Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
aku belum siap hamil!
Sudah 10 menit pertandingan dimulai, Angelina begitu kelimpuhan ia tidak mengerti kenapa ia merasa pusing. Saat itu juga tiba-tiba ia merasa mual. Ia buru-buru meninggalkan lapangan masuk ke dalam rumah, membuat Samuel terkejut heran.
"Angelina! Kau mau kemana!" Samuel mengejar istrinya, ia berhenti ketika melihat Angelina muntah di wastafel.
Samuel mendekati Angelina dengan cepat, matanya penuh kekhawatiran. "Angelina, kau baik-baik saja?"
Angelina menggeleng sambil menarik napas dalam-dalam setelah muntah. "Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba mual begini."
Samuel mengusap punggungnya, berusaha menenangkan. "Mungkin kau terlalu lelah. Kita duduk dulu, ya." Ia membimbingnya ke sofa, memastikan Angelina merasa lebih nyaman.
Kemudian, Samuel menatap Angelina dengan rasa bersalah, ia berjongkok didepan Angelina dan memegang tangannya.
"Maafkan aku, sayang. Gara-gara aku terlalu memaksamu tadi, kau jadi kelelahan," ujar Samuel, suaranya penuh penyesalan. Ia menggenggam tangan Angelina lebih erat, tatapan matanya lembut dan penuh perhatian.
Angelina menghela napas, "Aku baik-baik saja."
Samuel menatapnya dalam-dalam, namun sebelum sempat menjawab, tiba-tiba Angelina kembali berlari menuju wastafel dan mulai muntah-muntah lagi. Samuel yang panik segera berdiri dan menghampirinya, mencoba menahan kekhawatirannya.
"Angelina!" serunya.
Saat itu juga Miya, Roy dan juga Arthur datang mendekati kejadian. Mia agak terkejut melihat putrinya mual-mual.
"Apa yang terjadi denganmu?" Miya langsung mendekati Angelina.
Roy dan Arthur ikut mendekat, terlihat cemas. "Angelina, ada apa? Kenapa kau tiba-tiba terlihat seperti ini?" tanya Roy khawatir, berusaha menenangkan.
Miya menatap Samuel, yang masih berdiri di dekat Angelina dengan ekspresi cemas, "Kau tahu apa yang terjadi padanya?"
Samuel menggeleng, "Aku juga tidak tahu, dia tiba-tiba merasa pusing dan mual setelah bermain raket."
Arthur berdiri terdiam, bingung melihat ibunya yang tampak begitu lemah. "Apa yang harus kita lakukan? Harus dibawa ke dokter, kan?" tanyanya.
Miya terlihat berpikir sejenak, matanya mengarah pada Angelina yang masih terlihat lemas. Ia baru menyadari sesuatu—putrinya baru saja menikah setengah bulan lalu, dan kondisi ini tentu berbeda dari biasanya.
"Tunggu sebentar, jangan dulu ke dokter," kata Mia dengan suara yang agak tegas, membuat Samuel dan yang lainnya terdiam dan kebingungan.
Dengan langkah cepat, Mia meninggalkan mereka semua dan masuk ke dalam rumah. Beberapa menit kemudian, Mia kembali sambil membawa sebuah tespek. "Aku rasa ini jawabannya."
Samuel dan Roy saling memandang dengan bingung, sementara Arthur yang masih terlihat cemas bertanya, "Apa maksudnya, Bu?"
Miya tersenyum sedikit. "Aku rasa putriku ini... mungkin sedang hamil."
"Apa!?" Semuanya terkejut termasuk Angelina, sebelum Angelina sempat menjawab ia kembali muntah. Sementara Samuel diam-diam tersenyum bahagia, ia menatap Angelina.
"Apakah kak Angelina hamil!? Bu!?" tanya Arthur semangat.
"Diam dulu, kita belum tahu jawabannya" ia mendekati angelina dan berkata, "Ini ayok gunakan" menyerahkan tespek ditangannya.
Angelina melirik ibunya dengan perasaan tidak suka, jelas dari mereka yang belum bisa menerima kehamilan Angelina adalah dirinya sendiri. Dengan paksa ia mengambil tespek lalu masuk kamar mandi.
Semuanya menunggu dengan cemas, suasana di ruang tamu terasa tegang. Samuel yang tak sabar, mondar-mandir di dekat pintu kamar mandi, sementara Roy dan Arthur hanya bisa menunggu dengan ekspresi khawatir.
Beberapa menit kemudian, pintu kamar mandi terbuka, dan Angelina keluar dengan wajah yang sulit terbaca. Ia memegang tespek itu dengan tangan gemetar, matanya menatap lantai.
"Bagaimana?" tanya Roy, suaranya sedikit tegang.
Angelina mengangkat tespek itu, memperlihatkan hasilnya. Dua garis merah. Semua terdiam, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat.
"Jadi... benar?" tanya Mia dengan suara rendah, meskipun senyum tipis mulai muncul di wajahnya.
Angelina tidak menjawab, hanya menunduk, merasa canggung dan bingung dengan kenyataan yang baru saja terungkap. Namun, sebelum ia sempat berbicara lebih lanjut, Samuel mendekatinya dan meraih tangannya dengan lembut.
"Sayang... aku tidak percaya ini. Aku akan menjadi ayah dan kau akan menjadi —" ucapan Samuel terpotong saat Angelina menyahut dengan suara keras dan tajam.
"Aku tidak bisa menerima ini!" teriaknya, suaranya pecah.
Semua orang terkejut mendengar amarah tiba-tiba Angelina. Mia dan Roy saling berpandangan, Arthur terdiam dengan mulut terbuka, sementara Samuel hanya bisa terdiam, terkejut dengan reaksi mendalam dari Angelina.
"Kenapa? Apa kau benar-benar tidak siap?" tanya Samuel.
"Kau pikir aku siap dengan semua ini? Kau pikir aku siap untuk menjadi ibu setelah menikah hanya setengah bulan? Aku bahkan masih bingung dengan perasaanku sendiri, Samuel!" kata Angelina dengan suara gemetar, penuh frustasi.
Mia dan Roy berdiri di samping, bingung harus berkata apa. Arthur yang masih terkejut, hanya bisa diam, melihat kondisi yang semakin tegang.
Samuel berdiri terpaku, menatap Angelina yang tampak begitu rapuh namun marah. Ia tidak tahu bagaimana cara menjawab atau meredakan perasaan istrinya yang tampak begitu penuh gejolak.
"Kau! Kau, Samuel!" lanjut Angelina, "Saat itu aku benar-benar tidak ingin melakukan hubungan intim bersamamu! Tapi entah kenapa kau seperti orang yang kesurupan! Kau memaksaku dan akhirnya lihat! Aku belum siap hamil dan ini harus terjadi!"
Semua orang terdiam, tercengang dengan apa yang baru saja diucapkan Angelina. Mia dan Roy saling berpandangan, Arthur hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Semua yang tertahan dalam rumah tangga mereka, semua yang tersembunyi kini terbongkar dengan begitu saja di depan orang tua dan adiknya.
Angelina tidak memperdulikan kebiasaan rumah tangga mereka yang selalu bertenaga. Ia merasa terjebak, frustrasi dengan kenyataan yang tidak bisa ia hindari. Ia tidak menghiraukan rasa malu atau rasa bersalah yang biasanya muncul, hanya kemarahan dan ketidakberdayaan yang ada di dalam dirinya.
"Kenapa kau tidak mendengarkanku saat itu?" lanjut Angelina, suaranya bergetar. "Aku tidak siap, Samuel! Tidak siap dengan semuanya! Ini bukan hidup yang aku impikan!"
Samuel terdiam, hatinya terasa perih. Ia tahu bahwa ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, dan mungkin, inilah saatnya untuk menghadapi kenyataan pahit yang selama ini ia coba hindari.
Mia menundukkan kepalanya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Roy hanya bisa terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Arthur yang paling muda, tampak bingung dan cemas dengan situasi yang semakin memanas.
Tapi yang paling membuat Samuel terpukul adalah perasaan terasing yang kini tumbuh di antara dirinya dan Angelina. Apa yang mereka miliki? Apa yang seharusnya mereka perjuangkan? Semua itu terasa kabur di hadapannya.
"Angelina..." Samuel berusaha berbicara, namun suaranya serak, tak mampu menembus benteng amarah yang dibangun istrinya.