Joko, seorang mahasiswa Filsafat, Vina adalah Mahasiswa Fisika yang lincah dan juga cerdas, tak sengaja menabrak Joko. Insiden kecil itu malah membuka jalan bagi mereka untuk terlibat dalam perdebatan sengit—Filsafat vs Sains—yang tak pernah berhenti. Vina menganggap pemikiran Joko terlalu abstrak, sementara Joko merasa fisika terlalu sederhana untuk dipahami. Meski selalu bertikai, kedekatan mereka perlahan tumbuh, dan konflik intelektual itu pun berujung pada pertanyaan yang lebih pribadi: Bisakah mereka jatuh cinta, meski dunia mereka sangat berbeda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta itu... Mengalir
Hari demi hari berlalu, dan pertemuan antara Joko dan Vina semakin sering. Mereka semakin sering berbicara, bukan hanya soal fisika dan filsafat, tetapi juga tentang hal-hal yang lebih personal. Setiap kali mereka bertemu, perasaan yang tak terungkap semakin menggelora. Namun, Joko masih merasa bingung dengan perasaan ini.
Pagi itu, Joko sedang duduk di kantin kampus, menikmati makan siangnya. Matanya sesekali melirik ke arah Vina yang sedang duduk bersama teman-temannya. Tidak ada yang istimewa, kecuali kenyataan bahwa setiap kali Joko melihat Vina, dia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat hatinya berdegup lebih cepat.
Tiba-tiba, Vina muncul di hadapannya dengan senyum lebar, membuat Joko sedikit terkejut. "Eh, Jok, bisa ngobrol bentar?"
Joko terdiam, sedikit ragu. "Apa lagi, Vin? Lo ada tugas fisika lagi?"
Vina tertawa. "Bukan, kok. Kali ini nggak ada fisika. Gue cuma mau nanya, lo pernah merasa kayak... ada yang hilang gitu nggak sih, Jok?"
Joko mengerutkan kening. “Hilang? Maksud lo gimana?”
Vina duduk di depan Joko, menatapnya dengan serius. “Iya, maksud gue gini. Lo pernah nggak sih, merasa kayak ada bagian dari diri lo yang hilang, tapi lo nggak tahu apa itu? Lo merasa lengkap, tapi juga nggak, kayak ada yang kurang.”
Joko diam, berusaha memahami apa yang Vina maksud. “Maksud lo... kayak lo merasa ada yang hilang, tapi lo nggak tahu apa?”
Vina mengangguk. “Iya. Kadang gue merasa kayak ada yang kosong. Seperti hidup gue ini kayak udah lengkap, tapi ada bagian yang hilang, entah itu apa. Gue nggak tahu, Jok. Mungkin gue cuma butuh jawaban. Atau mungkin gue cuma butuh seseorang untuk ngebantu gue nemuin jawabannya.”
Joko menatap Vina, mencoba mengerti. Sebenarnya, dia juga merasakan hal yang sama. Ada sesuatu yang berbeda dalam hidupnya sejak dia bertemu Vina. Rasanya seperti ada celah yang perlahan terisi, meskipun dia masih bingung apakah dia siap menghadapinya.
“Apa... lo merasa kayak gitu karena lo cari jawaban soal kita, Vin?” tanya Joko, suara agak ragu.
Vina menatap Joko, matanya seperti mencari-cari. “Mungkin. Gue merasa kita kayak... terhubung, Jok. Tapi gue nggak tahu kenapa. Gue nggak tahu apakah itu cuma perasaan gue doang atau lo juga merasa yang sama.”
Joko menarik napas panjang. Sesuatu yang ada di dadanya mulai menyesakkan. “Vin... gue juga merasa gitu. Ada yang beda, entah kenapa. Gue nggak ngerti ini cinta atau sekadar kebingungan antara fisika dan filsafat. Tapi yang jelas... gue nggak bisa pungkiri perasaan gue.”
Vina tersenyum lebar, senyuman yang hangat. "Lo serius, Jok?"
Joko mengangguk perlahan. "Iya, gue serius. Gue nggak tahu, Vin. Gue nggak tahu apakah kita terhubung karena fisika atau filsafat. Tapi gue merasa, kadang perasaan itu lebih dari sekadar logika, kan?"
Vina tertawa kecil, senyumnya makin lebar. “Mungkin kita cuma butuh waktu untuk memahami itu, Jok. Gue nggak mau buru-buru, tapi... kalau lo mau, gue siap.”
Joko merasa beban di dadanya sedikit terangkat. Perasaan bingung yang ia pendam selama ini mulai terasa lebih ringan. Mungkin, seperti yang Vina bilang, mereka hanya butuh waktu untuk saling memahami.
"Jadi," kata Joko pelan, "kita bisa coba nungguin waktu dan lihat ke mana perasaan ini bawa kita?"
Vina mengangguk mantap. "Iya, Jok. Kadang hidup itu lebih baik dijalanin dengan hati yang terbuka. Kalau kita berdua sama-sama merasa ini, kenapa nggak?"
Joko tersenyum, merasa lega. “Mungkin ini bukan fisika atau filsafat, Vin. Mungkin ini cuma soal perasaan yang berjalan seiring waktu.”
Vina melanjutkan, “Dan mungkin itu yang bikin kita saling terhubung, tanpa perlu ngerti semuanya.”
Joko merasa bahwa, meskipun perjalanan mereka penuh dengan keraguan dan pertanyaan, perasaan itu sudah cukup untuk membimbing mereka. Tidak perlu rumus atau teori yang rumit, hanya hati yang terbuka.
"Jadi, lo nggak akan nanya soal teori entanglement lagi, ya?" tanya Joko dengan senyum nakal.
Vina tertawa, menggeleng. “Sampai kita nemuin jawaban lain, Jok.”
Mereka duduk bersama di kantin, membiarkan waktu berjalan, menikmati kebersamaan yang sederhana, yang penuh dengan rasa saling mengerti, meskipun tanpa perlu menjelaskan segala hal. Perasaan itu cukup.
Hari-hari berlalu, dan meskipun perasaan mereka semakin dekat, Joko dan Vina masih merasa ada banyak hal yang perlu diselesaikan. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, tapi tetap saja, hubungan mereka tak pernah benar-benar didefinisikan. Joko masih bingung apakah ia benar-benar siap untuk membuka hatinya sepenuhnya, sementara Vina tampaknya lebih mantap dalam perasaannya.
Suatu hari, mereka bertemu di taman kampus setelah selesai kuliah. Vina duduk di bangku dekat pohon rindang, menunggu Joko datang. Joko tiba dengan sedikit terburu-buru, nampaknya memikirkan banyak hal.
"Lo kenapa, Jok?" Vina bertanya, langsung menatapnya dengan perhatian.
Joko menghela napas panjang. "Gue bingung, Vin. Semua ini kayak... terlalu cepat. Gue tahu lo serius sama perasaan lo, tapi gue nggak tahu apakah gue bisa ngikutin lo."
Vina tersenyum lembut. "Gue ngerti kok, Jok. Lo nggak perlu buru-buru. Gue cuma pengen lo tahu, gue ada di sini kalau lo siap. Gue nggak maksain apa-apa, kok."
Joko duduk di sebelah Vina, matanya menatap jauh ke depan. "Lo bilang lo ngerti, tapi gue merasa kayak nggak ngerti apa-apa soal perasaan ini. Gue selalu paham teori, rumus, logika. Tapi ini... ini beda."
Vina tertawa pelan, menyandarkan punggungnya ke bangku. "Gue ngerti kok, Jok. Gue nggak akan nanya tentang fisika atau filsafat, gue cuma pengen nanya satu hal."
Joko menoleh ke Vina, merasa sedikit khawatir. "Apa tuh?"
Vina menatapnya dengan serius. "Lo yakin nggak, Jok? Lo yakin perasaan lo ini bukan cuma rasa penasaran atau sekadar kebingungan? Gue tahu ini nggak gampang, tapi gue butuh jawabannya. Karena gue nggak mau jadi bagian dari kebingungan lo."
Joko terdiam, berusaha mencerna kata-kata Vina. "Gue nggak tahu, Vin. Mungkin... mungkin ini perasaan gue, tapi gue takut salah. Gue takut kalau gue jatuh ke dalam hal yang nggak bisa gue kontrol. Perasaan ini terasa terlalu... rumit."
Vina menghela napas. "Gue nggak akan ngeburu-buru lo, Jok. Gue cuma nggak mau lo menahan perasaan ini. Kalau lo ragu, ya nggak apa-apa. Kita masih bisa terus jadi teman. Tapi kalau lo merasa ada yang lebih, ya gue siap."
Joko menatapnya dalam-dalam, hati terasa berat. "Kenapa semuanya harus seribet ini, Vin?"
Vina tersenyum kecil. "Karena perasaan itu nggak bisa dijelaskan dengan rumus atau teori. Kadang kita harus jalanin aja, Jok. Nggak semuanya butuh logika."
Joko menggelengkan kepala. "Gue nggak tahu, Vin. Gue nggak ngerti gimana cara ngomongin ini. Tapi perasaan gue nggak bisa bohong."
Vina melirik Joko dengan lembut, seolah mengerti betul ketidakpastian yang ada di dalam dirinya. "Gue tahu kok, Jok. Kadang kita nggak perlu jawabannya. Kadang yang kita butuhin cuma waktu. Gue juga nggak tahu semua hal tentang lo, tapi gue merasa ada yang penting di sini. Dan gue mau terus mencari tahu itu."
Joko menunduk, menggigit bibir. "Gue takut banget, Vin. Takut kalau gue malah nyakitin lo."
Vina menggenggam tangan Joko, membuatnya terkejut. "Lo nggak perlu takut, Jok. Gue nggak mau lo mikir kalau ini beban buat lo. Kita nggak bisa kontrol perasaan, tapi kita bisa pilih untuk terus coba."
Joko menatap tangan Vina yang menggenggamnya. Perasaan yang selama ini ia coba hindari, kini mulai terasa lebih nyata. Ini bukan sekadar perdebatan filsafat atau fisika. Ini lebih dari itu.
"Lo bener juga," kata Joko pelan. "Mungkin gue cuma takut karena belum siap. Tapi gue mau coba, Vin."
Vina tersenyum, matanya berbinar. "Makasih, Jok. Nggak ada yang lebih gue harapin selain lo mau coba sama gue."
Joko merasakan hati yang sebelumnya penuh kebingungan mulai sedikit tenang. Mungkin ini memang bukan tentang rumus atau teori yang harus dipecahkan, tapi tentang mengambil langkah bersama, meski tanpa kepastian. Mereka bisa memulai dengan mencoba.
"Kalau gitu," kata Joko, mengerling nakal, "kapan kita mulai teori cinta versi kita?"
Vina tertawa, menggoda. "Nanti kalau kita ketemu lagi, Jok. Gue yakin kita bisa bikin teori sendiri."
Dan dengan itu, mereka pun melanjutkan hari mereka, bukan dengan jawaban yang sempurna, tapi dengan keyakinan bahwa mereka berdua sedang berjalan di jalur yang sama—jalur yang penuh dengan ketidakpastian, tapi juga penuh dengan perasaan yang tumbuh seiring waktu.