Please, Zielle. Jangan kepikiran itu sekarang!
Gue pura-pura cek keadaan Asta, merapikan selimutnya biar kelihatan sibuk. Tiba-tiba, Anan muncul dari sisi lain kasur. Gue lihat dia sambil mengeluarkan sepatu.
"Lo lagi ngapain, sih?" tanya gue, tapi dia diam saja, malah lanjut melepas sepatu terus mulai buka kancing kemejanya. "Anan!"
"Lo kira gue bakal pulang dalam keadaan kayak begini?" Dia pasang muka memelas, bikin napas gue hampir berhenti. "Lagian, enggak baik buat lo tidur sendirian sama cowok."
"Oh, jadi baiknya gue tidur sama dua cowok sekaligus, gitu?"
Anan mengabaikan omongan gue dan melepas kemejanya.
Ya ampun, Pangeran, tolonglah!
Pipi gue langsung panas, merah kayak tomat. Ternyata dia punya tato lain di bagian bawah perut dan di sisi kiri dadanya. Tangan dia mulai ke arah kancing celananya.
"Stop! Jangan! Kalau lo lepas celana, lo tidur di lantai!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liontin
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
Gue enggak percaya bisa berada di depan pintu rumahnya Anan lagi, dan ini sudah yang kedua kali dalam seminggu.
Aduh, harga diri gue, lo di mana sih?
Kenapa gue enggak menemukan lo?
Tapi, ya, ini demi keselamatan gue, kalau nyokap tahu kalung itu hilang, gue bisa dicaci habis-habisan, atau lebih parahnya lagi, dicuci di mesin cuci.
Gue ambil napas dalam-dalam dan pencet bel. Bibi berambut kucing itu bukain pintu, kelihatan tergesa-gesa. “Malam,” sapanya dengan ramah sambil merapikan rok seragamnya.
Gue cuma senyum. “Anan ada?”
“Iya, ada kok. Pestanya di belakang, di kolam renang. Masuk aja.” Dia minggir dan masuk ke dalam rumah.
Pesta?
Dia tuntun gue lewat samping rumah sampai kita tiba di kolam renang, yang ternyata in-door.
Gue tebak, pasti kolamnya air panas.
Begitu gue masuk, semua mata langsung tertuju ke arah gue, bikin gue enggak nyaman. Mata gue langsung mencari-cari Anan, dan ketemu dia di kolam renang.
Dia lagi main sama cewek yang duduk di pundaknya, sementara ada cowok lain yang juga lagi main di depannya, mereka lagi perang air.
Enggak bisa bohong, gue sedikit cemburu sama cewek yang lagi ada di atas pundaknya. Dia cantik banget, dengan senyum yang bikin silau. Anan sadar semua orang lagi memperhatikan gue, terus pandangan kita ketemu, dia enggak kelihatan kaget, malah ekspresi itu menujukkan kalau dia puas.
Anan terlihat keren waktu basah-basahan begitu.
Fokus, Zielle!
Asta menyapa gue. “Selamat datang,” katanya sambil senyum. “Ini semua teman-teman sekelasnya Anan, tapi gue juga kenal mereka.”
Kita sampai ke sekelompok cowok. “Guys, ini Zielle”.
Gue mengenali salah satu dari mereka, yang berkulit gelap, itu cowok yang pernah gue tabrak waktu mengintip Anan di lapangan bola. “Zielle, ini Dino, Samir, dan Tom.”
“Ah! Lo harus bayar!” kata Samir, si pirang. “Gue bilang, kan, bakalan ada anak dari sekolah barunya Asta yang datang.”
Dino mengomel. “Gue enggak percaya...” Dia keluarkan duit dari kantongnya dan kasih ke Samir.
Tom, cowok berkulit gelap yang pernah gue tabrak, enggak ngomong apa-apa, cuma kasih tatapannya sebagai salam.
Asta kelihatan agak enggak senang. “Taruhan lo pada enggak jelas. Gue balik dulu, Zielle, santai aja, ya.”
Dino menunjuk ke arah gue. “Gue, sih, mau nyambut lo, tapi lo baru aja bikin gue kalah taruhan.”
“Ah, lo. Jangan kayak pecundang, dong.” timpal Samir sambil senyum ke gue. “Selamat datang, Zielle, duduk aja.”
Mereka ini cowok-cowok keren, dan jujur saja, gue enggak nyangka bakal bisa duduk bareng orang-orang seperti mereka. Mereka enggak kelihatan jahat, tapi jelas mereka suka bercanda dan nge-banyol soal apa pun.
Mata gue melirik ke kolam renang, dan gue lihat cewek di pundak Anan jatuh ke air, sambil menarik Anan. Mereka muncul lagi dari dalam air sambil saling senyum, terus cewek itu kasih ciuman singkat di pipinya.
Berengsek!
Hampir saja gue bisa dengar suara hati gue patah.
Dan untuk pertama kalinya, gue ada di dalam dilema. Gue selalu bilang hidup itu soal pilihan, dan, walau gue pernah bikin keputusan yang buruk, gue juga pernah ambil keputusan yang tepat. Sekarang di depan gue ada dua pilihan.
Yang pertama, balik badan dan pulang dengan kepala menunduk.
Atau.
Yang kedua, tetap di sini, ambil kalung gue, dan mungkin he-fun bareng teman-temannya Anan buat buktiin kalau gue baik-baik saja dan dia enggak penting buat gue.
Gue harus melakukan sesuatu biar enggak kelihatan kayak cewek bodoh yang dipermainkan sama cowok. Jadi, gue telan rasa sakit ini, pasang senyum lebar, dan duduk di samping Tom, yang belum ngomong apa-apa dari tadi.
“Mau bir?” tanya Samir sambil menawarkan ke gue. Gue mengangguk dan bilang terima kasih.
Dino angkat botol birnya. “Kita bersulang buat satu-satunya teman Asta di sekolah barunya yang ternyata, cantik.”
Samir ikutan angkat botolnya. “Iya, gue harus akuin.”
Gue jadi malu, tapi gue angkat bir juga buat bersulang sama mereka. Kedua cowok itu melihat ke arah Tom, tapi dia cuek saja.
Samir geleng kepala. “Udahlah, kita bersulang tanpa dia. Mirip banget sama si Anan yang pendiem.”
“Pantesan aja mereka sahabatan,” timpal Dino.
Kita cheers dan terus minum. Tom bangkit, tingginya hampir sama kayak Anan dan dia enggak pakai baju. Tanpa rasa malu, mata gue menjelajahi dadanya sampai ke perut.
Ya ampun, perutnya pada bagus-bagus banget ini cowok-cowok.
Tom jalan ke arah kolam dan langsung menceburkan diri. Mata gue mengikuti gerakannya.
“Ganteng kan?” goda Samir sambil menyengir.
Sisi Zielle yang berani akhirnya muncul. “ya, cakep.”
“Wah, gue suka, nih sama lo.” Dino kasih tos ke gue. “Lo jujur banget.”
Gue angkat bir lagi ke arah mereka, kasih senyum paling lebar. Kita mengobrol banyak, dan gue sadar kalau mereka sebenarnya enggak sombong atau merasa lebih dari orang lain. Mereka malah asyik dan santai.
Samir itu tukang bercanda yang bikin ketawa, sementara Dino lebih ke cerita-cerita menarik.
Di tengah-tengah mengobrol dan seru-seruan sama mereka, gue lupa sama Anan. Mereka bikin gue sadar kalau sebenarnya masih ada banyak cowok lain di dunia ini dan itu bantu gue buat move on dari Anan.
Pasti ada cowok yang lebih keren dari dia, dan yang punya hati lebih baik. Gue enggak perlu stuck sama satu cowok yang arogan seperti dia.
Musik mulai mengalun di seluruh tempat, dan kali ini gue enggak peduli sama sekali di mana Anan atau lagi apa dia. Pas ada lagu favorit gue, gue langsung bangkit dari kursi dan mulai joget. Samir dan Dino ikutan joget sama gue.
Tetap joget dari tempat mereka, angkat tangan di udara. Dino tiba-tiba kepleset dan hampir jatuh, bikin gue ketawa. Kita tertawa kencang sampai orang-orang pada memperhatikan, tapi gue cuek saja. Setelah itu, kita balik duduk lagi, dan jujur, bir ini mulai terasa efeknya. Gue jadi lebih PD dan bebas.
Tom balik ke meja, basah kuyup, ambil bir dan langsung minum dengan tegukan panjang. “Saatnya sesi tanya-jawab, Zielle,” kata Samir sambil senyum lebar.
Tom duduk di ujung meja, rambut basah menetes di wajahnya, tapi Samir cuek dan lanjut. “Lo punya pacar?”
Gue cekikikan. “Enggak ada.”
Dino memainkan alisnya. “Lo bakal punya satu?”
“Uhhh, kayaknya ada yang naksir nih,” goda Samir. “Ngebet banget ya, Dino?”
Tom tiba-tiba berdehem, bikin kita semua menoleh ke arahnya. Ekspresinya serius waktu dia ngomong. “Jangan aneh-aneh, dia itu punya Anan.”
Gue melongo. “Hah?”
Dino cemberut. “Aduh, enggak adil, sih.”
Tersinggung, gue tatap Tom langsung ke matanya. “Pertama, gue bukan barang, dan kedua, gue enggak ada urusan sama dia.”
“Oh gitu,” jawab dia dengan nada datar.
“Apa masalah lo, sih?” tanya gue kesal.
Kenapa dia benci banget sama gue padahal enggak kenal gue sama sekali?
“Gue enggak punya masalah sama lo, gue cuma kasih peringatan ke mereka.”
“Lo enggak perlu kasih peringatan apa-apa, gue sama Anan enggak ada apa-apa.”
Samir ikut nimbrung. “Cewek ini udah bilang sendiri, loh, Tom, dan gue percaya dia.”
Dino angkat bir ke arah gue. “Kenapa enggak lo buktiin aja?”
Gue kerutkan kening. “Maksud lo gimana?”
Dino garuk dagunya sambil mikir.
Tom ketawa puas. “Dia enggak bakal ngelakuin itu.”
Gue buka mulut buat protes, tapi mata gue beralih ke kolam renang. Anan masih di sana, bareng sama cewek yang menempel di punggungnya sambil ketawa-ketawa di air.
Gue sudah di sini lebih dari sejam, tapi dia sama sekali enggak samperin atau sekedar menyapa gue. Malah asyik banget sama cewek itu.
Para cowok mengikuti pandangan gue, dan Samir mendesah putus asa. “Enggak mungkin.” Dia lihat ke Anan. “Tom bener lagi.”
Gue langsung bangkit, tekad gue bulat buat buktikan kalau mereka salah. “Enggak, dia salah.”
Gue maju beberapa langkah, dan Dino menatap gue. “Lo bakal joget buat gue?”
Tapi ekspresinya berubah kecewa pas gue melewati dia. Gue berhenti di depan Tom, dan meski kepercayaan diri gue sedikit goyah, tatapan dia kelihatan yakin banget, kayak bilang kalau dia tahu gue enggak bakal bisa melakukannya.
Melawan suara hati, gue mulai goyangkan pinggul di depan dia. Tom duduk santai, sepertinya dia siap menerima tantangan gue.
Bayangkan saja lo lagi joget depan cermin, Zielle.
Biarkan musik mengalir di badan gue dan mengiringi tangan ini turun dari tubuh sampai ke ujung daster, naik sedikit kasih lihat paha gue.
Mata Tom mengikuti gerakan tangan gue. Gue ingat waktu gue joget buat Anan dan bagaimana gue bisa punya pengaruh ke cowok lewat gerakan itu. Bikin gue semakin percaya diri.
Gue mainkan tangan pelan-pelan lewat dada sambil gerakan badan sesuai irama musik. Tom ambil tegukan dari birnya, matanya tetap menempel ke tubuh gue.
Gue berbalik dan duduk di pangkuan Tom, menggerakkan tubuh gue buat melawan dia, merasakan kain daster gue basah kena tubuhnya yang masih lembap.
Gesekannya terasa enak banget. Sambil menekan diri lebih dekat, gue bisa merasakan bagaimana dia bereaksi.
Cepat banget.
Gue condong ke belakang, hampir rebahan di atas dia, dan berbisik di telinganya. “Kalau gue beneran ada hubungan sama dia, gue enggak bakal bikin sahabatnya kayak begini, kan?”
Gue duduk tegak lagi, dan jantung gue berdetak kencang. Jujur, lihat ekspresi ketiga cowok yang bengong itu bikin gue senang. Jadi gue berdiri dan siap buat berbalik, menghadap ke depan.
Tiba-tiba Anan muncul di depan pandangan gue, jalan mendekat ke arah gue dengan muka marah, sama seperti malam waktu dia masuk ke kamar gue mencari Asta, tapi sekarang alasannya jelas beda.
Dia berhenti tepat di depan gue. “Bisa ngomong bentar?” ketusnya.
Gue sempat mikir buat bilang enggak, tapi gue enggak mau bikin keributan di depan semua orang di sini, jadi gue ikuti dia masuk ke dalam rumah sampai kita tiba di ruang game yang kemarin.
Gue tutup pintu di belakang, dan dia langsung pegang wajah gue dengan kedua tangannya, lalu cium gue.
Jantung gue berdebar karena sensasi bibirnya yang bikin ketagihan, tapi gue enggak mau jatuh ke dalam kesalahan yang sama.
Gue dorong dia sekuat tenaga sampai akhirnya berhasil menjauh. “Jangan mikir macam-macam!”
Anan kelihatan makin kesal, mukanya merah, mirip wajah Gori waktu tahu gue kehilangan keperawanan.
Apa dia cemburu?
“Lo pikir, apa yang lagi lo lakuin, Zielle?
“Apa pun yang gue lakuin, itu bukan urusan lo.”
“Lo sengaja bikin gue cemburu? Itu tujuan lo?” Dia mendekat lagi, dan gue mundur selangkah.
“Dunia ini enggak selalu tentang lo.” Gue angkat bahu. “Gue cuma lagi senang-senang aja.”
“Sama sahabat gue?” Dia pegang dagu gue, mata tajamnya menatap lurus ke mata gue. “Lima hari, setelah apa yang terjadi di kamar ini?”
Gue enggak bisa tahan buat enggak merasa malu. “Terus kenapa? Lo sendiri asyik sama cewek itu di kolam.”
Anan menampar tangannya ke tembok di samping kepala gue. “Oh, itu masalahnya? Jadi lo mau balas dendam?”
“Enggak, dan gue juga gak ngerti kenapa kita harus bahas ini. Gue gak berhutang apa pun ke lo.”
Anan geser ibu jarinya ke bibir bawah gue. “Jadi, lo pikir gitu? Lo masih belum paham, ya?” Dia tempel tangan satunya di tembok, menjebak gue di antara lengannya. “Lo itu punya gue, cuma milik gue.”
Kata-katanya bikin jantung bodoh gue berdetak makin kencang. “Gue bukan punya lo, gue juga bukan pacar lo.”
Anan menekan gue ke tembok dengan tubuhnya, matanya menusuk langsung ke mata gue. “Iya, lo milik gue. Satu-satunya orang yang boleh lo joget in kayak gitu cuma gue, ngerti?”
Gue geleng-geleng kepala, melawan. “Kenapa lo keras kepala banget, sih?”
Gue tahan, lalu dorong dia.
Ini terlanjur bikin gue terluka. “Gue bukan milik lo,” teriak gue, “dan gue enggak bakal jadi milik lo. Gue enggak suka cowok brengsek kayak lo.”
Anan cuma senyum miring, senyum yang ngeselin banget. “Oh ya? Itu bukan kata-kata yang lo bilang di hari itu, di sini juga, kan? Masih ingat?”
Gue enggak percaya dia pakai itu buat serang gue, bikin gue makin ingin bunuh dia. “Sejujurnya, gue gak ingat-ingat amat, sih, soalnya enggak ada yang menarik buat gue ingat.”
Anan melangkah mundur, senyum sombongnya memudar, berganti ekspresi terluka. “Pembohong.”
“Terserah lo, mau ngomong apa,” jawab gue sinis, mencoba buat terdengar benci. “Gue ke sini Cuma mau ambil kalung gue, kalau enggak, gue enggak bakal repot-repot. Jadi kasih kalung gue biar gue bisa pergi.”
Anan mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, matanya masih menembus ke dalam hati gue, bikin gue hampir enggak bisa tahan buat enggak langsung peluk dia.
Dia kelihatan begitu menarik, dengan tubuhnya yang basah, dada telanjangnya, rambut hitam menempel di sisi wajahnya. Seperti malaikat yang jatuh, tampan, tapi juga mampu bikin luka yang dalam.
Anan akhirnya berbalik, dan gue susah payah menahan diri buat enggak lihat. Dia cari sesuatu di atas meja di belakang sofa, lalu balik lagi ke arah gue sambil pegang kalung gue. “Jawab satu pertanyaan, dan gue kasih kalung ini.”
“Oke, buruan!”
Dia kibaskan rambutnya yang basah dengan tangannya. “Kenapa lo marah banget sama gue? Lo udah tahu apa yang gue mau, gue gak pernah bohong, gak pernah nipu buat dapetin itu. Jadi, kenapa lo marah?”
Gue menunduk, hati gue naik ke tenggorokan. “Karena… gue....” Gue ketawa gugup. “Gue pikir...”
“Kalau kita udah pernah tidur bareng, gue bakal suka sama lo dan bakal serius? Itu, kan yang lo harapin?”
Kata-katanya menusuk, tapi gue tahu itu benar, jadi gue cuma bisa tersenyum pahit. “Iya, gue memang bodoh, gue tahu.”
Anan enggak kelihatan kaget sama pengakuan gue. “Zielle, gue...”
“Ada apa ini?” Tiba-tiba Bibi si rambut kucing, masuk dan mengagetkan kita berdua.
Sepertinya, malam ini bakal jadi malam yang panjang.