Daren begitu tergila-gila dan rela melakukan apa saja demi wanita yang di cintainya, Tapi cintanya tak terbalas, Sarah yang di cintai Daren hanya mempunyai secuil perasaan padanya, Di malam itu semua terjadi sampai Sarah harus menanggung akibat dari cinta satu malam itu, di sisi lain keduanya mau tidak mau harus menikah dan hidup dalam satu atap. Bagaimana kelanjutan kisah Mereka. akankah Daren bisa kembali menumbuhkan rasa cinta di hatinya untuk Sarah? Dan apakah Sarah bisa mengejar cinta Daren?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon II, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demi Masa Depan
Senyuman yang terukir jelas di wajah Pak Anjas seketika menghilang, bahkan rasa sakit di tubuhnya kini kembali datang, Pak Anjas menghela napas sembari menyenderkan diri ke belakang kursi kebesarannya. Tak sanggup harus mengatakan apa setelah mendengar kabar itu.
Sarah yang melihat ekspresi sang ayah seketika menangis sedangkan Daren hanya diam memberi waktu untuk ayah mertuanya itu menenangkan diri.
"Ayah memang sangat menginginkan cucu dari kalian, tapi jika keadaannya seperti ini, ayah setuju cucu ayah-
"Ga, Ga mau, Bayi ini harus tetap hidup." Sarah memangkas Kalimat Pak Anjas karena sudah tau ke mana arah pembicaraan itu.
"Yank," Daren bersuara meminta Sarah untuk tenang. "Ayah kamu benar, kita harus mengambil jalan ini. Terlalu beresiko."
Daren bersuara cukup lantang agar Sarah Sadar, akan tetapi perempuan berusia 24 tahun ini nampaknya kekeh dengan pendiriannya. Bahkan demi sang jabang bayi, Sarah rela melawan dua laki-laki yang amat di cintainya itu.
Merasa muak, Sarah bergegas pergi, Daren siap mengejar, Tapi Pak Anjas menghadang.
"Biarkan, Biarkan Sarah tenang dulu,"
Di kamar, Sarah terisak, memasukan baju kedalam koper kecil miliknya dengan tergesa-gesa. Daren yang baru saja masuk segera menghalangi pergerakan Sarah.
"Kita pulang sekarang?" Tanya Daren lembut, Meminta Sarah untuk menatapnya dengan cara menarik wajahnya yang basah itu..
"Aku mohon, jangan bunuh anak aku, hanya dia yang aku punya, aku mohon."
Daren mengangguk pada akhirnya. Memeluk sang istri yang nampak kacau seorang diri. Tidak kah Sarah bertanya bagaimana perasaannya, Hati Daren sama terpukulnya tapi keadaan yang terjadi bisa sangat membahayakan kesehatan Sarah.
Tidak Sarah aku tidak ingin kehilangan kamu.
...
Karena keadaan hujan, Tol menjadi macet membuat Yasmin sampai kediaman Pak Darwin menjelang magrib.
Para pelayan mempersilahkan Yasmin untuk masuk. Karena tengah Datang bulan, jadi Yasmin tidak melaksanakan sholat magrib, Yasmin menunggu di ruang tamu sembari menyeruput kopi hangat untuk menemani malam yang terasa dingin itu.
"Non Yasmin, kamar sudah saya siapkan, Saya permisi." Ucap pelayan mengabarkan. Kemudian pergi untuk kembali bekerja.
"Om mana sih, lama banget." Terlihat Yasmin tidak sabaran, menunggu dengan wajah suntuk, Apalagi sedari tadi sang ayah terus mengubungi.
"Ya ampun Ayah," Yasmin mengangkat panggilan dari Pak Dahlan begitu kesal.
"Apa Yah?"
"Bagaimana,?"
Yasmin menatap sekitar ruangan. Memastikan tidak ada orang di sana. "Yasmin baru sampe, Om Darwin masih di kamarnya, Yah,"
"Katakan juga kalau rahim Sarah harus di angkat, ingat Nak, Kamu jangan salah bicara."
Jelas Yasmin terheran mendengar ucapan sang ayah. "Memangnya-
"Sudah katakan saja."
"Tapi Yah-
Panggilan terputus. Yasmin termenung sendirian mendapati ucapan ayahnya itu. "Bukan kah itu terlalu berlebihan?"
Di tengah rasa tak karuan akan permintaan sang ayah, Pak Darwin menuruni tangga tersenyum melihat Yasmin duduk seorang diri..
"Yasmin." panggil Pak Darwin.
Yasmin segera tersadar, tersenyum melihat kedatangan Pak Darwin.
"Om,"
...
Kamar berwarna pastel itu nampak tegang, Seorang wanita dewasa terisak di ujung sofa di dekatnya ada dua orang tengah berdiri begitu angkuh.
"Katakan kepada Daren kalau rahim Sarah harus di angkat, Kapan lagi kamu menolong adikmu," Papar laki-laki berjanggut putih itu lantang, Sedangkan wanita bersanggul yang di pastikan istrinya hanya diam memperhatikan dengan wajah datar.
Wanita itu terisak sembari mengelus pipinya yang memerah, sepertinya itu adalah akibat dari perlawanan untuk membela diri..
"Vera, tolong lah adikmu, setelah itu kami tidak akan meminta apapun kepadamu." Ucap sang bunda, yang kalau di perhatikan dari ekspresi wajahnya tidak ada guratan rasa sedih melihat putrinya teronggok di ujung sofa.
Dokter Vera yang selalu tersenyum itu menoleh membawa wajah kacau, menatap kedua orang yang selalu dirinya hormati dan begitu di segani dengan mata penuh amanah.
"Aku lelah dengan semua ini, aku lelah dengan keinginan kalian yang sedari dulu tidak pernah aku inginkan. Kenapa kalian hanya menyiksa ku, kenapa kalian tidak menyiksa Yasmin juga? Kenapa hanya dia yang menjadi ratu di dalam hidup kalian. Kenapa?"
"Karena kalian -
"Ayah?" Nyonya Besar menghentikan kalimat Pak Dahlan.
"Karena apa?" Vera ingin tau, Kenapa ayah diam? Katakan, kenapa?" Dokter Vera menuntut jawaban atas ucapan sang ayah yang menggantung itu.
Pak Dahlan menenangkan diri, mengatur napas setelah kepala sang istri terus menggeleng pelan.
"Buktikan kalau kamu adalah anakku, lakukan apa yang ayah minta, besok ayah tidak ingin tau, palsu kan data medis Sarah, Beri tau Daren segera. Kalau kamu tidak mendengarkan keinginan ayah, kamu akan tau akibatnya."
Segera Pak Dahlan melenggang pergi meninggalkan Dokter Vera yang terkesiap di ujung sofa. Sementara sang bunda masih berdiri di sana.
Sesaat terasa sunyi, Nyonya Meri berjalan mendekati Dokter Vera menepuk pundaknya yang dulu selalu ia elus penuh kasih sayang.
"Bunda, Tidak kah keinginan ayah adalah hal yang salah, memalsukan kesehatan orang lain bukan hal yang benar, Vera yang akan menanggung semuanya." Dokter Vera menarik tangan Nyonya Meri, menatapnya seperti anak kecil yang minta di gendong sehabis terjatuh.
Akan tetapi, Nyonya Meri tidak mengindahkan ucapan yang berbau peringatan itu. perempuan berbaju putih itu tersenyum kecil membuat Dokter Vera terdiam bingung.
"Lakukan apa yang ayah katakan, kamu tenang saja, ayah akan melindungi mu, setelah Daren menjadi suami adikmu, kamu bebas, Ayah dan bunda tidak akan lagi mengekang kebebasan mu, kehidupan yang kamu inginkan akan kamu dapatkan, bunda janji."
Lantas Nyonya Meri pergi begitu saja. Membiarkan Dokter Vera merenung sendirian.
"Kebebasan? Kebebasan yang aku inginkan?"
...
Sarah meringsek di dalam dekapan Daren, masih di kediaman Pak Anjas keduanya memutuskan untuk menginap. Setelah kejadian tadi siang Daren dan Sarah mencoba untuk memulai dari awal. Berusaha bahagia atas kehamilan Sarah.
Pukul 10 malam, Sarah membuka mata, Daren yang memang masih terjaga mengusap lembut pipi sang istri.
"Laper?" Tanya Daren, karena memang Sarah pasti kelaparan, apalagi sepulang dari rumah sakit Sarah tak makan apapun, dirinya sibuk menangis dan mengamuk sedikit.
Sarah menggelengkan kepalanya. "Besok mau pulang ke rumah kita."
Daren mengangguk setuju. "Mulai sekarang kamu jangan capek-capek, Kamu juga harus banyak makan, biar kamu dan anak kita sehat."
Sarah mengangguk pelan. "Aku kok ga mual-mual ya?" Kata Sarah heran. "Biasanya orang hamil itu mual." Lanjutnya.
Daren terdiam karena sibuk berpikir. "Emang ada orang hamil mual-mual? Maksudnya Mendiang bunda dulu ga mual juga." Daren mengingat bagaimana dulu bundanya pun ketika mengandung adiknya tak merasakan morning sick.
"Masa sih? Kenapa bisa begitu ya?"
Keduanya sibuk berpikir, sampai di mana perut Sarah berbunyi, Daren melirik. "Tuh Dede bayi laper."
Sarah menatap perutnya yang rata. "Emang iya?"
"Udah ayo makan dulu, aku yang masak ok." Daren segera bangkit serta menarik Sarah
"Masak? Emang kamu bisa masak?"
"Bisa di bicarakan nanti sama Koki di dapur." Balas Daren dengan tawa kecil.
Sarah mengendus kesal akan lelucon Daren yang sama sekali tidak enak di dengar, Satu buah ide muncul di otak Sarah..
"Yank, yank, denger ga?" Sarah meminta Daren untuk berhenti. Di ujung dapur keduanya diam.
"Denger apa?" mata Daren menatap area luas Dapur. Takut ada hal misterius di sana, apalagi sebagian ruangan nampak gelap.
"Nih?" Sarah meminta Daren untuk membungkuk, kemudian memaksanya mendekati perutnya. "Ade bayi minta kamu yang masak."
...
Kamar tamu, Yasmin berguling-guling tak karuan. Tadi setelah mendapati perintah sang ayah hatinya menjadi kalut bahkan belum memberi tahu Pak Darwin tentang kehamilan Sarah. Hatinya bimbang dan merasakan takut.
"Tapi ini kesempatan baik, aku bisa mendapatkan Daren. Ayah pasti sudah memikirkannya dengan matang. Iya, aku harus memberi tahu om Darwin."
Esok paginya. Di meja makan, Yasmin menunggu Pak Darwin dengan hati berdebar.
"Aku harus bisa, Om Darwin, rahim Sarah harus di angkat." Yasmin bergumam melatih diri untuk bisa menyampaikan pesan palsu tentang Sarah.
Di tengah latihannya Pak Darwin datang membuat Senyum Yasmin merekah.
"Yuk, kita sarapan." Ajak Pak Darwin.
Semalam tidak ada pembicaraan yang berarti, Yasmin bahkan berbohong tentang kedatangannya ke Bandung, mengatakan habis menghadiri acara pernikahan temannya jadi mengharuskannya bermalam di bandung. Tadinya Yasmin beralasan akan menginap di hotel tapi Pak Darwin memaksa untuk menginap di rumah saja. Selain Yasmin pernah di jodohkan dengan Daren, Keluarga Pak Darwin dan keluarga Pak Dahlan ada ikatan kekerabatan, Jadi hal itu membuat Yasmin tidak canggung terhadap Pak Darwin dan keluarganya.
Yasmin melirik Pak Darwin sekilas, berusaha mengatur keberanian untuk mengutarakan niatnya.
"Om, Yasmin denger kalau -
"Assalamualaikum,"
"Waalikumsalam." Sahut Pak Darwin. Sedangkan Yasmin membulatkan matanya tak percaya melihat siapa gerangan yang bersuara.
Mata Pak Darwin berseri melihat siapa yang datang sepagi ini.
"Kalian, kenapa ga kasih kabar dulu."