kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Adiba duduk di tepi jendela, menikmati angin sore yang menerpa wajahnya. Matanya tertuju pada Satria yang sedang asik memainkan gitarnya di teras rumah. Tanpa sadar, senyuman kebahagiaan menghiasi wajah Adiba saat mendengar alunan gitarnya.
"Kok ngliatin mas kayak gitu?" tanya Satria tersenyum pada istrinya.
"Diba nggak tau mas bisa main gitar juga."
"Mas bisa main apa aja Diba. cuma satu yang mas nggak bisa mainkan."
"Apa?"
"Mainin perasaanmu."
Adiba tersenyum, tersipu malu. "Ish, apa sih mas Satria ini!"
Satria ikut tersenyum, "Kamu cantik kalau tersenyum gitu Adiba."
"Diba sih, cantik terus dari dulu."
"Iihh, nyombong."
Adiba mengulas senyum, membenahi duduknya dan lebih memperhatikan Satria. "Mas Satria bisa nyanyiin lagu apa?"
"Diba request, nanti mas nyanyiin."
"Yakin bisa?"
"Insyaa Allah."
"Diba mau lagu romantis aja. punya Afgan yang bukan cinta biasa bisa nggak?"
Satria menjawab dengan senyuman, lalu memetik gitarnya melantunkan nada-nada indah. Membuat Adiba makin hanyut dalam lautan asmara.
Pikiran Adiba melayang pada hari-hari indah yang mereka lalui bersama. Mereka telah menjalin kasih, saling melengkapi satu sama lain, dan hadir dalam suka maupun duka. Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada juga rasa takut yang menggelayut dalam hati Adiba.
"Apakah kebahagiaan ini akan bertahan selamanya? Apakah mas Satria akan tetap setia bersamaku hingga akhir waktu? Bagaimana jika Novi mengusik lagi? Dia habis kecelakaan, bagaimana jika dia menggunakan itu untuk menjerat mas Satria lagi? Aah, kenapa aku jadi terus berpikiran buruk padanya?"
Adiba berusaha untuk mengusir ketakutan itu, dia ingin yakin bahwa Satria adalah pasangan sejati yang akan menemani hidupnya.
"Aku harus percaya pada mas Satria. Kami akan saling menjaga dan mencintai satu sama lain," batin Adiba membangun keyakinan dalam hati. "Mengukuhkan hati dan hubungan dengan kehadiran seorang adik untuk Faraaz."
Hati Adiba semakin yakin, bahwa cinta yang mereka bina bersama akan terus berkembang dan menguat seiring waktu. Mereka akan saling menjaga dan mengisi kebahagiaan satu sama lain, dalam ikatan cinta yang tak akan pernah pudar.
"Iya, aku harus bisa hamil. Sepertinya kami harus lebih sering melakukannya agar ada benih yang tumbuh di sini."
***
"Ah, apa pantas aku meminta lebih dulu?"
Adiba menggeleng, dan pipinya bersemu merah."Enggak malu, lah. masa perempuan minta duluan?"
Adiba menutupi wajahnya dengan kedua tangan. lalu mengintip dari sela jari,"Tapi, Jik tidak berhubungan, bagaimana kami bisa punya anak?"
Adiba menghela napas panjang. Ia merasa harus, tapi bagaimana memintanya pada Satria, suaminya. sementara dia sendiri merasa malu.
"Sudahlah, coba saja dulu mendekat. nanti lihat belakangan."
Adiba merasa sedikit gugup namun penuh harap saat ia melangkah mendekati Satria, kemudian memanggil namanya lembut.
"Mas!"
Satria yang sedang duduk membaca buku mendongak. lalu mengulas senyum,"Ada apa sayang?"
Baru begini saja, Adiba sudah bersemu merah. "Ah, malu sekali. apa aku benar-benar akan memintanya dari mas Satria?" gumam gadis itu dalam hati.
"Ada apa, huumm?"
Tatapan mata Satria yang lembut semakin membuat Adiba bingung dan malu untung mengungkap.
"Mas, nggak mau tidur?"
"Belum ngantuk sayang."
"Ini udah malam," ucap Adiba lirih sekali seraya menundukkan kepalanya.
Satria sedikit tertegun, menatap Diba lama sampai membuat gadis yang berdiri dihadapan itu gugup bukan main.
"Iya, deh, mas tidur." Satria akhirnya menutup buku dan menyimpan di rak.
Di kamar yang temaram, Adiba duduk di tepi ranjang dan meremas-remas tangannya sendiri. Satria bisa melihat kegelisahan istrinya.
"Ada apa? ada yang mau kamu sampaikan sama mas?"
Adiba mendongak menatap suaminya yang berdiri tepat dihadapan. lelaki berambut gondrong itu lantas merendahkan tubuh berjongkok di depan Adiba.
"Kamu terlihat gelisah. Apa yang mengganggu pikiranmu, sayang?" tanya Satria menyentuh wajah Adiba.
sentuhan yang mengalirkan sengatan di setiap aliran tubuh Adiba, dan menambah debaran dan gugup gadis cantik itu saja.
"Mas suamimu. Jika ingin sesuatu, katakan saja. Mas akan berusaha sekuat tenaga memenuhinya."
"Di-Diba..."
Satria menyimak dengan tatapan yang tak lepas dari wajah istrinya. Adiba jadi semakin gugup saja, sampai meneguk ludahnya.
"Diba..."
Adiba menunduk lagi mengusir gugup. Kenapa ia jadi segugup ini hanya untuk meminta saja.
Tangan Satria masih setia menyentuh wajah Adiba. Jempolnya bahkan menyusap bibir yang seperti susah berkata itu. Ia lantas mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir istrinya. Beradu dalam lembutnya belaian lidah.
Satria mengakhiri pangutannya, menarik napas. "Katakan sayang, kamu mau apa?"
"Adiba... Adiba malu."
"Kenapa malu? Kita ini suami istri, mas bahkan tau bagian terdalam mu. kamu juga tau bagian terdalam mas. Apa yang mesti dimalukan?" Ucapan Satria yang membuat Adiba sedikit berani membuka mulutnya dan menyampaikan keinginan.
"Mas... Adiba... Adiba ingin sentuhan lebih dari mas."
Satria tersenyum.
"Mas tersenyum," keluh Adiba menyingkirkan tangan suaminya dengan wajah ditekuk. malu sekali. Merasa suaminya sedang meledeknya.
"Mas tersenyum karena mas senang, sayang."
Satria memeluk pinggang Adiba agar semakin mendekat. lalu tangannya kembali menyentuh wajah istrinya.
"Kamu tau nggak, kalau istri meminta lebih dulu, pahalanya lebih besar."
"Oh, ya?"
"Heemm.." Satria mengangguk, "Lalu kenapa kamu mesti merasa malu?"
Adiba menunduk, Satria mendekatkan wajahnya dan mengecup lagi bibir istrinya dengan penuh kelembutan.
Di bawah cahaya remang kamar, mereka saling berbagi kehangatan dan kembali merajut kasih yang sempat renggang karena ulah Novi. Di tengah kesenyapan malam, mereka terbungkus dalam dekapan yang erat, mengingat kembali janji yang pernah mereka ucapkan satu sama lain.
****
Kediaman Satria tampak hening, hanya ada suara gemericik air dari akuarium di sudut ruangan. Tiba-tiba, ketenangan itu pecah ketika pintu dibuka oleh pasangan paruh baya dengan wajah cemas. Mereka adalah orang tua Novi, yang langsung duduk di sofa dengan napas terengah-engah.
"Satria, anak kami... Novi... dia kecelakaan," kata ibunya Novi dengan suara bergetar, menahan air mata.
Satria yang sedang membaca koran langsung menutupnya dan menatap serius. "Bagaimana kondisinya? Saya dengar hanya luka ringan," tanya Satria, mencoba menyelami lebih dalam.
Ayah Novi menghela napas, matanya sayu. "Iya, memang benar luka fisiknya ringan. Tapi, dia... dia kehilangan ingatan, Satria. Dan anehnya, dia hanya mengingat kamu," ujarnya dengan nada yang semakin gundah.
Satria terkejut, begitu pula dengan nyai Atiyah yang ikut dalam pertemuan itu. Keduanya saling pandang, tidak percaya. Di saat yang sama, Adiba, istri Satria yang baru keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi teh dan kue, terhenti langkahnya. Kejutan itu membuat gelas yang ia bawa terlepas dari genggaman dan pecah berderai di lantai dengan suara yang menegangkan.
"Maaf, maaf, aku hanya..." Adiba tak dapat melanjutkan kalimatnya, terlalu kaget dengan kabar barusan, ia lekas menunduk, memungut pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Satria tau istri nya sedang kacau mendengar berita ini. Ia lantas bergerak mendekat dan membantu Adiba memungut pecahan gelas dan mengambil sekop sampah.
Adiba menatap ke arah suaminya tanpa kata. Karena satria juga tak mengatakan apapun.
"Ah," pekik Adiba yang tangannya tergores pecahan gelas. Satria sangat tau ini sangat mengganggu Adiba sampai istrinya ini menggores sendiri kulitnya.
"Kamu bikin saja yang baru, biar mas urus yang ini," suruh Satria.
"Aku...."
"Mas saja yang obati lukamu." Satria hendak beranjak dengan menggenggam tangan Adiba, tapi Adiba menahan.
"Enggak, mas. Ini cuma luka gores, tidak apa-apa. Mas Satria temui tamunya saja. Diba akan buatkan yang baru."
Satria mengulas senyum, "baiklah. Bikin yang baru saja setelah kamu selesai mengobati. Biar mas yang bereskan ini. Kasihan nanti kalau Faraaz sampai terinjak sisa pecahannya."
Adiba mengangguk, "Makasih mas." Lalu melangkah masuk lagi. Sementara nyai Atiyah berusaha mengalihkan perhatian orang tua Novi dengan bertanya perihal bagaimana Novi bisa kecelakaan.
Satria kembali duduk setelah urusan membereskan selesai. Lalu mendengarkan lagi keluhan dari orang tua Novi itu.
"Bagaimana ini, mas Satria, bisa kamu temui dia? Mungkin kehadiranmu bisa membantu mengembalikan ingatannya," pinta ibunya Novi, harapannya tergantung pada satu nama: Satria.
****
Adiba berada di dapur, sibuk membuat minuman untuk para tamu yang datang berkunjung, namun pikirannya tak bisa fokus. Di benaknya terus terlintas pertanyaan yang mengusik perasaan: apakah Novi benar-benar amnesia ataukah hanya berpura-pura? Hatinya berkata, mungkin Novi berakting demi menjebak suami Adiba, Satria.
"Ah, apa aku hanya berprasangka buruk? Tapi, kenapa aku merasa begitu yakin bahwa Novi sengaja melakukannya? Apakah ini semua lantaran rasa cemburu yang sudah lama tumbuh dalam diriku?"
Adiba menghela nafas panjang, mencoba meredam perasaan berkecamuk tersebut. Sepotong memori tiba-tiba muncul dalam benaknya, ketika dulu Novi dan Satria pernah dekat satu sama lain, sebelum ia menikah dengan Satria.
"Apakah semua ini adalah rencana jahat Novi? Mencoba menyingkirkan diriku dari hidup Satria dan merebutnya kembali?"
Adiba berusaha membatalkan pikiran negatif itu, namun ia tak bisa menyembunyikan keraguan dan rasa takut yang membelenggu hatinya.
Adiba berjalan perlahan menuju ruangan dimana orang tua Novi dan Satria sedang berbicara. Tangannya gemetar sedikit memegang baki berisi minuman. Napasnya tercekat ketika dia mendengar permintaan orang tua Novi yang mendesak Satria.
"Mas Satria, kami mohon dengan sangat, sangat mas satria, tolong bantu kami. Bantu Novi. Ini kan jadi permintaan kami yang terakhir. Demi kesembuhan Novi anak kami, novi hanya ingat jika mas satria salah suaminya. "
Nyai Atiyah dan Satria saling pandang tak percaya.
"Novi terus mencarimu, dia bilang mana suamiku, mana mas Satria. Begitu, mas Satria." Ibunya Novi bercerita dengan air mata berderai.
Nyai Atiyah menghela napas berat, "Satria sudah menikah dengan Adiba, Bu."
"Iya, nyai, saya tau. Saya paham. Tapi, Novi benar-benar butuh bantuan agar ingatannya kembali membalik." Ibunya Novi kembali terisak, suaminya mengelus lengan menguatkan.
"Tolong, bisakah mas satria memenuhi, berpura-pura juga tidak apa-apa, mas," pinta ibunya Novi dengan suara bergetar. "Biar ibu nanti yang bicara pada Adiba."
Mendengar itu, Nyai Atiyah, yang sedari tadi duduk diam, langsung menegur dengan tegas."Kalian tidak bisa sembarangan meminta itu, itu melanggar aturan agama kita," suara Nyai Atiyah bergetar karena marah.
Namun, orang tua Novi tak tergoyahkan, mereka malah menambahkan solusi yang lebih mengejutkan lagi.
"Jika itu melanggar hukum agama, kenapa tidak kita nikahkan saja mereka berdua?" ucap sang ayah dengan nada serius, seolah tidak ada pilihan lain. "Jika Adiba memang wanita baik, dia pasti tak akan masalah, Karena ini menyangkut nyawa orang lain."