"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Sepulang sekolah hari ini aku langsung menuju rumah nenek Arzio. Niatku adalah untuk pergi bersama dengannya naik angkutan umum, namun dia pulang lebih dulu.
Aku berjalan mulai dari simpang menuju Bioskop sebab angkutan umum tidak melewati jalan ini. Sesampainya di depan Bioskop, aku melihat ada beberapa pria berkumpul di sebelah warung.
"Lo boongin kita lagi?!" teriak salah satu dari mereka yang terdengar olehku.
Semakin aku melangkah, semakin aku tahu bahwa mereka sedang memukuli seseorang. Saat aku sampai di depan pagar, terlihat jelas bahwa pria yang mereka pukuli adalah Arzio.
"Arzio!" teriakku menyebrang dan hampir ditabrak pengendara bermotor, untungnya pengendara itu tidak ngebut dan sempat menarik tuas rem. "Maaf," ucapku padanya dan kembali berlari.
"Arzio!" ucapku panik melihat banyak darah di wajahnya. "ADA MASALAH APA LO SAMA ARZIO?!" teriakku pada pria yang memukulinya.
"Ini pelajaran buat dia soalnya udah keseringan boongin kita," jawabnya.
"BOONG SOAL APA?! TERUS KALO DIA BOONGIN LO, LO BERHAK BUAT MUKULIN DIA?!"
"Bukan urusan lo!" bentak pria itu.
"SEMUA URUSANNYA ARZIO JADI URUSAN GUE SEKARANG! BERANI LO MUKULIN ANAK ORANG KAYAK GINI, LO GA DIAJARIN SOPAN SANTUN SAMA ORANG TUA LO APA GIMANA?! YATIM PIATU YA LO? PANTESAN!" teriakku menjadi-jadi.
"MINGGIR!" Pria itu ikut berteriak.
Aku semakin mantap berdiri menghalangi, sebagai pembatas antara dirinya dan Arzio.
"Lo bukan siapa-siapa nya dia. Ga usah ikut campur!" ucap pria yang lain.
"Kata siapa gue bukan siapa-siapa?!" tegasku.
"Arzio cuma ngaku-ngaku jadi pacar lo kan? Biar kita ga gangguin lo!" ucapnya.
"GUE PACARNYA ARZIO! MAU BUKTI APA LAGI LO SEMUA?! GA PUAS LO NGELIAT KITA CIUMAN?! HAH?! KALO LO SEMUA BIRAHI, JANGAN NONTONIN ORANG CIUMAN! NONTON BOK*P SANA! SEGALA NGURUSIN ORANG PACARAN APA KAGA. GA ADA KERJAAN YA LO SEMUA?! GA HERAN SIH, KERJAAN PARA PENGANGGURAN EMANG KAYAK GINI, NGURUSIN HIDUP ORANG LAIN!"
"Lo beneran pacar Arzio?" tanya pria yang lainnya.
"IYA! GUE PACARNYA ARZIO!" teriakku yang rasanya ingin menangis sebab melihat wajah Arzio meneteskan darahnya ke tanah.
"Jangan boong!" ucap pria yang memukuli Arzio tadi.
"Gue ga boong!" bantahku.
"JANGAN BOONG!" teriak pria itu.
~Plak! Kutampar wajahnya agar tidak bermain-main lagi.
~Plak! Dia membalas tamparan itu tepat mengenai pipi kiriku. Pukulannya sangat kuat dan membuatku terjatuh ke tanah.
Aaawww!! Sakit!
Dengan cepat Arzio menendang pria itu hingga dia terjatuh. Arzio menghajarnya bertubi-tubi dan membuat teman-teman dari pria itu kabur.
"Arzio udah! Arzio!" teriakku panik sebab melihat wajah pria itu berlumuran darah. Kupegangi tangan Arzio agar dia tak lagi memukul, namun itu tak bisa menghentikannya.
Bagaimana jika pria itu mati di tangan Arzio dan aku akan berurusan dengan polisi sebagai saksi sekaligus pelaku sebab tadi menamparnya?
"Arziooooooooooo!" teriakku yang kini air mata membanjir sebab rasa takut.
Arzio menghentikan pukulannya dan beralih padaku. "Udah," ucapku sambil menangis.
Arzio memelukku dan membuat tangisanku semakin menjadi. "Udah," ucapku lagi.
Bertepatan dengan itu, warga berdatangan dan mengerumuni kami.
"Tolong bawa ke rumah sakit, Pak!" tunjukku pada pria yang tak sadarkan diri tersebut sambil menangis.
"Arzio! Arlita!" Teriakan itu dari mama Arzio yang menghampiri kami. Aku langsung beralih nemeluknya dan terus menangis. Aku takut. Aku takut pria itu meninggal.
***
Arzio diobati oleh ibuku. Sedangkan aku duduk termenung di depannya bersama nenek. Nenek terus membelai rambutku. Sementara papa dan mama Arzio di rumah sakit untuk mengurus pria yang dipukuli habis-habisan oleh anak mereka.
Ibu membereskan bekas ia mengobati dan membawanya ke belakang.
Arzio menoleh padaku. Refleks mataku menoleh ke arah lain.
Mama dan papa Arzio memarkirkan mobil mereka di depan rumah. Mereka baru saja pulang dari rumah sakit.
"Kamu kenapa mukulin anak orang kayak gitu, Jio?!" omel mamanya begitu masuk rumah.
"Papa ga pernah ngajarin kamu buat sok jagoan, Jio!" Kali pertama aku mendengar papa Arzio berbicara lebih panjang.
"Tenang dulu! Di sana kan ada Arlita juga. Kita tanya Arlita," ucap nenek.
"Arlita sampai ketakutan gitu ngeliat kamu mukulin anak orang!" omel mamanya lagi.
"Arlita ga apa-apa kok, Bu," bantah ibuku.
"Cowok itu yang duluan mukulin Arzio. Pas aku sampe di depan pager rumah nenek, aku ngeliat Arzio dipukulin mereka," ucapku.
"Mereka?" tanya papa Arzio.
"Iya, tapi pas Arzio gebukin cowok itu, temen-temennya pada kabur," jelasku lagi.
"Sekarang Mama tanya, alasan kamu mukulin cowok itu apa? Karena kamu dipukulin duluan? Makanya kamu bales? Kan Mama udah bilangin, mending menghindar aja kalo ada yang kayak gitu. Sekarang keluarganya mau laporin kamu ke Polisi," ucap mama Arzio.
"Aku ga bakal mukulin dia kalo dia ga ngegampar Arlita duluan," ucap Arzio membuat semua orang terdiam.
Mama Arzio menghampiriku dan melihat wajahku. Dia memeriksa sesuatu.
"KITA LAPORIN BALIK ITU ANAK ORANG UDAH KURANG AJAR! MAIN-MAIN DIA SAMA KITA! GA DIAJARIN SOPAN SANTUN APA SAMA ORANG TUANYA?!" teriak mama Arzio membuatku terkejut.
Nenek juga memeriksa wajahku. Beliau mengusap-usap pipi kiriku yang masih terasa sedikit kebas.
Ibu memelukku begitu melihatnya. Mama Arzio mengambil ponsel dan memotret pipi kiriku itu.
Malamnya, kami diantar pulang oleh mama Arzio yang menyetir mobil. Di sebelahnya ada Arzio yang tiba-tiba ingin ikut. Sementara di kursi belakang ada aku dan ibu.
Sesampainya di rumah, mama Arzio dan ibuku mengobrol.
"Mumpung apotek di sebelah masih buka, beliin kain kasa, Ta. Tadi Ibu liat di rumah nenek kain kasanya habis," ucap ibu.
"Kain kasa buat apa?" tanya mama Arzio.
"Buat luka," jawabku.
"Ooh, ini uangnya. Beli yang jauh, ya. Kita mau ngobrol," ucap mama Arzio memberi dua lembar uang seratus ribu rupiah.
"Kebanyakan Tan—"
"Ga apa-apa, buat kalian jajan!" sambutnya memotong kalimatku. "Jio, temenin!" perintahnya.
Arzio ke luar rumah lebih dulu dan aku menyusulnya.
Sepanjang perjalanan menuju apotek, kami hanya melangkah. Tak ada yang memulai obrolan di antara kami. Sepulang dari apotek, Arzio mengeluh bahwa kepalanya pusing. Jadi kami duduk sebentar di halte bus pinggir jalan.
Kami tidak mengobrol sama sekali. Kejadian tadi membuat kami menjadi canggung.
Tiba-tiba, Arzio yang duduk di sebelahku, menyentuh pipi kiriku.
"Kenapa?" tanyaku.
Dia mengusap-usap pipiku dengan pelan. Ah, rasanya nyaman sekali. Tangan Arzio yang besar dan hangat. Nyaman!
"Pacarnya Arzio," ucapnya pelan.
Aku langsung mendongak melihatnya yang kini tersenyum.
"Pacarnya Arzio?" tanyanya.
"Bukan! Gue pacarnya Dani!" tegasku.
"Oh iya, lupa ada makhluk bumi yang namanya Dani," balasnya dengan sedikit terkekeh.
Kutatap wajah Arzio lebih lama. Mungkin luka itu masih terasa sakit. Dia terus terkekeh, sampai akhirnya terdiam sebab aku menatapnya.
Apakah Arzio benar-benar menyukaiku? Apa dia hanya mencoba bertingkah untuk terlihat keren di mata orang lain? Atau dia hanya ingin menggangguku di saat kami hanya berdua?
Apa dia merasa sakit hati jika aku menyebut Dani masih lah pacarku? Tapi dia tertawa. Bukankah itu pertanda bahwa ia baik-baik saja?
Lagi-lagi Arzio membelai pipi kiriku. Bekas tamparan pria tadi masih memerah. Aku sudah melihatnya di cermin saat baru sampai rumah tadi.
Arzio benar-benar pandai mengobati rasa sakit. Setelah diusap-usapnya, terasa sakit itu menghilang dengan sempurna. Menyisakan rasa nyaman akan belaian tangan Arzio. Kupejamkan mata. Ia hendak menjauhkan tangan, namun kutahan.
"Kenapa?" tanyanya.
Kubuka mata dan melihat wajah Arzio yang bingung. "Jangan gitu lagi," ucapku.
"Gitu gimana?" tanyanya lagi.
"Jangan mukulin anak orang apapun kesalahannya. Meskipun dia mukul gue atau apa! Jangan!" tegasku menurunkan tangan Arzio.
Kini kupegangi tangan itu. Baru aku sadari bahwa tangan Arzio lebih besar dari tanganku.
"Ga! Siapapun itu kalo dia nyakitin lo, bakalan gue hajar!" bantahnya.
"Kalo bokap lo yang nyakitin gue, gimana?"
"Ya gue hajar bokap gue." Jawaban yang sangat luar biasa durhaka.
"Kalo lo yang nyakitin gue?!"
"Ya gue bunuh diri," jawabnya.
"Udahlah, Arzio. Lo jangan kayak gini. Lo bisa suka beneran sama gue. Gue tau lo cuma mau gangguin gue doang, jadi ga usah sampe gila," balasku.
"Gue kasih tau lo faktanya. Pertama, gue ga pernah pura-pura. Kedua, gue ga pernah niat buat gangguin lo, gue cuma berusaha buat ungkapin apa yang gue mau ke lo, tapi lo-nya yang ga mau," jelasnya.
"Berarti lo beneran suka sama gue?" tanyaku. Dia langsung mengangguk. "Jawab yang jujur! Ini kita cuma berdua! Lo ga harus—"
"Tuh kan, lo yang selalu mikir gue pura-pura. Gue udah jujur!" omelnya.
"Ya habisnya, ga mungkin lo suka sama gue!"
"Kenapa ga mungkin?! Gue udah bilang ribuan kali sama lo!"
"Kalo lo suka sama gue, seharusnya lo cemburu dong kalo gue bilang masih pacaran sama Dani!"
"Ya karena itu faktanya! Lo masih pacarnya Dani. Terus gue harus ngapain? Selain minta lo jadiin gue selingkuhan lo?" balasnya membuatku terdiam.
"Makasih udah baik banget sama gue. Keluarga lo juga baik ke gue," jawabku mengalihkan pembicaraan.
Aku yang sedari tadi menggenggam tangan Arzio, kini ia mengambil alih tanganku untuk berada di dalam genggamannya.
"Gue bukannya ga cemburu ngeliat lo sama Dani di kemah. Lo kira gue ngapain ke pos kesehatan?" tanyanya.
"Lo demam," jawabku.
"Ck. Lo polos banget sih! Gue ga mau lo berduaan sama Dani!" jelas Arzio dengan nada gemas.
"Tapi lo minum obat! Itu kan artinya lo sakit!" bantahku.
"Parasetamol dimakan dari orang sehat, ga bakalan bikin keracunan!"
"Tapi badan lo panas kok!"
"Gue abis madep api unggun."
"Tapi kan cuma pas kemah doang." Aku terus membantah karena aku benar-benar tidak melihat dia menyukaiku, dia hanya ingin mengganggu.
"Gue ajak lo ke rumah gue, sebelumnya gue ga pernah ngajak siapapun ke rumah gue. Gue kenalin lo ke keluarga gue. Gue ajak lo nonton. Gue rela ga main HP buat lo bisa chattan sama Dani. Gue benerin HP lo, biar gue bisa chat lo kalo gue kangen. Lo ga inget?!"
"Inget kok, tapi kan gue ngiranya itu ya lo beramal baik aja sama orang miskin kayak gue. Lo ngajak gue makan enak, gratis. Lo kenalin gue ke keluarga lo, supaya keluarga lo tau temen lo siapa aja, semisalnya terjadi sesuatu sama lo, ya keluarga lo tau kalo gue termasuk salah satu temen lo," jawabku.
~Cup! Arzio mengecup punggung tanganku.
"Mulai sekarang lo jangan lupa kalo gue suka sama lo beneran! Ga pura-pura!" ucapnya.
Aku tak mengerti akan apa yang kurasa. Satu yang masih aku sadari, aku masih menunggu Dani.
***
Sesampainya di rumah, aku mendengar suara mama Arzio.
"Ini kita punya barang bukti. Kita laporin balik anak itu! Ga berpendidikan! Laki-laki masa ngegampar cewek!" omel mama Arzio.
Tapi kan aku yang lebih dulu menampar pria tadi :(