Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17. Asha dan semestanya
...Aku melangkah menuju dunia baru yang asing....
...Entah apa yang akan kulalui di depan nanti....
...Aku pun tak tahu akan berakhir seperti apa....
...(Kafka Acacio Narendra)...
Asha duduk santai di balkon kamarnya sambil sibuk membaca beberapa jurnal dan artikel melalui ipadnya, saat ini dia sedang membaca beberapa jurnal yang berkaitan dengan beberapa jurusan yang menjadi minatnya untuk melanjutkan kuliah. Meskipun dia sudah mendapatkan previllage sekolah bisnis di NUS, namun saat ini dia benar-benar mempertimbangkan apa yang sebenarnya ingin dia lakukan. Asha mulai mempersiapkan semua bahkan sejak dia masih awal menjadi siswa kelas dua belas, dia ingin benar-benar yakin
"Kakak ... kakak." Rion membuka pintu kamar Asha dan berlari menghambur memeluk kakaknya yang sedang duduk santai di balkon kamarnya.
"Ish ... ade kebiasaan suka banget ngagetin kakak," Asha meletakkan ipad di sampingnya kemudian menggemas-gemas pipi Rion dan balik memeluk Rion dengan gemas mengoyang-goyangkan tubuh kecil Rion.
"Aku mau ikut peluk-peluk," tanpa mereka sadari Cia sudah ada di balkon kamar Asha juga.
"Sini-sini kita berpelukan biar kayak teletubis," Asha terkekeh melihat Cia yang mencebik iri melihat aktivitas dua saudaranya.
"Kakak aku kegencet tau," Rion mengeluarkan satu tangannya mencoba melepaskan diri dari pelukan kakak-kakaknya.
"Mereka cepat sekali besarnya ya, sayang?" Malvin merangkulkan tangannya ke pundak istrinya.
"Eumm ... putri sulungmu sebentar lagi jadi incaran banyak pria," Hati Malvin mencelos mendengar perkataan Maira, rasanya masih belum siap jika harus melepaskan Asha untuk pria lain.
"Humairaku, aku belum rela melepasnya. Tapi jika saat itu tiba akan ku pastikan sendiri dia mendapatkan yang terbaik." Malvin mengecup kening istrinya
"Kafka maksudnya, sayang?" Maira merangkulkan ke dua tangannya memeluk pinggang Malvin dan mereka berdua tersenyum bersama.
Malvin dan Maira berjalan menuju balkon tempat anak-anak mereka sedang bercanda. Mereka berdua ikut larut dalam canda tawa bersama, Malvin memang seorang pebisnis dengan kesibukan yang luar biasa. Perusahaannya IT nya berkembang pesat tidak hanya di Indonesia tapi juga sudah meluas sampai luar negeri, wajar baginya jika sering bepergian memastikan perusahaannya dalam kondisi stabil.
Meskipun sibuk dia selalu mengusahakan untuk ada dalam setiap moment penting anak-anaknya, Maira adalah peran penting dalam hidup Malvin. Dia akan selalu mengingatkan suaminya semua jadwal yang harus di hadiri Malvin untuk moment penting anak-anaknya. Teman hidup yang sangat Malvin syukuri kehadirannya, setiap hal tentang anak-anak mereka tak pernah luput dari pengetahuan Malvin karena istrinya selalu menceritakan setiap detail kembang tumbuh anak-anak mereka terutama Asha yang kini sedang berada pada tahap remaja menuju dewasa.
"Asha sayang, kakak gak mau ngantar kak Kafka berangkat?" Maira mengingatkan putri sulungnya.
"Takut nanti diusir kak Kafka. Dia gak minta diantar ke Asha," Maira menyenggol lengan suaminya sambil tersenyum. Memberikan kode pada Malvin, takut kalau nanti putrinya itu menyesal.
"Ah yang benar? Paling nanti kakak nangis, Kafka di sana bisa empat tahun lebih gak pulang lho kak," Malvin melihat gurat keraguan pada putrinya. Asha seolah tampak bimbang antara pergi atau tidak mengantar kafka.
"Ayaah ih, kakak gak nagis ya. Cuma tantrum aja nanti," Asha memeluk ayahnya yang di sambut dengan tawa renyah ayah dan bundanya. Tingkah ke tiga anak mereka memang kadang sulit di tebak, terlebih si bungsu Rion.
"Sana mandi sayang! Masih ada waktu sebelum kak Kafka naik pesawat," Malvin mengusak lembut rambut putrinya yang berlalu menuju kamar mandi.
"Yuk semua turun, bunda sudah bikin es krim tiramisu. Siapa yang mau hayo angkat tangan?"
"Aku .. aku," Rion dan Cia saling bersautan, bergegas keluar dari kamar kakaknya menuju lantai satu diikuti Malvin juga Maira.
Asha sudah siap dengan setelan hodie hitam di padu padan celana dan hijab dengan warna senada tak lupa dia menggunakan topi dengan warna senada pula. Dia turun menuju lantai satu yang di sana sudah ada kedua orang tuanya juga Cia dan Rion. Asha berpamitan pada kedua orang tuanya, seperti biasa dia salim dan mencium tangan kedua orang tuanya. Tak lupa memeluk Cia dan Rion bergantian sebelum pergi.
"Ayah bunda, Asha pamit dulu. Mau ngejar calon imam, assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam," mereka serempak menjawab salam Asha.
"Hati-hati sayang, bilang pak Maman jangan ngebut."
"Siap Ayah." Asha berjalan menuju mobil yang sudah siap mengantarnya ke bandara.
"Ayah, anaknya tuh. Mirip siapa sebenarnya dia," Malvin menggaruk tengkuknya yang tak gatal mendengar Maira protes padanya karena tingkah Asha.
...***...
Kafka sudah siap dengan semua koper-kopernya, Tiara sudah mulai salty membayangkan putra sulungnya akan tinggal jauh dari mereka selama beberapa tahun.
"Ma, Kafka ke california kan mau kuliah. Jangan di tangisi dong sayang," Keenan mengusap lembut tangan Tiara yang dari semalam sudah terlihat sedih membayangkan putranya akan tinggal jauh dari mereka.
"Mama kan belum pernah pisah jauh sama anak-anak pa, Kafka di sana gak cuma setahun." Tiara mengusap air matanya yang sudah mulai merembes jatuh.
"Mama cup ... cup, kan masih ada ade. Naren temani mama sampai kakak nanti pulang," Naren memeluk mamanya yang berusaha menahan tangis namun tetap tak bisa.
"Ma, Kafka janji kalau ada waktu luang pasti pulang ke Jakarta." Tiara memeluk erat putranya.
"Sudah-sudah, ayo berangkat. Takut nanti kakak ketinggalan pesawat," Keenan masuk ke mobil di susul yang lainnya.
Mereka sudah sampai bandara dan Kafka berangkat tiga puluh menit lagi, mereka semua sudah ada di gate keberangkatan. Kafka mengedarkan padangannya ke sekeliling, seolah berharap kedatangan seseorang sebelum dia benar-benar masuk. Tiara sebenarnya tahu apa yang sedang Kafka tunggu, namun dia hanya diam. Sebelumnya sudah diingatkannya putra sulungnya itu, Kafka terlalu gengsi hanya untuk berpamitan dengan Asha. Dia seolah tidak perlu berpamitan dengan Asha, tidak penting juga katanya. Tapi Tiara tahu saat ini dia sedang menunggu Asha.
"Kaf cepat masuk sana, itu sudah dipanggil." Petugas bandara memang sudah memanggil penumpang untuk segera masuk, Kafka menggunakan maskapai Garuda dengan rute penerbangan langsung dari Bandara Soekarno-Hatta (CGK) menuju Bandara Internasional San Francisco (SFO) selama kurang lebih 17-18 jam tergantung kondisi cuaca.
"Iya pa, sebentar," Kafka mulai resah karena sudah harus segera masuk, tapi enggan beranjak pergi seolah sedang menantikan seseorang.
"Sudah mama bilang, makanya pamit dulu sama Asha. Sekarang anaknya gak datang malah nyari kan?" Tiara sudah tak menangis lagi karena melihat tingkah putranya yang gengsinya setinggi langit itu berharap Asha datang, namun tak mau mengakui.
"Kakak gak nyari in Asha, mama aja yang sok tau," Kafka mencebik.
"Tuh pa, gengsi aja terus di gedein. Baru tahu rasa nanti kalau Asha nikah sama orang lain," Keenan terkekeh mendengar istrinya menggoda putra sulungnya itu.
Kafka akhirnya masuk setelah untuk terakhir kalinya kembali berpelukan dengan ke dua orang tuanya dan juga Naren. Dia melambaikan tangan pada mereka, ada rasa enggan melangkah masuk pergi menuju dunia barunya nanti. Dia menoleh sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar menghilang masuk menuju pesawat, Kafka melihat sosok yang dia kenal bersembunyi di balik lorong yang ada tak jauh dari tempatnya saat ini.
"Dasar cegil." Kafka melangkah masuk menuju pesawat dengan senyuman tipis yang tentunya tak terlihat oleh Asha.
"Selamat menuju dunia baru kak. Tunggu sebentar lagi, aku pastikan kakak menepati ucapan kakak waktu itu."
Asha memang sampai di bandara, sebelumnya Tiara sudah memberitahu Maira Kafka ada di terminal keberangkatan berapa. Asha hanya melihat Kafka dari lorong yang tidak jauh dari Kafka dan keluarganya berada. Dia tidak berani mendekat, nyalinya menciut takut akan luluh lantah di hadapan Kafka. Selain itu dia juga takut akan membuat Kafka tidak nyaman, melihat selama ini Kafka selalu bersikap dingin terhadapnya seolah menunjukkan ketidak sukaannya terhadap Asha.
Perkuliahan Kafka sebenarnya baru akan di mulai bulan September, tapi sebulan sebelumnya dia sudah harus berangkat untuk mempersiapkan tempat tinggalnya dan mulai beradaptasi dengan lingkungan serta cuaca yang berbeda dengan di Jakarta. Tanpa Kafka ketahui Asha menitipkan hodie tebal berwarna biru pada Tiara untuk Kafka dan melarang Tiara untuk bilang kalau itu pemberiannya.