Genre: Action, Drama, Fantasy, Psychological, System
Seluruh siswa kelas 3A tidak pernah menyangka kalau hidup mereka akan berubah drastis ketika sebuah ritual aneh menarik mereka ke dunia lain. Diberikan gelar sebagai "Pahlawan Terpilih," mereka semua mendapat misi mulia untuk mengalahkan sang Raja Iblis dan menyelamatkan dunia asing tersebut. Di antara mereka ada Hayato, siswa yang dikenal pendiam namun selalu memiliki sisi perhatian pada teman-temannya.
Namun, takdir Hayato justru terpecah dari jalur yang diharapkan. Ketika yang lain menerima berkat dan senjata legendaris untuk menjadi pahlawan, Hayato mendapati dirinya sendirian di ruangan gelap. Di sana, ia bertemu langsung dengan sang Raja Iblis—penguasa kegelapan yang terkenal kejam. Alih-alih membunuhnya, Raja Iblis memberikan tawaran yang tak bisa Hayato tolak: menjadikannya "Villain Sejati" untuk menggantikan posisinya dalam tiga tahun mendatang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nov Tomic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
— BAB 18 — Melarikan Diri —
Ruangan Dungeon yang gelap dipenuhi oleh bayangan tubuh teman-teman sekelasku yang terkapar. Nafas mereka berat, sementara aku berdiri di tengah dengan darah kering di sudut bibirku. Barierku telah hilang, dan kekuatan yang tersisa dalam tubuhku hampir habis. Aku memandang mereka satu per satu.
"Kita akan bertemu lagi dalam tiga tahun," kataku, suaraku serak tapi tegas. "Sampai saat itu, jadilah lebih kuat. Aku ingin melihat sejauh mana kalian bisa tumbuh. Tapi ingat ini baik-baik..."
Aku menatap Kenta dan Ayana. Mereka masih terengah-engah—mata mereka penuh kebencian bercampur rasa tidak percaya. Aku menyipitkan mata, menahan tawa sinis yang nyaris pecah di bibirku. "Aku tahu tentang kalian berdua. Setiap malam, hampir setiap hari, kalian melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Suaranya cukup keras hingga terdengar jelas dari kamarku."
Ayana memerah, marah bercampur malu. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Kenta mengepalkan tangannya—wajahnya memerah karena marah.
Aku menggelengkan kepala pelan, menyayangkan segalanya. "Aku sebenarnya tidak ingin semuanya berakhir seperti ini. Aku berharap ada jalan lain. Tapi... apa boleh buat? Takdirku bukan bersama kalian lagi."
Tanpa menunggu jawaban mereka, aku berbalik dan mulai melangkah pergi.
Perjalanan menuju pintu keluar Dungeon tidaklah mudah. Lorong-lorong batu yang sempit bercabang ke segala arah, membuatku seperti terjebak dalam labirin yang tak berujung. Setiap kali mencoba memilih jalan, aku selalu berakhir kembali ke tempat yang sama.
"Ini tidak masuk akal," gumamku sambil menahan rasa sakit di punggungku. Luka-luka dari pertempuran sebelumnya mulai terasa perih.
Aku sempat kesal, tapi tiba-tiba, layar sistem muncul di depanku—memberiku harapan baru.
[Skill Baru Diperoleh: Petunjuk Arah!]
[Deskripsi: Menunjukkan peta lokasi dalam radius tertentu, termasuk rute terbaik untuk mencapai tujuan!]
Tanpa ragu, aku membuka peta yang muncul di layar sistem. Sebuah tanda panah emas terlihat di setiap persimpangan, memberiku jalur yang harus kulalui. "Ini sangat membantu," gumamku, lalu mulai bergerak mengikuti petunjuk itu.
Setelah beberapa waktu, aku akhirnya melihat cahaya terang di ujung lorong. Itu adalah pintu keluar Dungeon. Aku mempercepat langkahku, berharap akhirnya bisa bernapas lega.
Namun, harapan itu hancur saat aku melihat beberapa ksatria berdiri berjaga di luar—lengkap dengan senjata mereka yang bersinar di bawah sinar matahari.
Cahaya matahari yang membias dari pintu keluar Dungeon seharusnya menjadi tanda kebebasan, tapi ternyata itu hanyalah awal dari mimpi buruk baru. Seorang ksatria, mengenakan armor perak yang memantulkan sinar terang, berdiri dengan tombak di tangannya, sementara yang lain membentuk formasi di belakangnya. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang.
"Itu dia! Tangkap calon Raja Iblis!" teriak salah satu dari mereka, suaranya menggema di dinding batu.
Kata-kata itu menghantamku seperti pukulan telak. Aku menggertakkan gigi, menahan perasaan lelah dan sakit yang menghantui tubuhku. Luka dari pertarungan sebelumnya masih berdarah, dan energi di dalam tubuhku nyaris habis. Namun, aku tetap mengangkat kepala, menatap mereka dengan tajam.
"Apa kalian tidak punya hal lain untuk dilakukan selain memburuku?" tanyaku dingin, meski napasku terengah-engah.
Tanpa menjawab, ksatria di barisan depan melompat maju dengan kecepatan luar biasa. Tombaknya meluncur lurus ke arahku, kilat logamnya seperti petir yang ingin merobek tubuhku. Aku melompat ke samping, meski rasa sakit di punggungku hampir membuatku jatuh.
"Sial!" makiku dalam hati. "Aku tidak bisa terus seperti ini."
Aku mencoba mengangkat tangan, berharap skill Null akan menyelamatkanku lagi. Tapi layar sistem yang muncul hanya menunjukkan pesan merah besar:
[Skill Null tidak dapat digunakan. Keseimbangan energi tidak mencukupi!]
"Bagus sekali," gumamku dengan nada penuh ironi. "Sekarang aku benar-benar lemah."
Ksatria kedua meluncur ke arahku dengan pedang yang siap menebas. Aku menggunakan Manipulasi Darah untuk menciptakan bilah kecil dari darahku sendiri, menangkis serangan itu. Dentang logam terdengar keras, dan kekuatan serangannya hampir membuatku terpental.
Namun, aku tidak diberi waktu untuk berpikir. Ksatria ketiga, seorang pria bertubuh besar, berlari ke arahku sambil mengayunkan kapaknya. Aku menghindar dengan susah payah, tetapi ujung kapaknya berhasil mengenai lenganku, meninggalkan luka yang dalam.
Rasa sakit itu membakar, tapi aku menggertakkan gigi, menahan jeritan yang ingin keluar. Dengan cepat, aku menggunakan Gigitan Kegelapan, menciptakan taring-taring bayangan yang melesat ke arah ksatria besar itu. Salah satunya mengenai helmnya, membuatnya terhuyung ke belakang.
Namun, serangan itu tidak cukup untuk membuatnya jatuh. Ia hanya mundur beberapa langkah sebelum kembali menyerang, diiringi oleh dua ksatria lain yang bergabung dengannya.
Aku mundur perlahan, mencoba menciptakan jarak. Namun, mereka terus mendesakku, seperti serigala yang mengejar mangsanya.
Salah satu ksatria melemparkan pisau kecil ke arahku, dan aku hanya punya waktu untuk menunduk. Pisau itu terbang melewati kepalaku, hampir menggores telinga kiriku. Aku mencoba menyerang balik dengan Manipulasi Darah, menciptakan tombak merah dari darahku sendiri, tetapi tubuhku terlalu lelah untuk mengendalikan serangan itu dengan presisi.
Tombak itu meleset, hanya mengenai tanah di antara kaki mereka.
"Kau benar-benar lemah sebagai calon Raja Iblis," kata salah satu ksatria sambil terkekeh. Ia melangkah maju, mengayunkan pedangnya ke arahku.
Aku memutar tubuh, mencoba menghindari serangan itu, tetapi gerakanku terlalu lambat. Ujung pedangnya berhasil menusuk bahuku, membuat darah segar menyembur keluar. Aku berteriak kesakitan, terhuyung mundur sambil memegangi luka itu.
"Tidak... aku tidak boleh kalah di sini..." pikirku, menggertakkan gigi.
Dengan sisa energi yang kupunya, aku menggunakan Gigitan Kegelapan lagi, kali ini menciptakan lingkaran bayangan yang menyelimuti tubuhku. Taring-taring gelap muncul dari lingkaran itu, menyerang semua ksatria yang mendekat.
Beberapa dari mereka berhasil menangkis, tetapi dua ksatria terkena serangan itu dan jatuh ke tanah, memegangi luka di tubuh mereka.
Namun, mereka yang tersisa tidak menunjukkan tanda-tanda mundur.
"Kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini, Raja Iblis," kata salah satu dari mereka dengan suara dingin.
Salah satu ksatria yang tersisa melompat tinggi, mengayunkan tombaknya dengan kekuatan penuh. Aku mencoba melompat ke samping, tetapi kakiku tersandung batu, membuatku kehilangan keseimbangan. Tombak itu berhasil menembus bahuku yang lain, menancap dalam hingga aku merasakan darah hangat mengalir deras.
Aku berteriak, rasa sakitnya nyaris membuatku pingsan. Namun, aku tidak punya pilihan selain melawan. Dengan tangan yang masih bebas, aku mencabut tombak itu dari bahuku, lalu menggunakan Manipulasi Darah untuk mengubah darah yang mengalir dari lukaku menjadi bilah kecil. Aku melemparkan bilah itu ke arah ksatria, mengenainya tepat di dadanya.
Ia jatuh ke tanah, tidak bergerak lagi. Tapi yang lain masih berdiri, menatapku dengan kebencian di mata mereka.
Aku tahu, aku tidak akan menang jika pertarungan ini terus berlanjut. Tubuhku terlalu lemah—kekuatan dan energiku hampir habis tak bersisa.
"Aku harus pergi dari sini," pikirku, mencoba memaksa kakiku untuk bergerak.
Dengan luka di seluruh tubuhku, aku berlari menuju hutan, meninggalkan ksatria-ksatria itu di belakangku. Darahku terus menetes, meninggalkan jejak di tanah. Setiap langkah terasa seperti mimpi buruk, karena beberapa dari mereka masih terus mengejar.