"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 | Klub Memasak
“Kalau Aura?” tanya kak Endra, sorot matanya berharap padaku.
Aku memandang brownies di tanganku, rasa manisnya masih terasa di lidah, lumer perlahan. Suasana ramai dan hangat aula ini seharusnya bisa menenangkan, namun tatapan Ryan yang sempat tertangkap tadi seolah membayang di belakang kelopak mataku.
Jantungku berdegup cepat, iramanya tidak seirama dengan suara bising di sekelilingku. Aku menelan ludah, mencoba meredakan debaran yang tak semestinya.
“Aku … mungkin belum saat ini, Kak,” suaraku keluar lebih pelan dari yang kuduga.
Rasa ragu menyelip di setiap kata. Kak Endra hanya mengangguk. Ekspresi wajahnya sedikit berubah, senyumnya menyiratkan rasa kecewa yang berusaha dia tutupi dengan tawa kecil.
“Ya sudah deh … promosiku gagal total,” katanya ringan, namun matanya menunjukkan secuil harapan yang sirna.
Sebuah rasa bersalah merambat pelan di dadaku, membuatku ingin mengatakan sesuatu untuk memperbaiki situasi, tapi kata-kata seakan menempel di ujung lidah tanpa bisa kugerakkan.
Nara menarik tanganku, membuatku setengah terseret ke arah kerumunan yang lebih sepi. Aku menoleh sekali lagi ke arah Ryan, memastikan dia tetap sibuk dengan teman-temannya. Mereka tampak antusias, wajah Ryan berseri-seri saat ia berbincang dan tertawa.
Sahabatnya, Edo, terlihat menepuk pundaknya, memberi selamat karena berhasil mendaftar ke ekstrakurikuler basket yang ramai peminat. Sekilas, perasaan hangat menyelusup di dadaku, rasa senang melihat senyumnya meski hanya dari kejauhan.
“Nara, aku mau langsung balik ke kelas. Kalau kamu masih mau di sini, aku tinggal, ya,” kataku dengan nada yang agak mendesak.
Keinginanku untuk menjauh dari aula semakin besar.
“Oh, iya. Makasih udah menemani aku, Aura.” Senyum Nara tulus, membuatku merasa sedikit lebih ringan.
Aku mengangguk cepat, berusaha menyunggingkan senyum balasan dan segera memutar badan untuk berjalan pergi.
Namun, langkahku terhenti di tengah koridor. Pikiranku terlempar kembali pada brownies lembut tadi, pada ucapan Kak Endra, dan suara ramai di stand memasak. Sesuatu dalam diriku menuntut untuk memikirkan ulang keputusanku.
Memasak memang hobiku, bahkan lebih dari itu, sebuah kebutuhan. Aku tinggal sendirian sejak ayah dan ibuku bekerja di luar negeri dan memasak menjadi kegiatan yang tanpa sadar memberiku kenyamanan.
Dengan tarikan napas dalam, aku membalikkan badan, mengikuti insting yang entah datang dari mana. Kembali ke stand klub memasak yang masih dijaga Kak Endra, kulihat dia sedang berbincang dengan dua murid lain yang tertawa sambil mencoba cupcakes.
“Kak, apa aku boleh daftar klub memasak?” tanyaku dengan nada yang tak bisa disembunyikan dari gugupnya.
Jantungku kembali berdebar, tapi kali ini dengan rasa yang berbeda. Kak Endra, yang tadinya tak menyangka aku akan kembali, menoleh dan matanya melebar sejenak.
“Aura?” senyumnya muncul perlahan, menggantikan ekspresi terkejut. “Boleh, tentu saja! Kami akan senang kalau kamu bergabung.”
Dia mengambil formulir dari tumpukan di meja dan menyerahkannya padaku. Aku meraih kertas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Perasaan lega dan antusias bercampur aduk, membuatku ingin tersenyum lebar dan melompat.
“Terima kasih, Kak.”
Kak Endra tertawa kecil, suara tawanya terdengar ramah. “Seriusan, kami butuh anggota baru yang semangat seperti kamu. Nanti kita bisa belajar dan bereksperimen resep bareng, jadi siap-siap, ya.”
Aku mengangguk, membayangkan diriku ikut serta dalam kegiatan klub memasak, menciptakan sesuatu dari bahan-bahan sederhana, mencoba rasa-rasa baru, dan berbagi tawa bersama teman-teman satu klub. Sejak lama, aku tak pernah merasa terlibat dalam sesuatu yang membuatku antusias, inikah yang Ryan rasakan Ketika dia bergabung di klub basket?
Aku kembali ke ruang kelas dan langsung duduk di mejaku yang berada di pojok belakang. Rasanya sedikit lega bisa kembali ke tempat yang familiar setelah pagi yang cukup menguras energi. Aku membuka jendela yang tadi pagi ditutup oleh Ryan. Angin segar berhembus ke dalam, membawa sedikit ketenangan di tengah kepenatan yang kurasakan sejak pagi.
Tapi, baru saja aku merasa sedikit lebih nyaman, suara langkah kaki yang sudah aku kenal membuatku menoleh. Ternyata, Ryan sudah kembali ke kelas. Sejak kapan dia ikut masuk?
Aku hampir tak menyadari kehadirannya. Apa dia mengikuti aku lagi? Atau dia hanya kebetulan lewat? Terkadang aku merasa dia bisa muncul di mana saja, bahkan saat aku mencoba untuk menyendiri.
"Aura, kamu daftar ekstra apa?" tanya Ryan dengan nada yang tak terduga, mengagetkanku.
Aku sedikit terkejut mendengar suaranya yang tiba-tiba memecah keheningan, tapi aku berusaha menjaga wajahku tetap tenang.
"Aku nggak daftar apa-apa," jawabku cepat, berharap dia tak mencari tahu lebih lanjut.
Tapi Ryan menatapku dengan senyuman yang ... sedikit mencurigakan. Itu adalah senyum yang aku kenal. Senyum yang sering dia tunjukkan saat dia merasa tahu sesuatu yang aku sembunyikan.
"Bohong," katanya dengan santai, lalu dia tersenyum seakan menggodaku. "Aku lihat kamu tadi bawa formulir dari stand memasak. Kalau kamu makin jago masak, jangan lupa masakin aku, ya ..."
Aku tak bisa menahan diri untuk mendengus pelan. Tentu saja, Ryan selalu bisa membuatku merasa canggung dengan cara dia yang terlalu langsung. Namun, aku tetap memaksakan diri tersenyum kecil.
"Ya ..." jawabku lemas, merasa kata-kata itu seperti terpaksa keluar dari mulutku.
Ryan hanya tertawa kecil, seolah tak menganggap serius kata-kataku. Aku kembali menatap daun-daun yang berguguran di luar jendela. Pemandangan itu entah kenapa membuatku merasa sedikit lebih tenang, meskipun ada perasaan canggung yang masih menggelayuti.
Tapi, sepertinya Ryan belum puas. Dia duduk di bangkunya, kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan yang cukup serius.
"Aura, tadi apa yang mau kamu bicarakan?" tanyanya, kali ini nada suaranya lebih dalam. Seperti ada sesuatu yang dia ingin tahu, dan aku bisa merasakannya.
Aku sedikit terkejut. Apa yang dia maksud? Tadi di taman, aku memang sempat ingin mengatakan sesuatu, tapi... aku tidak tahu kenapa rasanya aku ingin menahan diri.
"Enggak ada," jawabku, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Tapi Ryan tidak mudah dibohongi. Dia menatapku dengan tatapan yang dalam, membuatku merasa seperti dia bisa melihat apa yang ada di dalam pikiranku.
"Jangan bohong lagi," katanya pelan, tapi tegas. "Waktu di taman tadi, kamu mau memperingatkan aku satu hal, kan?"
Aku merasa sedikit terburu-buru menelan ludah. Tiba-tiba ingatanku melayang kembali ke percakapan kami di taman. Aku memang ingin mengatakan sesuatu, tapi aku ragu apakah itu hal yang tepat.
"Iya," aku akhirnya mengaku, suaraku terdengar lebih pelan dari biasanya. "Aku ingin memperingatkanmu. Sebaiknya ... jangan terlalu dekat denganku."
...»»——⍟——««...