Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
About Kimber
“Bukankah itu mengagumkan? Penyu adalah representasi dari kesetiaan. Ketika pasangan penyu mati maka penyu yang hidup tidak akan kawin lagi,” kata Kimber sesaat setelah dia membaca sebuah buku tentang fauna dan dengan antusias mengatakannya kepada Dizza dan Levin.
Saat itu mereka masih sekolah menengah. Tidak banyak yang tahu soal keluarga Kimber, hanya Dizza dan Levin yang berani mendekatinya meski status gadis itu terbilang diatas mereka secara strata ekonomi. Orang bilang lu kaya lu punya kuasa, tetapi sebaliknya Kimber justru sebaliknya. Gadis itu kerap jadi bulan-bulanan para gadis yang iri atas kehidupan yang dia miliki sampai dia kena bully. Dan diantara semua orang yang mau terjerumus, hanya Dizza saja satu-satunya anak perempuan yang mau dengan tulus berteman dengannya. Setelahnya barulah Levin ikut mendekatinya karena Dizza ada disana.
“Kenapa tiba-tiba bahas penyu sih?” sahut Levin sambil mengorek lubang telinganya, gesture yang sebenarnya tidak sopan tetapi Kimber sudah sangat maklum dengan pemuda itu. Dizza langsung menyikut perut lelaki itu keras-keras.
“Diam kau, yang tidak tahu estetika di larang bicara!” katanya yang langsung mengundang tawa Kimber.
Ya, mungkin hanya pada sebagian orang saja yang akan terkagum atas kesetiaan penyu. Tapi rasanya juga akan agak salah kalau seorang manusia yang ingin melanjutkan hidup harus ditarik dalam lingkup kesetiaan penyu. Kimber memang tidak mengerti bagaimana pastinya perasaan seekor penyu saat ditinggal mati pasangannya dan memilih menjalani hidup begitu saja tanpa keinginan untuk mencari yang lain lagi. Tetapi dia tentu saja bisa mengerti perasaannya sendiri yang tak ingin terpatok dalam satu perasaan yang sulit dihilangkan. Seperti noda darah yang menembus kain putih dan mengering ketika terlambat di tangani. Ya, perasaannya sendiri.
Seperti bagaimana jantungnya berdebar berkali-kali lipat ketika Levin pertama kali melindunginya dari para pembully atas inisiatifnya sendiri. Memperlihatkan kepedulian sang pria terhadapnya tanpa Dizza disisinya saat itu. Jujur saja, Kimber langsung terpana pada pandangan pertama. Namun dia sadar bahwa perasaan itu tidak layak untuk dia katakan ketika dia menyadari sesuatu yang terlalu jelas di matanya. Bagaimana cara Levin memperlakukannya dengan cara pemuda itu memperlakukan Dizza jelas berbeda. Karena barangkali mereka jauh mengenal lebih dulu dibandingkan Kimber padanya. Kecemburuan kadang mampir dalam hati, tetapi sebisa mungkin Kimber berusaha untuk mengatasi.
Seluruh kilas balik masa lalu tersebut berakhir seketika, ketika riuh pelayan di luar kamarnya mencoba membangunkan Kimber dari peraduan. Mimpi berdasarkan kenyataan memang terkadang kerap Kimber alami, termasuk pagi ini.
“Nona Kimber,” panggil pelayan di luar pintu kamarnya. Mengetuk beberapa kali tanpa lancang membuka kamar sang nona. Cara mereka berlagak memang sudah diatur sedemikian rupa, kesopanan yang dijunjung tinggi di tempat ini memang ketat. Mereka berharap bisa membangunkan sang nona dengan cara itu tetapi tidak enak hati bila mengganggu tidurnya.
“…”
“Hari ini, Anda ada kuliah pagi bukan? saya ditugaskan untuk menyampaikan pesan kepada Nona, bahwa Tuan besar menunggu Anda di bawah untuk sarapan bersama. Saya harap—” Belum sempat si pelayan melanjutkan perkataannya. Pintu yang sedang dia ajak bicara terbuka. Memperlihatkan sosok sang penghuni dengan air muka yang bisa dibilang cukup sulit untuk di deskripsikan.
“Baiklah, aku akan segera sip-siap. Terima kasih, kau boleh kembali bertugas lagi.”
Hari-hari seperti ini selalu dilalui oleh Kimber. Hari-hari biasa, bahkan terlalu biasa.
***
Sudah pasti seperti biasa pula, Kimber akan diantar oleh pelayannya menuju ke kampus setelah sarapan yang begitu elegan itu selesai. Elegan memang kata yang paling tepat untuk menggambarkan keheningan yang tenang tetapi juga hangat untuk acara makan pembuka keluarganya yang bisa dibilang konglomerat. Meski suasananya lebih seperti ujian masuk perguruan tinggi beberapa tahun lalu, Kimber sudah tidak lagi merisaukan hal-hal seperti ini karena dia telah terbiasa menjalaninya sejak belia. Dia sudah biasa, ini hal yang lumrah bagnya.
Meski kadang orangtuanya tidak ikut sarapan, dan dia hanya ditemani oleh sang kakak saja karena ayahnya lebih banyak melakukan aktivitas diluar rumah dan nyaris tidak punya waktu dalam satu hari untuk sebuah kebersamaan keluarga setelah sang bunda meninggal dunia. Tetapi meski begitu, Kimber sangat tahu bahwa kehadiran sang kakak saja sudah cukup. Walau kakaknya terbilang punya kepribadian yang agak kaku, dan tidak banyak bicara tetapi Kimber tahu bahwa kakaknya itu sangat menyayangi dia. Sungguh, memikirkan hal itu saja sudah membuat Kimber bahagia bukan kepalang.
‘Aku percaya akan perkataan Levin tentang deskripsi hati miliknya. Bahwa hati bukan organ yang tumbuh di dalam tubuh, tetapi hati adalah sebuah perasaan yang tumbuh saat kau terus membawa hatimu dalam setiap kejadian di hidupmu. Hati itu akan terbentuk dan memiliki rasanya sendiri’ Kimber tersenyum dengan suara batinnya sendiri yang menemani dirinya dalam perjalanan menuju ke kampus.
Ada kalanya memang Levin bersikap seperti itu jika mereka hanya berdua saja tanpa Dizza, dan Kimber sangat senang sebab dia seperti melihat sosok yang berbeda dari pemuda itu. Seperti dia memiliki rahasia mereka sendiri. Dan perkataan itu selalu terkenang di dalam benaknya hingga sekarang. Lucunya, perkataan itu diucapkan oleh Levin ketika Kimber menangis lantaran merasa bahwa dunia tidak menerimanya. Dunia mengutuknya karena mengambil sang bunda dari hidupnya. Setelah itu pun keluarganya tidak peduli padanya lagi dan dia tidak punya teman. Namun sejak dia mendengar perkataan Levin, Kimber jadi punya semangatnya sendiri dan dia dapat melihat sesuatu dengan perspektif yang berbeda. Terima kasih banyak untuk pemuda itu.
Dalam diam, sang supir melirik pada bayangan Kimber yang ada di cermin mobil. “Senyuman pagi ini asalnya dari Kakaknya Nona atau teman Nona?”
Kimber tersenyum sebagai balasannya. “Keduanya.”
“Sudah lama sejak sepeninggal—"
“Ya sudah lama sekali. Tapi menepis setiap kenangan tentang beliau hanya akan menimbulkan hal buruk untukku. Bunda telah tiada tetapi dia meninggalkan hatinya untukku.” Sebuah simpul indah muncul saat gadis itu mengakhiri kalimat sekaligus menginterupsi perkataan sang supir hingga pria itu tidak berkutik.
Pesona keluarga besar itu memang berasal dari intimidasi ketenangan. Dulu Kimber memang tidak memilikinya, karena dia cenderung pengecut, dan penakut. Tetapi setelah memiliki Levin dan Dizza secara perlahan dia mulai berkembang dan memiliki pembawaan baru yang lebih baik dari pada sebelum mengenal mereka berdua. Soal sang bunda, siapapun mungkin akan setuju bahwa ditinggalkan oleh ibu adalah luka paling dalam yang tidak bisa diobati oleh apapun. Merasa hilang arah, setelah lulus SMA, Kimber memilih masuk kuliah jurusan psikologi karena dia tertarik untuk mengerti hati manusia. Terutama karena Kimber kesulitan dalam mengekspresikan perasaannya sendiri.
Sebab sejak kematian sang bunda, kehangatan di rumah menghilang dalam sekejap. Suasananya mencekam, dan kadang Kimber sendiri kesulitan untuk keluar dari kecemasan dan ketakutannya sendiri. Namun, dia tahu bahwa bila dia tidak berusaha untuk keluar dari situasi itu sendiri tidak akan ada yang berubah. Meski memang raganya telah tiada tetapi hatinya masih hidup. Hubungan ibu dan anak tidak akan putus hanya karena kematian. Rasa hormat, kasih sayang, dan juga cinta. Dia juga mendapatkan hal itu dari Edzhar, pemuda yang ikut terseret dalam hubungan persahabatan mereka. Teman-temannya memang sangat menginspirasi hidup Kimber.
“Sudah sampai Nona.” Dan semua lamunan itu pun habis. Hingga dia tidak menyadari telah tiba di kampusnya. Sang supir membukakan pintu untuk sang nona, Kimber, mahasiswi jurusan psikologi yang mumpi pada bidangnya—setidaknya sekarang.
“Terima kasih ya, sekarang cepatlah pergi sebelum kau menambah antrian tamu hotel yang akan check in di penginapanmu itu,” ungkap Kimber sambil tertawa renyah.
Dia dan sang supir memang usianya tidak terpaut jauh. Sehingga Kimber dan sang supir kerap berinteraksi seperti ini bila diluar kediaman. Yang disinggung langsung menundukan kepalanya malu. “Setelah lulus dari bisnis perhotelan, aku benar-benar gugup akan hotel yang kubeli, Nona,” katanya terkesan sombong. Tetapi hanya cara itulah yang terpikirkan olehnya untuk menunjukan rasa terima kasihnya kepada keluarga kaya sang nona.
Ternyata benar kata Levin. Semua orang punya hati, jelas tidak perlu dipertanyakan lagi. Karena toh meski keluarganya terkesan kaku dan dingin, mereka punya cukup kerendahan hati untuk membantu seorang pemuda luntang lantung sampai dia sukses dan memiliki usaha sendiri. Lihat? Omong kosong sekali dulu Kimber berkata bahwa keluarganya tidak peduli padanya. Sebab faktanya saja supir di keluarganya saja diberi privilege sebesar itu.
“Semoga bisnismu semakin maju, Andrew.”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱