Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SETUJU
Marsha bergeming, mendengar Villa Bella pikirannya langsung tertuju pada Reno. Ia berpikir sesaat, kebetulan ini tidak ada salahnya kan untuk memperbaiki hubungannya dengan Reno kembali sebagai... sepupu? Yakin sebagai sepupu??
'Ya perasaan sebagai saudara saja.' tegas Marsha dalam hati. Walau hatinya sungguh berat, tapi pikirannya berusaha untuk tahu diri. Ia tidak berani untuk bermain api─untuk saat ini, mungkin. Ada rencana main api berarti, hm. Dia mulai tidak yakin dengan dirinya sendiri, ini soal perasaan apa segampang itu ia bisa menyingkirkan perasaan yang sudah mengakar selama bertahun-tahun.
Marsha menegak habis minumannya, lalu melirik jam berantai kecil dipergelangan tangannya, sudah lewat sepuluh menit dari biasanya.
"Oke, Marsha nggak masalah soal pindah rumah."
lalu melirik sinis Alan yang disambut dengan senyuman hangatnya. Wanita lain yang melihat mungkin akan terpesona dengan senyuman Alan, namun hati Marsha yang sudah dipenuhi kebencian terhadap pria didepannya ini melihat itu adalah hal yang menyebalkan, apalagi ia tahu itu hanya akting belaka. Palsu.
"Marsha udah telat ini, Ma, Pa."
Marsha pun bergerak meninggalkan ruang makan sebelumnya menciumi punggung tangan Harris dan Nadia secara bergantian. Kini Alan yang kaget, ia baru saja memulai sarapannya harus mengejar Marsha yang sudah berjalan keluar.
"Sha, Alan belum selesai." tegur Nadia tapi Marsha sudah berjalan menjauh, tidak peduli. Harris hanya bisa menghela napas berat melihat tingkah anaknya.
"Nggak apa-apa Ma, saya bisa lanjut sarapan di sekolah nanti." ucap Alan sembari pamit pada kedua mertuanya dan menyusul Marsha keluar.
"Terima kasih, Bi." Marsha mengambil bungkusan plastik sarapan dari ARTnya, Alan yang baru keluar hanya diam melihatnya.
"Pagi Mbak Marsha," Marsha langsung menoleh suara yang sudah lama tidak dia dengar, tidak asing di telinganya.
"Eh mbak Lora, mau ketemu Papa?" Marsha sedikit kaget kehadiran Lora, asisten Hana di kantor yang datang kerumahnya sepagi ini.
"Iya Mbak, Ibu tadi minta saya antarkan berkas yang mau di bawa Bapak keluar kota." Lora memberi tahu maksud kedatangannya dengan ramah dan sopan, tapi matanya tidak bisa berhenti mencuri pandang kebelakang Marsha yang tidak disadari oleh Marsha.
"Masuk aja Mbak, Papa masih di dalam kok." balas Marsha tidak kalah ramah.
Lora berjalan melewati Marsha, lalu tersenyum mengangguk pada Alan, tersirat matanya penuh tanya atas keberadaan Alan dirumah Marsha. Alan hanya diam tanpa ekspresi.
"Pagi Non, Den." sapa Basuki, supir senior dirumahnya.
Marsha menoleh malas ketika Basuki juga menyapa Alan, "Mau ngapain sih?"
"Saya mau pergi kerja, sekalian antar kamu." jawab Alan seraya mengusap lembut puncak kepala Marsha sambil membukakan pintu penumpang untuk Marsha. "Ayo sayang." ucapnya lagi yang langsung disambut dengan tatapan sinis Marsha, ia tahu ini hanya akting Alan.
Marsha menurut, ia juga tidak ingin berdebat disaat genting seperti ini. Sekolah adalah hal utama untuknya saat ini, ia tidak boleh terlambat atau membuat mood-nya jelek yang berakibat tidak fokus pada pelajarannya nanti. Kebiasaannya mencintai rutinitas sekolah membuat Marsha sampai lupa tekadnya untuk bertingkah saat kembali bersekolah.
Gerak-gerik Marsha dan Alan, semua kejadian itu tampak jelas dimata Lora yang masih bertanya-tanya.
"Inhale, exhale." Marsha mengucapkan selamat
sambil mempraktekkannya. Matanya terpejam, ia mengakhiri aktivitasnya begitu pintu pengemudi terbuka dan melihat Alan masuk.
"Seat belt!" ucap Alan mengingatkan dengan nada yang sudah kembali seperti biasa jika saat mereka berdua. Dingin tanpa ekspresi.
~
"Kok tahu sih sekolah saya disini, Om?" tanya Marsha heran, padahal dari tadi ia sudah menunggu-nunggu Alan menanyakan dimana sekolahnya, bermaksud ingin mengerjainya, eh malah tahu sendiri.
"Sekarang saya suami kamu dan akan bertanggung jawab atas diri kamu, jadi semua tentang kamu saya harus tahu, paham." Marsha hanya diam, ia mencoba mencerna ucapan Alan.
"Terus?" tanya Marsha, kini ia mengangkat kedua alisnya. Berpura-pura tidak peduli dengan apapun yang Alan ucapkan barusan.
Alan hanya melirik sebentar dengan bingung lalu kembali fokus pada setirnya dan membelokkan mobil yang mereka naiki masuk ke gerbang sekolah membuat Marsha terhenyak.
"Ngapain masuk segala sih Om?" ia melihat mobil Alan sudah terparkir dimana dan membuatnya semakin kesal. "Ini parkiran khusus guru, Om. Baca dong plangnya sebesar itu masa nggak kelihatan." sungut Marsha.
"Justru karena saya baca makanya disini." Alan melepaskan seat belt-nya dan bersiap turun. “Kamu bisa stop panggil saya Om? Saya risih dengarnya.” Ucapnya kemudian dengan kesal. Marsha hanya melengos tidak peduli.
"Kamu kenapa sih datang sepagi ini? Lihat tu sepi, mungkin kamu murid yang pertama datang." keluh Alan mengedarkan pandangannya, ia masih ingin menikmati kopi sebenarnya.
"Udah biasa." jawab Marsha cuek sambil turun dari mobilnya.
Alan hanya diam sesaat, udah biasa? Tiap hari dia akan datang sepagi ini? Alan memijit pelipisnya, lalu turun dari mobil dan mendapati Marsha sedang kembali dari pos security sekolah, berjalan kearahnya dengan wajah gusar.
"Ngapain masih disini sih, Om. Sana pergi." usir Marsha. Ia pun berjalan meninggalkan Alan menuju kelasnya untuk meletakkan tasnya dan kembali bersemedi di perpustakaan seperti biasanya. Tuh kan lupa dia katanya mau bertingkah, masih aja rajin.
~