Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Terlambat
"Kita hanya makan, tidak melakukan hal yang aneh-aneh" jelas Aghnia seraya tersenyum menampakkan deretan giginya.
"Masuk" Risti menghela nafas panjang. Mengunci pintu dan menyuruh Aghnia istirahat.
Tadi Aghnia lupa jika dirinya harus memperbaiki hipotesis dalam proposal skripsinya. Ia menyalakan laptop dan mulai mengerjakan, gadis itu tak mau harus menjadi mahasiswa tua hanya karena menunda mengerjakan skripsi.
"Emh" lenguh Aghnia, menggerakkan tangannya keatas, mencoba melemaskan tubuhnya yang terasa pegal memangku laptop dan sedikit membungkuk.
Gadis itu melihat jam di dinding menunjukkan angka satu dini hari. Menimbang cukup lama, Aghnia menghubungi Alfi via chat untuk menanyakan kesediaan Alfi esok. Persetan dianggap mahasiswa tak sopan, ia hanya ingin segera lulus jika pun dipersulit oleh Alfi, Aghnia akan meminta ganti dospem saja kepada kaprodi.
"Jam tujuh pagi di ruang dosen" Hanya dalam hitungan menit, Aghnia mendapat balasan dari Alfi.
"Gila! Jangan jangan dia zombie, jam segini masih online" gumam Aghnia melihat balasan cepat dari Alfi.
"Terimakasih pak" balas Aghnia. Ia hanya melihat tanda ceklis yang berubah menjadi warna biru, tapi tak melihat balasan lanjutan. Aghnia mengendikkan bahu dan meletakkan laptopnya di meja samping kasurnya, merebahkan dirinya menjelajahi dunia mimpi.
Pagi hari, Risti yang siap akan berangkat ke kampus mengernyit melihat pintu kamar Aghnia terbuka menampakkan pemilik kamar tertidur dengan posisi nungging, padahal ini hampir jam tujuh.
Gadis itu menghampiri dan menabok pantat Aghnia, membuat Aghnia berjingkat kaget. Duduk dengan mata sedikit terpejam.
"Kamu sudah sholat subuh belum?" Risti berbicara dengan nada agak keras, agar Aghnia segera bangun.
"Jam berapa ini?" Tanya Aghnia seraya menggeliat melemaskan otot-ototnya.
"Jam 7" singkat Risti seraya keluar dari kamar Aghnia.
Aghnia mendelik mendengar ucapan Risti. Ia melompat dari kasur, segera mengambil wudhu menggosok gigi, lantas melaksanakan sholat dan bergegas berganti pakaian tanpa mandi.
Ia memasukkan laptop, dompet dan hpnya ke totebag, lalu menyambar kunci mobil di meja kamar. Gadis itu berlari ke teras kontrakan, menghidupkan mobilnya dan melesat menuju kampus.
Sesampainya di ruang dosen, Aghnia mengatur nafasnya yang memburu karena berlari. Ia berdehem sejenak lalu mengetuk pintu di ruang dosen.
"Ya"
Terdengar suara wanita dari balik pintu. Aghnia membuka pintu berwarna coklat tua di hadapannya, seorang wanita paruh baya berjilbab ungu berada di balik komputer menyapanya.
"Ada perlu apa?" Tanya wanita berkerudung ungu itu dengan ramah.
"Saya mau bertemu pak Alfi Bu" ucap Aghnia.
"Oh, langsung masuk aja" ujar wanita yang Aghnia tahu adalah petugas administrasi.
Aghnia tersenyum dan mengangguk, berjalan menuju bilik Alfi yang berada di ujung. Jantungnya hampir copot saat dirinya hampir sampai seraya melihat ujung rambut Alfi dari balik bilik. Aghnia ingin lari namun kaki dan hatinya tak sinkron.
"Permisi pak" ucap Aghnia setelah sampai di bilik Alfi. Gadis itu bahkan sudah berkeringat dingin seakan takut akan dipenggal Alfi saat ini juga.
Alfi mendongak dari laptop di hadapannya, memandang Aghnia.
"Duduk" titah Alfi, tampilan wajah tanpa make up Aghnia mampu membuat dada Alfi berdesir.
"Maaf saya terlambat, saya bangun kesiangan pak" jujur Aghnia, menunduk takut.
"Mana proposal yang sudah kamu benahi?" ujar Alfi.
Aghnia mengeluarkan laptop dari dalam totebagnya, membuat Alfi mengernyit.
"Jangan bilang kamu belum mencetaknya?" Tebak Alfi.
Aghnia menjeda gerakan membuka laptopnya seraya mengangguk dan tersenyum kaku. Alfi menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala.
"Em, saya minta maaf pak. Saya akan lebih memperhatikan untuk konsultasi ke depan", janji Aghnia.
"Ini terakhir. Selain itu, kamu ganti saja dosen pembimbing jika tidak bisa disiplin", sahut Alfi. Aghnia mengangguk dan memperlihatkan tulisannya dalam laptop 14 inchi miliknya.
"Sudah lumayan, sekarang kamu persiapkan questionnaire, target sampel, data sekunder, dan informan", Alfi mengisyaratkan penggunaan sumber data campuran untuk analisis kuantitatif dan kualitatif agar hasilnya lebih komprehensif.
"Itu, apa tidak bisa ambil kualitatif saja pak?", tawar Aghnia.
"Ikuti saranku saja agar hasil penelitian kamu lebih valid", ungkap Alfi. Aghnia terpaksa mengangguk meski tidak suka, karena pasti akan menyulitkan dia dalam pengumpulan data sekaligus analisisnya nanti.
"Sial! Cuma gara-gara terlambat sekali, hukumannya berat sekali. Pasti dia mau mengulur waktu kelulusanku dengan revisi berjibun", batin Aghnia, menyesal mengambil judul yang mengharuskan dirinya menjadi anak bimbing Alfi.
"Sudah, segera kerjakan dan laporkan kepadaku. Ingat, kamu sudah bisa mengurus izin penelitian sekarang, susun dan cetak dengan rapi revisimu sebelum menyerahkannya kepadaku.
"Baik pak, saya permisi", ujar Aghnia, seraya mengambil laptop dan membawanya keluar dari ruang dosen.
"Huh, memang killer. Pantas saja banyak yang nggak sanggup konsultasi dengan dia", gumam Aghnia di luar ruang dosen, sembari mengutak atik proposalnya di galeri mahasiswa.
"Hai sayang", tiba-tiba Malik duduk di samping Aghnia dan menjulurkan lengannya, merangkul pundak Aghnia.
"Malik, sedang apa di sini?", Aghnia memalingkan wajah dari layar laptopnya ke wajah sang kekasih.
"Habis setor revisi", ujar Malik.
"Kamu ngapain, wajahmu suntuk begitu?", Malik balik bertanya.
"Ini nih", Aghnia menceritakan ucapan Alfi kepadanya.
"Ya, wajar sih. Kudengar dia memang perfeksionis, jadi itu normal saja. Lalu, kamu mau kubantu mengumpulkan data?", tawar Malik.
"Mau dong. Tapi, aku baru mau mengurus izin nih", ungkap Aghnia, jengah dengan pengaturan Alfi
"Belakangan saja itu, yang penting sudah ada questionnaire dan sumber data", ujar Malik.
Mereka pun bercengkerama, membicarakan skripsi dan hal lainnya.
"Kita main paralayang yuk, biar ngga pusing mikirin skripsi", ajak Malik.
"Em, boleh deh. Suntuk juga dengan rutinitas membosankan ini", setuju Aghnia.
Mereka sepakat untuk pergi akhir pekan ini setelah menuntaskan urusan sementara dengan Alfi terkait progres skripsi.
Di kontrakan, Risti hendak pulang kampung untuk melengkapi data yang kurang.
"Nia, aku akan pulang sepekan ke kampung halamanku. Kamu, ngga apa-apa kan tanpa aku?", Risti masih khawatir melihat perkembangan hubungan Aghnia dengan Malik.
"Kenapa tiba-tiba sih Ris?", protes Aghnia.
"Dataku kurang lengkap. Cuma sepekan kok. Kamu, nggak akan macam-macam dengan Malik kan?", khawatir Risti. Entah kenapa ia merasakan firasat kurang menyenangkan.
"Aman lah Ris. Aku kan jago bela diri", sesumbar Aghnia.
"Nyatanya, kamu hampir dimakan Bimo waktu itu", bantah Risti.
"Eh, itu kan karena dia memasukkan obat aneh-aneh ke dalam minumanku", elak Aghnia.
"Pokoknya kamu harus hati-hati dan jangan mau dirayu untuk aneh-aneh", pesan Risti. Aghnia mengangguk, tersenyum dan merangkul pundak Risti.
"Kamu tenang saja. Fokus lah mengumpulkan data tambahan dan segeralah kembali", ujar Aghnia.
Waktu pun berlalu, Aghnia merasa bebas bisa berkencan dengan Malik beberapa hari ini selama menyusun questionnaire dan mengumpulkan sebagian data.
"Besok kujemput pagi ya sayang", ujar Malik saat mengantar Aghnia pulang.
"Oke, kutunggu ya", setuju Aghnia. Malam itu, bahkan Aghnia pulang mendekati pukul 12 malam dengan alasan menyelesaikan urusan skripsi. Monica tidak seketat Risti dalam mengawasi dan memaklumi saja ucapan Aghnia.