Masa lalu yang kelam mengubah hidup seorang ALETHA RACHELA menjadi seseorang yang berbanding terbalik dengan masa lalunya. Masalah yang selalu datang tanpa henti menimpa hidup nya, serta rahasia besar yang ia tutup tutup dari keluarganya, dan masalah percintaan yang tak seindah yang dia banyangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Demam
Sudah satu jam berlalu sejak bel pulang sekolah berbunyi, namun Aletha masih tertidur dengan nyenyaknya. Dafit yang sejak tadi setia menunggu di sisinya, tak tega membangunkannya. Namun kini, sekolah semakin sepi, dan mau tak mau ia harus membawa Aletha pulang.
"Sayangg, wake up, Let us go home." ucap Dafit lembut sambil menyingkirkan helaian rambut Aletha yang menutupi wajahnya.
Aletha mengerang pelan, matanya mulai terbuka setengah. "Hmm... masih ngantuk..." gumamnya dengan suara serak karena baru bangun.
Dafit tersenyum kecil, lalu menepuk pelan pipi Aletha. "Sekolah udah sepi, Tha. Kalau kita nggak pulang sekarang, nanti dikunciin di sini, lho."
Aletha membuka matanya lebih lebar dan langsung terduduk. "Hah? Udah bel pulang? Kenapa nggak bangunin aku dari tadi, Ka?" protesnya sambil merapikan rambutnya yang berantakan.
Dafit hanya mengangkat bahu santai. "Kamu kelihatan capek banget, jadi aku biarin tidur sebentar lagi. Tapi sekarang, ayo pulang."
Aletha menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah. "Maaf ya, aku ngerepotin terus."
Dafit mengacak rambut Aletha dengan gemas. "Nggak ada yang repot. Yang penting kamu sehat. Sekarang ayo, aku antar kamu pulang."
Tanpa menunggu jawaban, Dafit meraih tas Aletha dan menggandeng tangannya. Aletha hanya bisa mengikuti dengan langkah gontai, rasa kantuknya masih belum sepenuhnya hilang.
Ketika mereka keluar dari UKS, suasana sekolah memang sudah sepi. Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang masih sibuk bekerja. Aletha melirik Dafit yang tetap menggenggam tangannya erat, membuat pipinya merona.
"Ka, aku bisa jalan sendiri, kok," ucap Aletha dengan pelan.
Dafit menoleh, menatapnya dengan ekspresi serius. "Aku tahu kamu bisa, tapi aku nggak mau ngelepasin tangan kamu. Biar aku yang jagain."
Aletha tak bisa menahan senyum kecilnya. Meski sering terlihat cuek, Dafit selalu punya cara untuk menunjukkan perhatiannya. Dan meski ia enggan mengakuinya, ia merasa nyaman dengan perlakuan cowok itu.
"Terima kasih ya, Ka," gumam Aletha pelan, hampir seperti bisikan.
Dafit hanya tersenyum kecil, tanpa mengatakan apa-apa. Dia terus menggandeng tangan Aletha, sampai diparkiran, Dafit membukakan pintu mobil untuk aletha masuk.
"silakan masuk princess." ucap Dafit membuat pipi aletha merona dibuat olehnya.
Aletha mendengus pelan, mencoba menyembunyikan rona merah di pipinya. Namun, dia tetap masuk ke mobil tanpa berkata apa-apa. Dafit menutup pintu dengan lembut, lalu segera menuju sisi pengemudi.
Setelah memastikan Aletha nyaman di tempat duduknya, Dafit menyalakan mesin mobil dan mulai melajukan kendaraan. Sepanjang perjalanan, Aletha hanya diam, memandangi jalanan dari balik jendela sambil berusaha melawan rasa kantuknya yang masih tersisa.
Namun, suasana hening itu segera dipecahkan oleh suara Dafit. "Kamu beneran nggak apa-apa, Tha? Kalau masih pusing atau capek, bilang aja ya. Atau mau kerumah sakit dulu?."
Aletha menoleh, menatap Dafit yang fokus pada kemudi. Senyum kecil muncul di wajahnya. "Aku nggak apa-apa, Ka. Cuma... makasih ya. Kamu selalu ada buat aku."
Dafit meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. "Itu udah tugas aku. Kalau bukan aku yang jagain kamu, siapa lagi?"
Perkataan Dafit membuat Aletha terdiam sejenak. Ia merasakan kehangatan yang sulit dijelaskan. Cowok itu memang selalu ada di saat ia butuh, tanpa pernah mengeluh atau menghakimi.
Setelah beberapa menit, mobil mulai memasuki area perumahan Aletha. Dafit memelankan laju mobil, memastikan mereka tidak melewatkan rumah Aletha. Saat mereka tiba di depan pagar rumah, Dafit memarkir mobil dengan rapi dan mematikan mesin.
"Ayo, Tha. Sampai rumah, kamu harus istirahat yang cukup," ucap Dafit sambil membuka pintu mobil untuk Aletha.
Aletha keluar dengan sedikit enggan. Ia merasa masih ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Dafit. Namun, ia tahu tubuhnya memang butuh istirahat.
Dafit mengantar Aletha hingga ke pintu depan rumah. Sebelum mengetuk pintu, ia menatap Aletha dengan serius. "Tha, janji ya nggak telat makan lagi, jangan lupa juga sarapan walapun nggak sempet nanti bawa bekal untuk dimakan sebentar diperjalanan. Kalau capek, istirahat. Jangan sampai kamu sakit lagi."
Aletha tersenyum, menatap Dafit dengan mata berbinar. "Iya, Ka. Aku janji. Kamu juga jangan terlalu khawatir."
Dafit hanya mengangguk, lalu mengusap kepala Aletha dengan lembut. "Good girl. Sekarang masuk sana, istirahat yang banyak."
Setelah memastikan Aletha masuk ke dalam rumah, Dafit berbalik dan berjalan kembali ke mobilnya. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu mobil, suara Aletha menghentikannya.
"Angkasa!" panggil Aletha dengan suara agak keras.
Dafit menoleh, sedikit terkejut. "Kenapa, Tha?"
Aletha tersenyum malu-malu, namun tetap memberanikan diri. "Makasih ya... buat semuanya."
Dafit tersenyum hangat, lalu mengangkat tangannya untuk melambai singkat. "Selalu, Tha."
Ia masuk ke mobilnya, lalu melaju perlahan, meninggalkan rumah Aletha. Sementara itu, Aletha berdiri di depan pintu, masih memandangi mobil Dafit yang semakin menjauh. Hatinya dipenuhi rasa hangat yang sulit dijelaskan.
Aletha memasuki rumah dengan langkah lemas. "Bundaaaa" rengek aletha sedikit berteriak agar bunda nya mendengar.
"Iya sayang, bentar bunda didapur sayang." ucap Diana.
Aletha mendudukkan bokongnya diruang tamu, menyenderkan Kepala nya yang terasa pening dan dapat dia rasakan badannya sedikit hangat.
dengan langkah Santai diana datang dari arah dapur dan menghampiri anaknya. "Heii, kenapa sayang?." ucap diana khawatir melihat wajah anak nya pucat.
Aletha melihat Diana langsung memeluknya dengan erat dan terisak. " Hikss bunda badan aletha nggak enak banget." isak aletha.
Diana menyentuh kening anaknya yang ternyata hangat."aduhh badan kamu anget, ayo bunda anter kamu ke kamar." Diana membantu Aletha berdiri.
Diana menggandengnya dengan hati-hati menuju kamar. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran, apalagi melihat putrinya yang biasanya ceria kini tampak lemas dan tidak berdaya.
"Sayang, kamu tadi pagi lupa sarapan kan, disekolah juga pasti nggak sempet sarapan juga?" tanya Diana lembut sambil membaringkan Aletha di tempat tidur.
Aletha menggeleng pelan, meski tubuhnya terasa semakin berat. "maaf Bun...,"gumam nya, suaranya nyaris tidak terdengar.
Diana menarik selimut hingga menutupi tubuh Aletha, lalu mengelus rambutnya dengan penuh kasih. "Kamu istirahat dulu, ya. Bunda ambilkan air hangat sama obat. Nanti kita cek suhu badan kamu."
Aletha hanya mengangguk pelan, matanya mulai terpejam. Diana segera keluar dari kamar, mengambil termos berisi air hangat dan kotak obat dari lemari di ruang tamu. Tak lupa, ia membawa kain kecil untuk mengompres dahi Aletha.
Ketika kembali ke kamar, Diana melihat Aletha sudah hampir tertidur. Ia duduk di samping tempat tidur, mencelupkan kain ke dalam air hangat, lalu dengan lembut menempelkannya di dahi Aletha.
"Sayang, coba bangun sebentar ya. Minum air hangat dulu," ujar Diana lembut.
Aletha membuka mata dengan berat, tetapi tetap menurut. Diana membantu putrinya duduk dan menyodorkan segelas air hangat. Setelah meneguk beberapa kali, Aletha kembali berbaring.
"Bunda di sini aja, ya," pinta Aletha dengan suara serak. Ia menggenggam tangan Diana dengan erat.
Diana tersenyum kecil, menahan air mata. "Iya, Bunda di sini. Kamu tidur aja. Nanti kalau ada apa-apa, langsung bilang ke Bunda."
Aletha memejamkan mata, merasa tenang dengan kehadiran ibunya. Sementara itu, Diana terus mengawasi, memastikan putrinya benar-benar tertidur dengan nyaman.