu yang serius," katanya dengan nada tegas.

"Nggak usah, Mas... nanti juga reda," jawab Aqila pelan, mencoba meyakinkan suaminya.

Alvano terdiam sejenak, menatap Aqila dengan ragu. Tapi akhirnya ia mengalah. "Baiklah. Kalau begitu, aku turun sebentar buat bikin teh hangat. Siapa tahu bisa sedikit meredakan sakit perut kamu," ucapnya lembut sambil membelai rambut Aqila.

Aqila hanya mengangguk pelan, sementara Alvano beranjak ke dapur dengan hati yang masih penuh kekhawatiran.

Setelah selesai membuat teh hangat, Alvano kembali ke kamar dengan langkah cepat. Matanya langsung tertuju pada Aqila yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Ia duduk di tepi tempat tidur.

"Qila, ini minum dulu. Semoga ini bisa membantu mengurangi rasa sakit perut kamu," ucapnya lembut.

Aqila mengambil cangkir itu dengan tangan gemetar, menyesap pelan-pelan. Kehangatan teh menyebar di tubuhnya, memberikan sedikit rasa nyaman.

"Gimana sekarang, masih sakit?" tanya Alvano cemas, matanya tak lepas dari wajah pucat Aqila.

"Sudah agak mendingan, Mas... Makasih, ya..." jawab Aqila lirih dengan senyum lemah.

Alvano menghela napas lega, tapi sorot khawatir di matanya belum hilang. "Qila, kenapa tadi kamu nggak langsung kabarin aku pas kamu kesakitan begini? Aku khawatir banget sama kamu," Lirih Alvano lembut.

Aqila menunduk, merasa bersalah. "Maaf, Mas... Aku nggak mau ganggu waktu Mas ngajar. Aku pikir aku bisa tahan..." jawabnya pelan.

"Qila, dengerin aku," Alvano memegang tangan Aqila erat, menatapnya penuh keseriusan. "Kamu itu lebih penting dari apa pun. Kalau ada apa-apa, sekecil apa pun, kamu harus kasih tahu aku. Jangan pernah pendam sendiri, ya. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama kamu, " ucap Alvano lembut, sorot matanya penuh kekhawatiran.

Aqila terdiam. Hatinya tersentuh mendengar ketulusan di setiap kata yang diucapkan suaminya. "Makasih, Mas Vano... Kamu udah perhatian banget sama aku," ucapnya, suara bergetar menahan haru.

Alvano tersenyum kecil, lalu mengusap lembut kepala Aqila. "Kamu istriku, Qila. Wajar kalau aku perhatian sama kamu. Aku nggak akan biarin kamu menahan sakit sendirian kayak gini lagi. Ingat, ya, janji sama aku, jangan pernah menyembunyikan apa pun."

Tiba-tiba, Aqila menangis. Air matanya mengalir deras, membuat Alvano panik. "Qila, kenapa? Perut kamu sakit lagi?" tanya Alvano semakin khawatir.

Aqila menggeleng. "Bukan, Mas..."

"Terus kenapa? Jangan bikin Mas khawatir," ucap Alvano lembut, mengusap pipi Aqila. Tangannya terulur menghapus air mata Aqila yang membasahi pipinya.

Aqila menarik napas panjang sebelum akhirnya bicara. "Aku... Aku cuma ngerasa kamu satu-satunya orang yang peduli sama aku. Sebelumnya, aku selalu ngerasa nggak berguna, nggak pantas hidup, dan.." Aqila berhenti sejenak. "Dan aku cuma anak pembawa sial.. " lirih Aqila pilu. Air matanya semakin deras turun.

Mendengar itu, Alvano terpaku. Hatinya terasa teriris mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Aqila. Dengan lembut, ia menarik tubuh Aqila ke dalam pelukannya.

"Qila, jangan pernah ngomong kayak gitu, Kamu itu bukan pembawa sial, kamu itu anugerah. Kamu penting buat aku dan kamu pantas untuk hidup. Kamu jauh lebih berharga dari apa pun Qila," bisik Alvano, suaranya penuh keyakinan.

"Tapi... hikss... Mama bilang aku begitu, Mas..." lirih Aqila di sela isakannya.

"Mama?" Alvano mengerutkan kening, mengangkat dagu Aqila agar mendongak untuk menatapnya.

Aqila mengangguk. "Tadi aku ke supermarket buat beli pembalut. Aku nggak sengaja nabrak ibu-ibu, belanjaannya jatuh. Waktu aku minta maaf, ternyata itu Mama. Dia marah banget, dia bilang aku pembawa sial, nggak pantas hidup, dan tadi dia juga nuduh aku nyuri. Aku nggak ngerti kenapa Mama benci banget sama aku... hikss.." tangis Aqila makin pecah.

Alvano merasa dadanya sesak mendengar cerita itu. Dengan lembut, ia menangkup wajah Aqila, menghapus air matanya.

"Qila, dengerin aku baik-baik," ucap Alvano pelan namun tegas. "Apa pun yang Mama tiri kamu bilang tadi, jangan pernah kamu percaya. Semua itu salah besar. Kamu bukan pembawa sial. Kamu itu sangat berharga, Qila. Lebih dari apa pun itu. Kamu tau, Kamu itu adalah keberuntungan terbesar dalam hidup aku," ucap Alvano lembut. Matanya yang teduh menatap Aqila penuh ketulusan.

Aqila menatapnya dengan mata sembab, namun sorot keputusasaannya mulai tergantikan oleh rasa penasaran.

"Sejak kamu hadir di hidup aku," lanjut Alvano, suaranya semakin lembut. "Aku merasa semuanya berubah. Hidup aku jadi lebih berwarna, lebih bermakna. Kamu itu seperti berlian yang tak ternilai harganya. Kalau Mama kamu nggak bisa melihat itu, berarti dia yang rugi. Aku yakin, Suatu saat nanti, dia pasti akan menyesali semua yang dia katakan sama kamu.”

Ucapan Alvano menembus hati Aqila, seperti sinar yang menghangatkan jiwanya. Tangisnya perlahan mereda, meski masih ada sisa-sisa air mata di sudut matanya.

"Mas Vano, k-kamu benar-benar membuat aku merasa lebih baik, Terima kasih udah dukung aku, kamu benar-benar bikin aku semangat lagi," ucapnya Aqila lirih. "sekali lagi Makasih, karna kamu udah selalu ada buat aku.. "

Alvano tersenyum tipis, lalu menarik Aqila ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, seolah ia ingin menyampaikan bahwa ia tak akan pernah melepaskannya.

"tentu Qila, sekarang kamu jangan sedih lagi ya.., kamu nggak boleh ngomong kayak gitu lagi. Kamu jangan ngerasa sendiri, ingat ada aku Qila, ada aku suami kamu yang sangat sayang sama kamu.." bisik Alvano lembut di telinga Aqila. "Kamu itu segalanya buat aku Qila.. " tambahnya pelan.

Aqila membalas pelukan itu dengan gemetar. Hangatnya dekapan Alvano membuat hatinya yang rapuh perlahan sembuh. "Iya mas, a-aku beruntung punya kamu, aku juga sayang kamu Mas, jangan tinggalin aku ya..." bisiknya pelan, hampir seperti gumaman.

Alvano mengangguk, ia mencium puncak kepala istrinya dan mengusap lembut punggung istrinya untuk menenangkannya.

Di dalam pelukan Alvano, Aqila merasa aman. Rasa sakit yang tadi menyesakkan dadanya perlahan menghilang. Ia tahu, selama Alvano ada di sisinya, ia tidak akan pernah merasa sendirian lagi.

1
hesti_winarni25
semangat berkaya kak
Achamout: Terima kasih kakak😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!