Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggung Resikonya Sendiri
Kata Vincent, dia sendiri akan mengantarkan Brie pulang, akan tetapi hingga lewat 2 jam lamanya pria itu tidak juga muncul. Pengasuh Brie sudah bertanya pada perawat dan katanya Vincent belum keluar dari ruang operasi.
"Papa pasti sibuk, Suster." Brie memang selalu pengertian dan jarang merengek. Anak ini begitu mandiri meski usianya baru 6 tahun.
Suster yang disebut oleh Brie itu tersenyum, kemudian mengajak Brie membaca buku cerita.
"Brie anak baik." Maria mengusap rambut Brie yang tidak lagi sebanyak dulu saat dia pertama kali mengasuhnya. Penyakit itu merongrong gadis ini dari dalam.
Brie yang sudah terbiasa disebut begitu tidak memberi respons berarti selain sebuah senyum lemah, sebelum membuka buku dan perlahan membacanya.
Saat yang sama, pintu ruangan terbuka, menampakkan sosok Egi yang ceria dengan sebuah buket bunga lili.
"Hai, Brie! Selamat ya, kamu udah sembuh dan bisa pulang."
Brie melempar bukunya, lalu berusaha turun untuk menyambut Egi. "Kakak Pasien Papa!"
Egi terkikik mendengarnya saat menyambut Brie ke pelukan.
"Virgi, aku titip Brie sebentar ya, kebetulan aku akan beli sesuatu." Maria lega melihat kedatangan Egi. Ini sangat urgent.
"Baik Kak," jawab Egi santai. "Brie aman bersamaku."
Maria segera melesat meninggalkan mereka berdua dan menuju supermarket terdekat.
Menyisakan dua anak-anak di dalam ruangan, keduanya duduk diatas ranjang, lalu ngobrol banyak tentang sakit Brie dan sakit Egi.
"Senang bertemu teman yang juga sakit, meski sakit Kakak hanya terjadi pas salah minum obat saja." Brie menerima buket bunga itu dan menciumnya.
Mendengar itu, Egi menjadi sangat merasa bersalah. Apalagi Brie tidak ditemani ibunya.
"Brie ...." Egi menaikkan Brie ke pangkuannya. "Maafkan Kakak yang udah bikin Mama kamu ninggalin kamu pas sakit, ya."
Brie menatap Egi lama. Pikiran anak ini rumit. Namun setelah sedikit paham, ia mengangguk.
"Aku udah terbiasa sama Papa saja dan beberapa orang asing yang ganti-ganti merawat aku."
Egi mencium rambut Brie. Begini saja dia sudah mellow parah. Egi yang sudah besar ketika ibunya meninggal usai melahirkan El, merasakan dunianya hancur dan gelap. Ini Brie yang masih kecil, bagaimana dia terlihat tidak begitu peduli soal mamanya? Padahal mereka berdua terlihat dekat.
Lana ditahan sampai pelaku penabrak El yang saat ini buron tertangkap. Egi tidak terlalu paham kenapa bisa seperti itu. Kemarin kuasa hukum Vincent bilang, Lana akan susah dibebaskan meski sudah mau bekerjasama dengan polisi. Ada indikasi Lana berbohong jika dia tidak berada dalam mobil waktu itu.
"Suster Maria dan perawat, lalu ada Oma sebelum Oma juga pergi ke surga."
Egi mendapatkan lagi kesadarannya mendengar ini. "Oma?"
"Ya, Oma itu mamanya Papa. Lalu Mama juga akhirnya pulang setelah sekolah di luar negeri, jadi ada Mama atau tidak, sama saja, kan? Mama itu sekolah lagi! Kata Papa Mama itu suka berpetualang, mungkin sekarang Mama ingin belajar sihir di—"
Ucapan Brie terpotong oleh batuk Egi.
"Kakak Pasien salah minum obat lagi, kah?" Brie dengan lembut menepuk dada Egi. "Haruskah aku telpon Papa?"
Egi menggeleng. Tadi dia keselek ludah saat menahan tawa. Astaga, Vincent berkata seperti itu ke anaknya? Jadi selama ini dia salah menduga soal kepergian Lana. Dia pikir Lana itu kuliah di luar negeri demi mendapat gelar atau sekolah demi menyembuhkan Brie.
Tapi ternyata itu hanya akal-akalan Vincent semata.
"Apa Kakak menertawakan Mama yang akan pergi ke sekolah sihir? Kata Mama nanti sihir yang akan menyembuhkan Brie! Kakak nanti juga bisa Mama sembuhkan dengan sihir. Jadi kita berdua tidak sakit-sakit lagi."
Egi spontan menghentikan batuknya. Beginikah cara Lana menghibur anaknya saat dia akan pergi? Tapi Egi enggan membunuh asa Brie jadi dia dengan murah hati mencium Brie gemas.
"Oke, nanti kita gantian ya, Brie sembuh, Kakak juga sembuh." Keduanya berpelukan dengan tawa bahagia.
...
Selagi menunggu Vincent, Egi bermain permainan ringan di ranjang. Hampir setengah jam lagi berlalu, Maria juga bolak balik menanyakan pada perawat kapan Vincent selesai, tetapi tetap saja jawaban yang sama dia dapat.
Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk pulang tanpa Vincent, Egi akan mengantarkan.
Namun saat mereka bertiga bersiap, seorang wanita tua berpenampilan elegan masuk dengan seorang pria.
"Nenek?!"
"Oh, Brie!" Wanita itu usai menatap satu persatu penghuni ruangan, akhirnya tersenyum ke arah Brie. "Sayang, Nenek akan bawa Brie pulang."
"Baik, Nek."
Egi langsung bisa menduga itu ibu dari Lana. Sekilas mereka mirip.
Tanpa memikirkan apapun, Egi mengambil tas dan membantu Brie turun. Namun ketika akan melangkah mengikuti Brie, wanita tua itu mengatakan sesuatu yang membuat Egi terpaku cukup lama.
"Brie, pulang cukup sama Nenek dan Sus saja, ya! Nanti Mama marah loh kalau Brie tidak nurut sama Mama."
Brie menoleh ke arah Egi yang terdiam. Ia merasa berat berpisah dengan Egi. "Kak Egi, aku pulang dulu, ya!"
Mata Egi terasa panas. Nada suara Brie sudah cukup membuatnya mengerti kalau Brie tidak punya pilihan.
Egi berjongkok, mengusap pipi Brie lembut. "Iya, Sayang. Nanti Kakak Pasien Papa akan jenguk Brie."
Brie tersenyum. "Semoga adiknya Kakak cepet sembuh, biar Kak Egi nggak sedih lagi."
Dipeluknya wanita itu erat. Begini saja, Egi sudah terharu. Meski baru beberapa hari mengenal, mereka rasanya sangat dekat seperti sudah lama saling kenal.
"Brie, ayo cepat!" Dengan gerakan yang tidak kentara sedang memisahkan pelukan mereka, Nenek Brie menarik Brie dan memeluknya. "Pak tolong gendong cucu saya ke mobil, ya! Dia sakit dan harus jauh-jauh dari kotoran!"
Tatapan Nenek Brie tertuju pada Egi saat mengatakan itu. Namun Egi tidak merespons berlebihan walau ia tahu kata-kata itu tertuju untuknya.
"Lagipula tidak baik Brie terlalu dekat dengan orang-orang yang suka mengganggu keluarga orang lain!" Nenek Brie melangkah ke pintu. "Nanti bisa nularin!"
Egi hampir saja menangis jika tidak melihat Vincent masuk dan memberi Neneknya Brie tatapan yang sangat dingin. Itu merupakan peringatan awal agar tidak bicara sembarangan.
"Ah, Vincent—" Nenek sudah siap merayu Vincent dengan sikap lembutnya. Namun Vincent justru mengabaikan mertuanya dan menuju Egi.
"Brie ingin kamu mengantarnya pulang!" Vincent dengan tegas menarik tangan Egi agar berjalan bersamanya. "Berikan Brie pada saya, Pak!"
Sopir neneknya Brie memberikan Brie kepada Vincent dan langsung menggendongnya, sebelah tangannya yang lain membawa Egi yang sepertinya mengalami serangan kutukan. Tubuhnya kaku dan hanya mampu ikut apa kata Vincent.
Sesampainya di mobil, usai mendudukkan Brie dan menyuruh Egi duduk di sebelah kursi kemudi, Vincent menghardik ibu mertuanya yang ingin masuk dan satu mobil dengan Brie.
"Ibu pergilah dengan sopir ibu sendiri."
"Tapi Vincent, Ibu merindukan Brie!" bantah Neneknya Brie.
"Kalau begitu, Ibu harus siap dengan semua resiko yang ada."
Nenek Brie mengabaikan semuanya, lalu mengusir perawat Brie dan duduk dengan tenang.
Vincent pun segera masuk dan melajukan mobil meninggalkan rumah sakit.
Sepanjang jalan menuju rumah, Vincent menggenggam tangan Egi erat-erat. Ia sungguh ingin ibu Lana melihat betapa tidak pedulinya Vincent pada Lana. Vincent ingin menunjukkan bahwa perasaannya pada Lana sudah lama musnah.
Ibu Lana hanya bisa menahan geram saat dengan tidak ada rasa sungkan di tubuh Vincent.
"Pantas Lana susah kembali pada Vincent lagi!"