"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Yani tersenyum simpul melihat kedatangan Asya dan Hamid. Mereka tidak banyak bicara karena Asya akan langsung tidur sebab besoknya dia harus kembali bekerja. Bisa dikatakan jam tidur Asya itu sangat terbatas sekarang. Jadi dia harus memanfaatkannya dengan baik.
Setelah memastikan kedua anaknya sudah tidur, Yani menarik suaminya untuk bicara di ruang tamu.
"Ada apa?" tanya Hamid pada Yani.
"Tadi pas di warung banyak yang nanyain Asya. Aku bingung harus jawab apa," kata Yani.
"Ya jawab aja yang sebenarnya," timpal Hamid santai. Dia sampai bingung kenapa istrinya terlihat begitu gelisah untuk menjawab sebuah pertanyaan yang jawabannya sangat sederhana.
"Kalo aku jawab yang sebenarnya, apa mereka tidak akan berpikiran yang tidak-tidak tentang anak kita?" tanya Yani kemudian. Mengutarakan apa yang sebenarnya membuat wanita itu tidak bisa menjawab pertanyaan para tetangganya.
"Anak kita itu cuma cari uang. Lagian aku juga ada di situ kok liatin Asya. Dia cuma nyanyi. Menghibur orang."
"Tapi, apa mereka juga akan berpikir seperti kita? Bapak kan tau bagaimana pandangan warga tentang seorang biduan atau penyanyi."
Hamid menghela napas panjang lalu memegang kedua bahu sang istri. "Udah, gak usah dipikirin. Kamu percaya saja sama Asya. Lagian kalo bukan karna Asya kita gak mungkin bisa kayak sekarang."
"Mau ngandelin gajiku jadi tukang ojek sama gaji kamu juga cuma bisa buat sehari-hari," katanya lagi mengingat penghasilannya yang tak kunjung bertambah. Bahkan Hamid sudah berencana akan mencari pekerjaan lain saja. Rasanya dia malu karena uang yang didapat anaknya lebih banyak darinya padahal tugas mencari rejeki kan dia.
Yani terdiam sejenak. Dia tidak bisa memungkiri kenyataan tersebut. Dia bisa melunasi hutang dan membeli sembako yang lengkap itu karena Asya bekerja jadi seorang penyanyi.
Astaga! Yani jadi merasa bersalah karena sempat merasa malu dengan pekerjaan Asya saat ini. Wanita itu kemudian menghela napas pelan. Benar juga ucapan suaminya. Dia tidak perlu mendengarkan ucapan orang lain. Toh, saat mereka kesulitan tidak ada yang ingin menolong mereka. Yang terpenting mereka percaya pada Asya jika gadis itu hanya bekerja untuk keluarganya.
***
Sesuai dengan apa yang Indah katakan, sebisa mungkin Asya tidak terlalu dekat dengan Rudi. Namun entah kenapa pria itu malah terus mendekati Asya. Bahkan pria itu tidak pernah absen datang kemanapun mereka sedang manggung.
"Indah, aku risih banget deh soalnya dari tadi Rudi liatin aku mulu," bisik Asya pada Indah. Wanita itu pun menoleh ke arah Rudi yang benar saja sedang melihat ke arah Asya. Ck! Dasar laki-laki mata keranjang. Padahal pacarnya ada di sana sedang bergelayut manja namun dia malah melihat ke arah wanita lain.
"Udah. Pokoknya kamu di sini aja. Kalo sampe dia macam-macam, aku bakalan laporin sama Bos Roy," ujar Indah mencoba menenangkan Asya sembari mengusap lengannya.
Gadis itu pun mengangguk pelan sambil berlindung di tubuh Indah yang memang lebih tinggi dan sedikit berisi darinya agar tidak melihat Rudi.
Yang tidak mereka ketahui ternyata Rudi itu tipe orang yang tidak mudah menyerah dan nekad. Saat Asya pamit untuk ke toilet tanpa wanita itu sadari, Rudi mengikutinya dari belakang. Kebetulan juga Susi sedang bernyanyi jadi pria itu bebas untuk mendekati Asya.
"Hai, Asya!" Asya sampai kaget ketika dia keluar dari toilet umum di sana dan melihat Rudi tengah berdiri seperti tengah menunggunya. Sialnya lagi toilet umum itu terletak di belakang rumah warga yang cukup jauh dari kerumunan.
Asya mencoba menghindar dan berniat untuk pergi dari sana tanpa menggubris Rudi. Dia tidak tahu jika keputusan itu adalah keputusan yang salah.
Rudi menahan lengan Asya membuat gadis itu menatapnya dengan tatapan risih dan takut.
"Lo ngehindari gue ya?" Dari gelagat Asya saja, seharusnya Rudi sudah bisa menebak.
"Iya." Dan yang tidak diketahuinya, Asya itu tipe orang yang sangat jujur. "Soalnya aku gak mau bikin Kak Susi jadi salah paham. Seharusnya kamu juga tau diri. Kamu kan udah punya pacar," ujarnya menghempaskan tangan Rudi darinya namun itu bukan hal yang mudah karena genggaman Rudi cukup kuat.
"Lepasin aku!" ujar Asya namun Rudi sama sekali tidak menggubrisnya.
"Terus kalo gue gak punya pacar, Lo mau jadi pacar gue?" tanya Rudi dengan seringai menyeramkan di mata Asya.
Rahang Asya seperti akan lepas dari tempatnya mendengar kata-kata Rudi barusan. Astaga! Percaya diri sekali dia.
"Gue bisa kok putusin Susi buat Lo. Asal Lo mau jadi pacar gue nanti. Gimana?" kata Rudi membuat Asya memutar bola matanya jengah.
Asya meraskan genggaman tangan Rudi di tangannya sudah melemah hingga dalam satu hentakan genggaman itu pun terlepas.
"Denger ya baik-baik. Kak Susi itu sayang banget sama kamu dan kamu dengan mudahnya ngomong kayak gitu cuma karna suka sama aku? Dasar cowok gak tau diri."
Rudi terperangah, tak menyangka jika Asya bisa mengeluarkan kata-kata pedas seperti itu. Asya sendiri tidak berniat demikian tapi dia sudah terlalu jengkel dengan sikap Rudi membuatnya tak lagi bisa mengontrol mulutnya.
Rudi kembali mengejar Asya dan berhasil memegang tangan wanita itu lagi.
"Lepasin aku!" kata Asya memberontak.
"Heh! Sok cantik banget sih Lo jadi cewek?" bentak Rudi menatap nyalang Asya. Jelas dia kesal dan marah. Dia merasa Asya telah menjatuhkan harga dirinya.
"Sok jual mahal padahal cuma biduan. Lo itu gak lebih dari cewek mur4han yang menggoda cowok di atas panggung tau gak!" katanya menghina Asya.
Plak!
Satu tamparan tangan kiri Asya mendarat dengan sempurna di pipi Rudi. Mata wanita itu berkaca-kaca karena amarah. Berani sekali pria itu menghinanya dengan kata-kata yang tidak pantas.
"Jaga yang mulut kamu!" kata Asya dengan bahu yang sudah naik turun. Tangannya bahkan sudah mengepal seperti siap untuk menghajar Rudi lagi kalau sampai dia bicara yang tidak-tidak tentangnya.
"Sia---"
"Asya!"
Rudi yang mengangkat tangannya untuk memukul Asya terhenti saat seseorang memanggil nama Asya dari arah belakang mereka.
Itu Indah dan Susi yang sedang berjalan ke arah mereka. Tepatnya sedikit berlari.
"Kalian ngapain di sini?" tanya Susi dengan tatapan menyelidik ke arah Asya dan Rudi bergantian.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,