Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Di Terima
Andien menatap ruang makan mewah di kediaman Valerie dengan perasaan campur aduk. Ia mengeratkan genggamannya pada kalung milik Jesslyn yang kini tergantung di lehernya. Hari ini adalah hari pertama ia resmi diterima sebagai bagian dari keluarga Valerie. Tapi suasana di ruangan itu sangat dingin, membuat Andien merasa tidak nyaman.
"Pa, Ma, terima kasih telah mengijinkan aku tinggal di sini," kata Andien dengan suara lembut yang dibuat-buat.
Tuan Valerie menatapnya dingin dari kursinya. "Kau jangan merasa nyaman dulu, karena belum terbukti kau benar-benar putri kami atau bukan!!"
Andien mengepalkan tangannya. "Pa, aku akan membuktikan kalau aku pantas menjadi bagian dari keluarga ini. Karena m aku adalah Nona Valerie yang selama ini hilang,"
"Buktikan? Dengan apa? Hanya karena kau membawa kalung itu, kau pikir kami akan langsung percaya begitu saja?" sahut Jessica dengan tajam.
"Jessica, cukup. Beri dia kesempatan," ujar Nyonya Stevani, dia melirik Andien dengan senyum hangat.
"Tidak, Ma!" Jessica berdiri, suaranya semakin dingin. “Kalung itu tidak membuktikan apa-apa. Jika dia benar-benar putri keluarga ini, sebaiknya lakukan tes DNA.”
Jonathan yang sejak tadi diam, mengangguk setuju. "Aku setuju dengan, Jessica. Kita tidak bisa percaya hanya dengan benda mati. Banyak orang yang bisa memalsukan identitas."
Andien meremas tangannya di bawah meja, mencoba tetap tenang meski perasaan malu dan marah menguasai dirinya. "Aku tidak memalsukan apa pun. Kalung ini adalah milikku, dan aku yakin—"
"Kau yakin?"Jonathan memotong dingin. "Tapi sebagai putra tertua keluarga Valerie, aku sama sekali tidak merasakan memiliki ikatan apa pun denganmu."
Jessica menyeringai sinis. "Kau harus ingat satu hal, Andien. Tidak semua orang di sini akan menerimamu. Kalau kau benar-benar merasa bagian dari keluarga ini, buktikanlah."
"Jessica, Jonathan, berhenti bicara seperti itu," tegur Nyonya Stevani, dia mencoba menenangkan situasi. "Dia sudah cukup menderita. Sebaiknya kita beri dia waktu."
Andien menelan ludah, matanya menatap ke arah Nyonya Stevani dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Ma. Aku akan membuktikan jika aku pantas menjadi bagian dari keluarga ini."
Jessica berdiri dari kursinya, melirik Andien dengan tajam sebelum berbalik pergi. "Buktikan saja. Dan pastikan kau tidak mempermalukan nama keluarga Valerie."
Jonathan mengikuti adiknya tanpa sepatah kata, meninggalkan Andien yang mati-matian menahan diri agar tidak menangis. Tuan Valerie hanya menghela napas dan bangkit dari tempat duduknya. "Kita lihat saja sejauh mana kau bisa bertahan," katanya sebelum meninggalkan ruangan.
Andien menggigit bibirnya, mencoba menguatkan diri. "Aku akan membuat mereka menerima aku, Ma. Aku janji," ucapnya dengan penuh tekad pada Nyonya Stevani, yang tersenyum dan menggenggam tangannya.
"Aku percaya padamu, Andien. Tapi ingat, itu tidak akan mudah."
Andien mengangguk pelan, menatap ke arah pintu yang baru saja dilewati Jessica dan Jonathan. Dalam hatinya, ia bersumpah tidak akan membiarkan siapapun menghancurkan posisinya. "Aku akan bertahan. Bahkan jika itu berarti aku harus melawan kalian semua."
***
Neo tiba di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota. Salah satu temannya menghubunginya dan mengajaknya untuk bertemu. Dari kejauhan, dia melihat seorang lelaki tampan bertubuh tinggi melambaikan tangan padanya.
"Ada apa? Kau terlihat sangat kacau?" tanya Neo sambil duduk di sofa seberang pria itu, Jonathan.
Jonathan menghela napas. "Akhirnya Kami menemukannya. Tapi anehnya, aku dan Jessica tidak bisa merasakan ikatan apapun dengannya, padahal kami pernah tinggal dan tumbuh besar bersama."
Neo memicingkan matanya. "Maksudmu?"
"Adikku yang hilang, kembaran Jessica."
"Kalian sudah menemukannya?"
Jonathan mengangguk. "Ya, Mama menemukannya secara kebetulan. Hari ini dia dibawah pulang ke rumah, tapi rasanya... Sudahlah, aku tidak mau membahasnya."
Neo mendengus pelan. Dia menuangkan minuman ke dalam gelasnya dan menyesapnya perlahan. "Dimana Rui, apa kau tidak menghubunginya?"
"Dia sedang sibuk mengejar, Jessica, kau tau sendiri, kan? Bagaimana gencarnya dia dalam meluluhkan hati adikku." jawabnya.
Neo terkekeh. "Dia memang tidak pernah berubah."
Ponsel Neo tiba-tiba berdering. Nama Jesslyn menghiasi layar ponselnya yang menyala terang. Sudut bibirnya tertarik keatas membentuk lengkungan indah di wajah tampannya.
"Aku ada di Diamond Restaurant, datang saja ke sini. Aku akan menunggumu, see you." Neo memutuskan sambungan telfonnya, senyum masih tampak dibibirnya.
Jonathan memicingkan matanya. "Apa kau baru saja kesurupan?"
"Hm?"
"Rasanya sangat aneh melihat pria dingin sepertimu tersenyum, dan berbicara dengan begitu manis. Apa jangan-jangan rumor itu benar?" Jonathan menyelidiki.
"Rumor yang mana?" Neo pura-pura bingung, meskipun dia sendiri sudah tahu ke mana arah pembicaraan Jonathan.
"Jangan pura-pura, Neo!! Apa benar kau sudah menikah?" tanya Jonathan memastikan.
Neo mengangguk. "Ya, kedua wanita itu yang mencarikannya untukku. Awalnya mereka ingin memanfaatkannya, tapi sayangnya dia bukanlah gadis yang mudah ditindas apalagi dikendalikan. Dan itu yang membuatku tertarik padanya."
Jonathan terkekeh. "Akhirnya ada juga wanita yang bisa meluluhkan hati bongkahan es berjalan ini " katanya, dan Neo hanya memutar jengah matanya.
Cklekk..
Suara pintu dibuka mengalihkan perhatian mereka berdua. Jesslyn masuk ke dalam ruangan itu dan menghampiri Neo yang sedang tersenyum manis padanya. Dia mengulurkan tangannya pada Jesslyn, tanpa peringatan Neo mencium singkat bi-birnya.
Sontak Jesslyn mendorong Neo, hingga ciuman itu terlepas. Wajahnya memerah karena menahan malu. "Apa-apaan kau ini? bisa-bisanya kau mencium ku di depan orang lain! Kau ingin mempermalukanku?" ucapnya setengah berbisik.
Jonathan tidak mengalihkan perhatiannya dari Jesslyn, bukan karena tertarik padanya. Tapi mata dan tai lalat di pipinya mengingatkan dia pada adiknya yang hilang.
"Neo, sepertinya aku sudah menemukannya." ucap Jonathan tiba-tiba, dan mengalihkan perhatian keduanya.
Neo memicingkan matanya. "Maksudmu?"
"Adikku yang hilang. Istrimu ini, mengingatkan aku pada, pada adikku."
Neo terkejut. Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Jesslyn. "Kenapa begitu kebetulan? Jesslyn, pernah terpisah dengan keluarganya, dan kau mencari adikmu yang hilang. Dan hanya bisa dibuktikan dengan melakukan tes DNA." ujarnya.
Jesslyn terdiam. Dia mencoba mencerna apa yang baru saja Neo katakan. Lalu pandangannya bergulir pada Jonathan yang juga menatapnya.
BRAKK...
Tiba-tiba pintu ruangan itu dibuka dengan kasar. Dua orang masuk ke dalam ruangan VIP itu dengan ekspresi yang berbeda. Si gadis menghentikan langkahnya, lalu menunjuk lelaki yang berjalan dibelakangnya.
"Yakk!! Berhenti mengikuti ku, atau aku akan melemparkanmu ke Antartika!" seru gadis itu yang pastinya adalah Jesslyn.
Rui menghentikan langkahnya sambil mengangkat kedua tangannya. "Ayolah Jess, kau jangan seperti ini. Aku ini tulus ingin menjadi kekasihmu." katanya dengan nada memelas.
"Bodoh amat!!" katanya dan segera menoleh. Dan matanya langsung bertemu pandang dengan Jesslyn. Keduanya saling menatap dalam waktu yang lama. Jessica bergumam dengan lirih. "Akhirnya aku menemukanmu, kakak..."
***
Bersambung