Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11 - Liciknya Mikhail.
"Siapa? Zidan?" tanya Syakil sembari menikmati segelas lemon tea kesukaannya, pria itu penasaran sekali dengan hal-hal yang Zia alami.
"Hm ... Pak Weldi," jawab Zia singkat, tak ingin menjawab jujur pada Syakil kali ini.
Kembali meletakkan ponselnya di atas meja, meski suara Mikhail sempat membuat dadanya bergemuruh.
"Masih kerja? Memang nggak sibuk, Zi?"
Hubungan mereka memang cukup dekat, hanya sebatas teman biasa karena Syakil menyadari bahwa menggantikan Zidan tak semudah membalikkan telapak tangan.
"Sibuk sebenarnya, tapi kan harus, Syakil ... uang kuliahku gimana kalau ga kerja."
Syakil mengangguk mengerti, tak habis alasan dia mengagumi wanita ini. Cantik, baik dan juga mandiri, jika diizinkan dia ingin merasakan di posisi Zidan sekali saja.
Pembicaraan mereka mengalir begitu saja, Valenzia memang tidak membatasi siapapun untuk berteman dengannya. Meski demikian bukan berarti dia seterbuka itu terhadap apa yang tengah dia alami.
"Tapi pertanyaan aku tadi belum kamu jawab, Zi."
Dia masih penasaran, seorang Zia yang rajin dan dikenal sangat menghargai waktu tidak mungkin lepas dari tanggung jawab dan justru memilih menghabiskan waktu di luar sendirian seperti ini.
"Jawab yang mana?" Zia menjawab sedikit gugup, jantungnya tidak aman terutama ketika pandangan Syakil tertuju pada lehernya.
"Kamu kenapa bisa ada di sini? Kamu nggak mungkin pindah kost, dan juga jauh banget kalau cuma makan siang, Zia."
Jiwa detektif Syakil kian tajam saja, pertanyaan begini membuatnya berdebar tiba-tiba. Tatapan Syakil mengatakan dengan jelas ada kekhawatiran di sana.
Drrrt Drrrt
Belum sempat menjawab, Zia kembali terselamatkan. Notifikasi pesan masuk dan dari pria yang sama, Mikhail.
Dimana? Aku datang sekarang!!
Pemaksa, mungkin itu yang pas untuk mendefinisikan seorang Mikhail. Zia ragu sebenarnya, akan tetapi ancaman yang Mikhail sertakan membuatnya memilih patuh.
Dasar licik, bisa-bisanya dia mengancam Zia akan menyebarkan foto dirinya yang terlelap dalam pelukan pria itu. Tangannya mengepal dan Panas menjalar di dada Zia, Mikhail menggunakan cara itu untuk mengendalikan hidupnya.
Andai saja dia bangun lebih awal, tentu Mikhail tidak akan punya kesempatan untuk melakukan hal licik itu. Raut wajahnya berubah, cepat-cepat Valenzia hapus pesan dari Mikhail demi menghindari hal-hal yang tidak ingini nanti.
"Zi? Zia!!"
Syakil menepuk wajahnya pelan, sudah dia panggil sejak tadi namun ekspresi Zia masih sama, takut. Manik indah Valenzia memperlihatkan dengan jelas jika ada hal yang mengusik pikirannya.
"Kenapa, Zi? Jangan buat panik ... kenapa? Ada masalah?"
Zia hanya menggeleng pelan, dia bingung hendak menjelaskan apa. Jika sampai hal ini diketahui siapapun, yang malu tentu dirinya karena dengan nyata dia menyerahkan diri pada Mikhail.
"Tapi mata kamu bilang ada, Zia ... ada apa sebenarnya?"
"Enggak kok, kamu masih mau di sini?"
Dengan dada yang bergemuruh dan batinnya kini terasa tertekan. Di sisi lain dia ingin Syakil tetap berada bersamanya, tetapi akan lebih bahaya lagi jika Syakil melihat dengan mata kepalanya Zia ditemui pria selain Zidan.
"Kenapa kamu tanya begitu?" Syakil cukup sadar diri dan peka tentang apa yang terjadi, dia paham Zia sebenarnya berusaha membuatnya pergi.
"Zidan mau jemput, aku takut nanti dia mikirnya yang enggak-enggak."
Zia kembali berbohong, entah kenapa dia benar-benar malu jika sampai pria di hadapannya ini curiga. Dan Syakil dengan berat hati harus berlalu pergi, berusaha terlihat biasa saja padahal hatinya sedikit kecewa.
"Salam buat Zidan, udah lama nggak ketemu dia."
"Hm, nanti aku salamin," jawab Zia seadanya, senyum itu masih sempat dia berikan.
-
.
.
.
Brugh
"Ays, apa tidak punya mata?"
Mikhail buru-buru, beberapa saat lalu mobilnya baru saja tiba di tempat ini. Tanpa dikehendaki seseorang menabraknya dan ini membuatnya marah besar.
"Anda yang menab...."
"Ck, bocah ... kenapa di sini?"
Amarah yang tadInya membuncah kini terhenti kala dia menyadari siapa pria di depannya. Syakil membuang napas kasar setelah beberapa saat ucapannya terhenti.
"Kakak yang kenapa ada di sini."
Kebetulan yang sangat langka bagi Syakil, dua orang bertemu dengannya dan hal yang dipermasalahkan sama. Mikhail memasukan teleponnya ke saku celana dan menatap datar adiknya.
"Jam makan siang sudah selesai sejak tadi, kamu kenapa masih di luar? Mau aku minta Kenzo menendangmu dari kantornya?"
Sudah biasa sebenarnya, Mikhail mengatur hidupnya bahkan sejak sekolah menengah pertama. Dan kini dia sudah beranjak dewasa Mikhail tetap membatasi dirinya melebihi Ibra, sang papa.
"Cih, selalu mengancamku?"
"Hahaha kamu merasa terancam?" tanya Mikhail seraya mengacak rambut Syakil.
"Stop!! Aku bukan anak kecil lagi." Syakil menepis pelan tangan Mikhail, perlakuan seperti ini tidak lagi disukai.
"19 tahun! Kamu masih kecil, Syakil."
"Terserah!! Aku pergi, mataku sakit di sini." Syakil berlalu usai mengungkapkan kekesalannya pada Mikhail.
"Huft, kenapa bisa Mama punya anak seperti dia."
Sesaat kemudian dia berdecak kesal kala menyadari Syakil sudah membuang waktunya. Dia melupakan tujuan awal mendatangi tempat ini. Valenzia terlupakan beberapa saat lantaran pertemuan tak sengajanya bersama Syakil, adik kandungnya.
Pria itu melangkah panjang dengan sorot tajam mengelilingi tempat itu, mencari dimana wanita itu. Hingga, matanya menangkap wanita cantik yang duduk tak begitu jauh dari tempatnya berdiri.
Tidak ada pembicaraan, Valenzia enggan menyambut pria itu. Sementara Mikhail menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
"Siapa yang tadi bersamamu?"
Mikhail bertanya seraya duduk di hadapan Zia, menatapnya begitu lekat sementara Zia menyembunyikan wajahnya.
"Hei, aku bertanya ... kamu tuli, Zia?" tanya Mikhail mulai tak sabar.
"Temanku."
"Teman?" Keningnya mengkerut sesaat.
Valenzia tidak tertarik membahas siapa yang bersamanya. Mikhail juga tak berhak mencampuri kehidupan pribadinya.
"Hapus fotonya, Bapak jangan kurang ajar ya!"
Bukannya merasa takut, Mikhail hanya tersenyum tipis sembari sesekali menggosok hidungnya. Valenzia semakin yakin jika ada yang salah dengan otak Mikhail.
"Kamu pikir semudah itu?"
Licik sekali, Valenzia mengeraskan rahangnya. Senyum di wajah tanpa rasa bersalah Mikhail kembali melukai harga dirinya sebagai wanita.
"Anda mau apa sebenarnya? Perjanjian kita tidak begitu!! Saya sudah melakukan kewajiban saya, dan antara anda dan saya sudah tidak punya urusan lagi." Zia berucap lemah, dia takut mata itu akan menerkamnya dengan segera.
"Menurutmu sudah selesai? Sepertinya kau lupa poin ketiga perjanjian yang kita sepakati kemarin, Valenzia." Mikhail tertawa sumbang dan memperlihatkan betapa merdekanya dia saat ini.
Mangsanya jatuh dalam lubang yang dia ciptakan, tidak mungkin dia akan menemukan jalan keluar setelah ini. Zia menatapnya bingung, dan Mikhail merogoh ponselnya kemudian memperlihatkan kembali isi perjanjian yang dia tandatangani kemarin.
"Kamu bisa baca kan? Atau buta?" Mikhail tersenyum senang kala mata Zia membulat sempurna, bisa dipastikan Zia sangat-sangat menyesali keputusannya yang menandatangani surat itu tanpa membaca isinya lebih dulu.
Tbc
Kali ini Author baca rekomendasi cerita lagi buat temen minum kopi.