Alya, gadis miskin yang baru saja menyelesaikan pendidikannya di salah satu universitas harus bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tertarik saat menerima tawaran menjadi seorang baby sister dengan gaji yang menurutnya cukup besar. Tapi hal yang tidak terduga, ternyata ia akan menjadi baby sister seorang anak 6 tahun dari CEO terkenal. kerumitan pun mulai terjadi saat sang CEO memberinya tawaran untuk menjadi pasangannya di depan publik. Bagaimanakah kisah cinta mereka? Apa kerumitan itu akan segera berlalu atau akan semakin rumit saat mantan istri sang CEO kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1, Si anak CEO
Alya duduk di sudut ruang tamu rumahnya yang sederhana. Tangannya sibuk menjahit baju sekolah adiknya yang robek, sementara pikirannya melayang jauh. Ia adalah lulusan perguruan tinggi yang penuh impian, tetapi kenyataan hidup memaksanya bekerja serabutan untuk membantu keluarganya. Ayahnya telah lama meninggal, dan ibunya hanya seorang penjual makanan ringan di pasar. Kehidupan mereka sederhana, kadang terlalu sederhana, hingga membuat Alya harus berjuang keras menghidupi mereka bertiga bersama adiknya yang masih sekolah.
Hari ini, salah seorang temannya mengiriminya pesan tentang lowongan kerja menjadi pengasuh anak. Meski bukan pekerjaan impiannya, Alya merasa pekerjaan ini lebih stabil dibandingkan pekerjaannya sekarang sebagai asisten toko dan guru les paruh waktu karena gaji yang dijanjikan lumayan besar. Ia berencana untuk mendaftar esok hari.
Sambil menjahit, Alya bergumam pada dirinya sendiri.
"Apa aku bisa melakukan pekerjaan ini?" ucapnya lirih, matanya sibuk mengamati pesan yang entah sudah berapa kali ia baca dan ia tutup kembali.
"Mengasuh anak mungkin tidak terlalu sulit, tapi bagaimana kalau aku tidak cocok dengan keluarga mereka?" Alya sebelumnya tidak pernah bekerja dengan menginap di tempat kerja seperti menjadi art atau baby sister.
"Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan?" gumam ya lagi sembari menghela nafas.
"Tapi aku harus mencobanya. Mana akh tahu kalau aku tidak mencobanya. Keluarga ini membutuhkan aku. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Gaji dari pekerjaan ini mungkin cukup untuk membantu bayar utang ibu dan biaya sekolah Nisa." lagi-lagi kebutuhan keluarga yang menjadi pertimbangannya. Ia tidak bisa mengabaikan hal itu, apalagi bulan depan ia sudah menunggak membayar hutang tiga kali, jika ia tidak bisa membayarnya bisa jadi rumahnya yang menjadi harta satu-satunya akan benar-benar di gadaikan oleh ibunya untuk melunasi hutang. Itu artinya sama dengan gali lubang tutup lubang dan tidak akan pernah selesai, mungkin malah akan semakin besar.
Matanya menatap kalender di dinding, memperhatikan tanggal yang ia lingkari merah—tanggal jatuh tempo uang sekolah adiknya.
"Ya Allah, kuatkan aku. Kalau ini jalanku, mudahkanlah segalanya. Aku hanya ingin melihat ibu dan Nisa bahagia. Mereka sudah terlalu banyak menderita." gumamnya lagi, bahkan uang sekolah Nisa juga belum terbayarkan satu semester ini, tanggal yang ia lingkari adalah hari dimana Nisa harus ujian dan biaya sekolahnya harus lunas.
***
Ketika malam tiba, Alya menyusul ibunya yang tengah sibuk di dapur. Ia berniat berbicara dengan ibunya. tampak sang ibu sedang mencuci piring bekas makan malam mereka, sementara Alya membantu merapikan meja.
"Ibu" panggilnya pelan.
"Hmmm, ada apa?" tanya sang ibu.
"Sebenarnya tadi Kia telpon Alya, katanya ia ada lowongan pekerjaan." ucap Alya sembari mengelap meja dengan kain kecil.
Sang ibu menghentikan pekerjaannya, ia menoleh pada Alya, "Bukannya kamu sudah kerja?"
Kemudian sang ibu teringat sesuatu, "Tadi kamu kelihatan sibuk di kamar. Ada apa, Nak? Ada masalah di tempat kerja?"
Alya segera menggeleng pelan, "Bukan, Bu. Tapi aku pikir tawaran ini cukup bagus, gajinya gede."
Ibunya semakin mengerutkan keningnya, "Jadi apa?"
"Jadi pengasuh anak, Bu. Kalau diterima, gajinya lumayan untuk bantu kebutuhan kita." jawab Alya dengan cepat, ia tahun ibunya mungkin tidak akan mudah setuju mengingat latar belakang pendidikannya.
Ibu kembali berhenti mencuci piring dan menatap Alya, "Pengasuh anak? Kamu yakin, Alya? Kamu kan sudah kuliah tinggi-tinggi. Masa harus kerja begitu?"
Alya tersenyum tipis, "Bu, Alya nggak masalah kok. Yang penting pekerjaan ini halal dan bisa bantu kita. Lagi pula, Alya belum dapat kerjaan sesuai jurusan. Daripada terus nunggu tanpa kepastian, lebih baik Alya coba ini dulu."
Ibu menarik napas panjang, "Ibu nggak bisa melarang, jika itu sudah menjadi keputusanmu, ya sudah kamu lakukan, tapi satu hal yang harus kamu ingat. Kamu juga berhak punya mimpi."
Alya mendekat dan mengambil tangan ibunya yang basah dan menggenggamnya, "Bu, keluarga ini adalah mimpi Alya. Kalau Alya bisa buat ibu sama Nisa bahagia, itu sudah lebih dari cukup. Doain Alya ya, semoga diterima besok."
Sang ibu tersenyum haru, "Ibu selalu doain kamu, Alya. Apa pun yang terbaik untukmu."
Ketika malam semakin larut, Alya duduk di kasurnya, menatap cermin kecil di sudut kamar. Ia berlatih bicara, mencoba menjawab pertanyaan yang mungkin ditanyakan oleh calon majikannya.
"Apa kelebihan saya? Saya sabar, suka anak-anak, dan saya cepat belajar... Apa alasan saya melamar? Karena saya ingin membantu keluarga saya, dan pekerjaan ini memberi peluang itu..."
Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, lalu mengangguk kecil.
"Besok adalah hari baru. Semoga semuanya berjalan lancar."
Esok hari, Alya bersiap dengan penuh semangat, berharap pekerjaan itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupnya.
****
Alya melangkah dengan hati berdebar memasuki gedung megah yang berada di pusat kota. Gedung yang menjulang tinggi dengan desain modern itu mengesankan, berbeda dengan tempat tinggalnya yang sederhana. Ia tertegun sejenak, merasa seolah berada di dunia yang berbeda. Kini ia tengah berdiri di depan gedung tinggi ini, langkahnya ragu saat menghampiri resepsionis. dengan menunjukkan surat rekomendasi yang diberikan temannya, petugas resepsionis pun mengantarnya ke depan sebuah ruangan.
"Silahkan tunggu di sini, nona. sebentar lagi sekretaris Dina akan segera menemui anda." ucap sang resepsionis.
"Terimakasih, ya mbak."
Setelah itu sang petugas resepsionis pun meninggalkan Alya di sana. Tidak berapa lagi pintu yang sedari Tati tertutup itu mulai terbuka, seorang sekretaris wanita berpakaian rapi menyambutnya dengan senyum hangat.
"Selamat datang, Nona Alya. CEO kami sudah menunggu. Silakan ikut saya."
Alya hanya bisa mengangguk dengan gugup, berusaha mengendalikan langkahnya yang terasa sedikit goyah. Sekretaris itu memimpin jalan, dan Alya mengikuti dengan langkah cepat namun hati yang berdebar.
Mereka berjalan menyusuri lorong yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan karya seni modern, menuju sebuah ruangan besar yang dikelilingi kaca. Di dalamnya, Alya bisa melihat sebuah meja kerja besar dengan beberapa komputer dan tumpukan berkas, serta kursi yang elegan.
Namun, sebelum ia bisa meresapi suasana tersebut lebih jauh, sekretaris itu menghadapinya dan berkata, "Sebelum bertemu CEO kami, izinkan saya menjelaskan sedikit mengenai posisi yang Anda lamar. Kami mencari seorang pengasuh untuk nona Tara, putri CEO kami, Aditya Wijaya. Dia baru berusia 6 tahun dan membutuhkan perhatian penuh."
"Enam tahun ya? Bukan hal yang sulit kan? Adikku juga masih berusia enam tahun ...," batin Alya
""Saya mengerti mbak, lalu tugas saya apa?" tanya Alya memberanikan diri.
"Tugas Anda nanti bukan hanya mengasuh nona Tara, tetapi juga membantu mengembangkan bakat dan kreativitasnya."
Alya menganggukan kepalanya mengerti, "Lalu apa saya harus tinggal di rumah tuan Aditya?" tanya Alya, mendengar penjelasan sekretaris Dina, sepertinya seperti itu.
"Tentu saja, Anda akan tinggal di kediaman nona Tara dan tuan Aditya , mengingat jam kerja yang fleksibel dan kebutuhan nona Tara yang mendalam akan pendampingan."
Alya menatap sekretaris itu, bingung. "Tunggu, Anda bilang saya akan mengasuh... anak CEO? Jadi ini bukan mengasuh anak anda, mbak?" tanya Alya baru ngeh sedati tadi bicara.
Sekretaris itu tersenyum. "Benar, Nona. Ini adalah pekerjaan yang spesial. Dan anda harus benar-benar hati-hati jika tuan Aditya menerima, anda."
"Ya ampun, dari yang aku kenal di media sosial tuan Aditya begitu dingin dan tegas, ia tidak menyukai kesalahan sekecil apapun, itu artinya aku akan datang ke kandang macam," batin Alya sembari menelan salivanya dengan susah payah.
"Bagaimana menurut anda, tuan Aditya itu?" tanya Alya memberanikan diri.
Sang sekretaris menoleh dan tersenyum tipis nyaris tidak terlihat, "Bagaimanapun sikap tuan Aditya tergantung bagaimana pekerjaan anda nanti nona, keputusan tetap di tangan nona Tara."
"Nona Tara? dari yang aku dengar, selama satu bulan ini sudah sepuluh kali nona Tara gonta-ganti pengasuh, bagaimana dia akan suka denganku." batin Alya khawatir.
Alya mengangguk dengan canggung. Hatinya semakin berdebar, dan tiba-tiba rasa gugupnya semakin meningkat. nona Tara? Putri tuan Aditya? Bagaimana kalau saya tidak cocok dengan anak itu? Bagaimana kalau saya tidak bisa menghadapinya?
Sambil menunggu di ruang tunggu, Alya duduk di kursi empuk yang nyaman. Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan besar di dinding, tetapi pikirannya melayang jauh.
"Bagaimana ini? Aku tidak menyangka sama sekali. Mengasuh anak seorang CEO? Ini bukan pekerjaan biasa. Aku kira ini hanya pekerjaan sederhana, tapi ternyata jauh lebih rumit dari itu. Apa aku bisa? Aku harus bisa. Ini kesempatan yang mungkin datang sekali seumur hidup, gajinya begitu menggiurkan. Aku ingin membantu keluarga, dan kalau aku diterima, mungkin aku bisa membantu Nisa dan ibu lebih banyak lagi."
Alya menatap tangannya yang masih gemetar. "Apapun nanti keputusannya, aku harus mencobanya kan."
Alya menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya
Tak lama setelah itu, pintu ruang CEO terbuka, dan seorang gadis kecil berlari masuk, diikuti oleh seorang pria yang mengenakan jas hitam rapi. Pria itu adalah Aditya Wijaya, CEO yang dimaksud.
"Kamu siapa?" tanya tuan Aditya begitu melihat Alya bersama sekretarisnya.
"Maaf tuan, ini nona Alya. Dia adalah ke seratus Minggu ini." ucap sang sekretaris memperkenalkan Alya.
Aditya pun duduk di kursinya, sedangkan Tara terlihat cuek dan memilih bermain dengan gadgetnya di sofa, sang sekretaris pun menunjukkan CV Alya pada tuan Aditya, dengan seksama tuan Aditya memeriksa CV itu,
"Jadi kamu lulusan S1, ekonomi?"
"Iya tuan." jawab Alya gugup. keberaniannya yang tadi ia pupuk sepertinya menguap begitu saja.
"Kenapa memilih pekerjaan ini?" tanyanya dingin bahkan tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
"Karena saya membutuhkannya, tuan."
"Apa kamu punya pengalaman menjaga anak-anak?" kali ini Aditya memicingkan matanya.
"Adik saya seumuran dengan nona Tara, tuan. Dan saya yang menjaganya selama ini."
Aditya pun berdiri, kemudian mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua tanganya menjadi sandaran agar lebih dekat dengan Alya yang sedati tadi menunduk, "Saya membutuhkan seseorang yang tidak hanya bisa menjaga Tara, tetapi juga bisa mendidiknya dengan cara yang penuh kasih. Tara adalah anak yang sangat cerdas, namun dia butuh sosok yang dapat membimbingnya dengan lembut. Apa kamu merasa siap untuk tugas yang cukup besar ini?"
Alya mencoba terdengar yakin, "Saya siap, tuan Aditya. Saya memang belum berpengalaman bekerja dengan anak-anak di lingkungan seperti ini, tapi saya percaya saya bisa belajar dengan cepat. Saya sudah banyak mengasuh anak-anak kecil di sekitar rumah, dan saya sangat suka bermain dan mengajarkan mereka hal-hal baru."
Aditya mengangguk perlahan, "Tapi sayangnya saya tidak butuh janji, kalau kamu benar-benar bisa, coba kamu mengobrol dengan Tara, jika cocok mungkin akan saya pertimbangkan."
"Baik tuan,"
Alya pun mendekat dan berjongkok di depan Tara, "Hai nona Tara, kenalkan aku Alya."
Tara hanya melirik sebentar kemudian kembali melanjutkan kesibukannya dengan layar gadget nya seolah-olah tidak peduli dengan keberadaan Alya.
Ya Allah,susah banget nih anak dideketin ...., gumam Alya dalam hati. Alya pun melirik gambar yang yang ada di layar gadget Tara, tampak Tara tengah sibuk menggambar, "Wow, gambar nona Tara bagus sekali, Nona! Kamu benar-benar berbakat."
Tara yang awalnya cuek pada Alya pun mulai berbicara pada Alya, "Aku mau jadi seniman besar suatu hari nanti!"
Alya tersenyum tipis, Berhasil, sedikit lagi ..., batinya. Tanpa sadar, ia mulai merasa lebih percaya diri. "Kalau kamu mau, aku bisa mengajarimu. Aku cukup berbakat menggambar animasi, aku pernah dapat juara menggambar animasi di kampus."
Bersambung
Happy reading