Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Acara Lamaran yang Penuh Harapan
Pagi itu, rumah keluarga Harper diselimuti suasana sibuk namun hangat. Tamara, dengan apron bermotif bunga, berdiri di dapur sambil mempersiapkan makanan ringan untuk para tamu. Hawa, meskipun masih gugup, ikut membantu memotong sayur. Di meja lain, beberapa pelayan keluarga menata bunga-bunga segar yang dikirim oleh Harrison pagi tadi—mawar putih, bunga kesukaan Hawa.
“Hawa, coba lihat bunga ini,” ujar Tamara sambil tersenyum, menunjuk pada buket besar di tengah meja. “Harrison benar-benar tahu cara memanjakanmu. Dia memilih sendiri semua ini, lho.”
Hawa tersenyum kecil, pipinya memerah. “Mas Harrison memang selalu memperhatikan hal-hal kecil, Ma. Tapi aku tetap saja deg-degan.”
Tamara menatap putrinya dengan lembut, lalu menghentikan pekerjaannya untuk menggenggam tangan Hawa. “Sayang, nggak perlu khawatir. Mama tahu kamu gugup, tapi lihat bagaimana Harrison memperjuangkanmu. Dia lelaki yang benar-benar mencintai kamu apa adanya.”
Hawa hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia tahu Tamara benar. Namun, keraguan kecil masih menyelinap. Bukan karena Harrison, tetapi karena dirinya sendiri.
Sore hari, bunyi klakson mobil Harrison terdengar di depan rumah keluarga Harper. Hawa yang tengah duduk di ruang tamu langsung bangkit, mendekati jendela. Ia melihat Harrison keluar dari mobil, mengenakan setelan kasual elegan, diikuti oleh Emma yang berlari-lari kecil dengan gaun cantiknya. Di belakang mereka, keluarga Noah membawa kotak-kotak besar berisi hadiah.
Harrison masuk ke dalam rumah dengan senyuman lebar. Mata birunya langsung mencari Hawa. Begitu menemukannya, ia melangkah cepat dan menggenggam tangan Hawa erat.
“Sayang, kamu cantik sekali hari ini,” bisiknya dengan nada lembut.
Hawa terkikik kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Mas, ini baru lamaran, bukan pernikahan.”
“Lamaran ini awal dari segalanya, Hawa. Aku ingin semuanya sempurna, termasuk kamu,” jawab Harrison sambil menatapnya dalam-dalam.
Emma tiba-tiba menarik tangan Hawa. “Mama, lihat gaun aku! Om Harrison bilang aku jadi putri kecil malam ini. Aku cantik, kan?”
Hawa membungkuk untuk merapikan pita di rambut Emma. “Kamu bukan cuma cantik, sayang. Kamu yang paling cantik di sini.”
Sementara itu, Tamara mendekati Harrison, menepuk pundaknya dengan lembut. “Harrison, kamu siap untuk malam ini?”
Harrison mengangguk dengan penuh keyakinan. “Saya sudah siap sejak lama, Tante. Saya hanya ingin memastikan Hawa tahu betapa seriusnya saya.”
Saat malam tiba, tamu keluarga Noah mulai berdatangan. Harvey Noah terlihat gagah dengan jas hitamnya, berdiri tegak di ruang tamu keluarga Harper. Di sebelahnya, Anna Noah berbincang hangat dengan Tamara dan Dylan. Suasana penuh kehangatan, meskipun ada sedikit ketegangan di udara.
Harrison berdiri di tengah ruangan bersama Hawa. Ia menggenggam tangan Hawa erat-erat, memberikan rasa aman yang sangat dibutuhkan wanita itu.
Ketika semua orang sudah berkumpul, Harvey Noah memulai pembicaraan. Suaranya tegas namun penuh wibawa. “Dylan, Tamara, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih atas sambutan kalian. Hari ini, kami datang dengan satu tujuan—untuk meminta Hawa menjadi bagian dari keluarga kami secara resmi.”
Hawa menunduk malu, sementara Harrison menatapnya dengan senyuman kecil.
“Papa Dylan, Mama Tamara,” Harrison akhirnya angkat bicara, suaranya penuh emosi. “Saya tahu ini bukan hal mudah untuk kalian, menyerahkan putri kalian kepada orang lain. Tapi saya ingin meyakinkan kalian, Hawa adalah segalanya bagi saya. Saya berjanji akan menjaganya, mencintainya, dan membuatnya bahagia, seperti yang telah kalian lakukan selama ini.”
Tamara meneteskan air mata bahagia, sementara Dylan mengangguk, mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Harrison. “Kami percaya padamu, Harrison. Kami hanya ingin satu hal—bahagiakan Hawa dan Emma.”
Semua orang tersenyum bahagia, termasuk Hawa yang akhirnya menatap Harrison dengan mata berkaca-kaca.
“Hawa,” Harrison berlutut di hadapan semua orang, membuka sebuah kotak kecil yang berisi cincin berlian sederhana namun elegan. “Maukah kamu menikah denganku?”
Air mata jatuh di pipi Hawa. Suasana hening, semua mata tertuju padanya. Dengan suara pelan namun tegas, Hawa menjawab, “Iya, Mas. Aku mau.”
Ruangan langsung dipenuhi tepuk tangan dan tawa bahagia. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada ketegangan yang tidak terlihat. Harvey Noah menarik Harrison ke samping setelah acara usai.
“Harrison, aku dengar keluarga Bolton tidak tinggal diam. Mereka mungkin akan mencoba sesuatu dalam waktu dekat,” bisik Harvey dengan nada serius.
Harrison mengangguk pelan, menggenggam tangannya sendiri dengan kuat. “Aku akan mengurus mereka, Pi. Tidak ada yang boleh mengganggu kebahagiaan kami.”
Harrison memandang Hawa yang duduk di ruang keluarga bersama Tamara dan Emma. Gadis itu tampak lebih tenang sekarang, tetapi di balik senyumannya, Harrison tahu bahwa Hawa masih menyimpan kecemasan. Ia berjalan mendekat, lalu duduk di sampingnya.
“Hawa, mulai sekarang, aku nggak mau kamu merasa khawatir tentang apa pun,” ujar Harrison sambil menggenggam tangan Hawa dengan lembut. “Aku akan memastikan semuanya berjalan lancar. Kamu hanya perlu percaya sama aku, oke?”
Hawa menatap Harrison, matanya berbinar. “Aku percaya, Mas. Tapi, aku juga nggak bisa menahan rasa takut kalau-kalau ada sesuatu yang nggak berjalan sesuai rencana.”
Harrison tersenyum kecil, mengangkat tangan Hawa ke bibirnya dan mengecupnya lembut. “Jangan pikirkan yang buruk. Aku di sini, Hawa. Selalu.”
Namun, saat momen hangat itu berlangsung, ponsel Harrison bergetar di sakunya. Ia mengeluarkannya, dan wajahnya langsung berubah serius ketika melihat siapa yang menelepon.
“Maaf, aku harus angkat ini sebentar,” ujar Harrison sambil berdiri dan melangkah ke sudut ruangan.
Hawa mengamati punggung Harrison dengan rasa penasaran. Nada suaranya terdengar tegang ketika ia berbicara di telepon. “Iya, aku dengar. Mereka sudah mulai bergerak? Kapan? … Baiklah, aku akan mengurusnya.”
Harrison kembali setelah menutup telepon, tetapi ekspresi wajahnya tidak lagi sehangat tadi. Ia mencoba tersenyum pada Hawa, tetapi Hawa bisa melihat bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
“Mas, ada apa?” tanya Hawa dengan nada khawatir.
Harrison menggeleng pelan. “Nggak apa-apa, Sayang. Hanya urusan kantor.”
Hawa tidak yakin, tetapi ia memilih untuk tidak mendesak. Namun, Harrison tahu bahwa waktu mereka bersama mungkin akan segera terganggu oleh sesuatu yang lebih besar dari sekadar “urusan kantor.”
Di luar rumah keluarga Harper, sebuah mobil hitam berhenti tanpa suara. Seorang pria berpakaian rapi dengan wajah penuh ambisi menatap rumah itu dari kejauhan. Dengan senyum licik, ia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat: "Kita harus bergerak sebelum semuanya terlambat. Mereka tidak boleh bahagia begitu saja."
Berakhir dengan bayang-bayang ancaman yang mulai mendekat, meninggalkan pembaca dalam ketegangan. Siapakah pria itu? Apa rencananya? Akankah kebahagiaan Hawa dan Harrison terancam? Semua pertanyaan itu menggantung, memicu rasa penasaran yang mendalam.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.