NovelToon NovelToon
Claimed And Kept

Claimed And Kept

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Cinta Terlarang / Beda Usia / Wanita Karir / Romansa / Office Romance
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Kyurincho

"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.

***

Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.

Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Echoes in the Corridor

Langkah Elea bergema di lorong sempit, meninggalkan Darren yang masih bersandar di dinding. Ia mencoba meluruskan pikirannya, tapi emosi Darren yang campur aduk membara di balik senyumnya yang biasanya santai. Kali ini, ia merasa kalah, bukan oleh Elea, melainkan oleh ketidakmampuannya mengungkapkan apa yang benar-benar ia rasakan.

Namun, ia bukan tipe orang yang menyerah begitu saja. Dengan gerakan cepat, Darren mendorong tubuhnya dari dinding dan mengikuti Elea yang sudah mendekati lift. Elea tampaknya menyadari langkah Darren di belakangnya, tapi ia tidak menoleh, memilih untuk diam.

"Elea," panggil Darren, suaranya kali ini lebih tenang, hampir lembut.

Elea menekan tombol lift tanpa menoleh. "Aku lelah, Darren. Aku tidak ingin membahas ini lagi malam ini."

"Tapi aku belum selesai," balas Darren cepat, melangkah lebih dekat hingga hanya beberapa meter di belakangnya. "Aku tahu aku mungkin membuat semuanya lebih rumit, tapi niatku bukan untuk memperburuk keadaan."

Elea akhirnya menoleh, wajahnya tetap dingin, meskipun matanya menunjukkan kilatan emosi yang tidak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. "Dan kau pikir niat baik saja cukup? Kau bertindak tanpa berpikir panjang, Darren. Ini bukan permainan. Apa kau sadar risiko yang kau ambil tadi?"

"Aku sadar," jawab Darren serius, nada suaranya berubah. "Dan aku juga sadar bahwa kau tidak akan membiarkan siapa pun melindungimu, bahkan ketika kau jelas-jelas membutuhkan itu."

Kata-kata Darren membuat Elea terdiam sejenak. Pintu lift terbuka dengan bunyi lembut, tapi ia tidak masuk. Sebaliknya, ia memandang Darren dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Aku tidak butuh dilindungi, Darren," katanya pelan, tapi penuh penekanan. "Aku sudah terbiasa menghadapi semuanya sendiri."

"Ya, aku tahu," Darren menjawab, matanya tidak berpaling dari Elea. "Dan itulah yang membuatku frustrasi. Kau begitu keras kepala sehingga kau menolak untuk membiarkan siapa pun peduli padamu."

Elea menatap Darren, kali ini dengan ekspresi yang lebih lembut, hampir seperti belas kasihan. "Peduli? Darren, kau bahkan tidak mengenalku dengan baik. Kau hanya—"

"Jangan bilang aku tidak mengenalmu," potong Darren, nadanya lebih rendah, tapi sarat emosi. "Aku tahu lebih dari yang kau kira. Aku tahu bagaimana kau selalu menutupi kekecewaanmu dengan sikap dingin. Bagaimana kau menyembunyikan rasa sakit itu dengan sibuk mengurus orang lain, tapi mengabaikan dirimu sendiri."

Elea terdiam, tubuhnya menegang. Kata-kata Darren menembus tembok yang selama ini ia bangun di sekelilingnya. Tapi ia tidak akan membiarkan dirinya terlihat rapuh, terutama di depan Darren.

"Ini bukan tentang aku," katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut namun tetap tegas. "Ini tentang bagaimana kau harus belajar mengendalikan dirimu sendiri. Jika kau benar-benar peduli, Darren, maka buktikan dengan bertindak dewasa."

Darren tertawa kecil, nada yang terdengar pahit. "Dewasa? Kau benar. Aku mungkin belum dewasa seperti yang kau inginkan. Tapi aku tahu satu hal, Elea—aku tidak akan pernah membiarkan siapa pun menyakitimu. Tidak Nadia, tidak siapa pun."

Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang tegang. Elea mencoba mencari jawaban di mata Darren, tapi hanya menemukan ketulusan yang membingungkan dirinya. Ia menghela napas panjang, lelah dengan percakapan ini.

"Darren," katanya akhirnya, dengan nada yang lebih lembut. "Aku menghargai niatmu, tapi aku butuh ruang. Tolong, jangan membuat segalanya lebih sulit untukku."

Darren mengangguk pelan, meskipun ada bayangan kekecewaan di wajahnya. "Baiklah. Tapi jangan pernah lupa, Elea—aku ada di sini. Selalu."

Elea tidak menjawab. Pintu lift mulai menutup, dan sebelum Darren bisa berkata apa-apa lagi, ia sudah menghilang di balik pintu logam itu.

Ketika Darren kembali ke meja kerjanya di sudut kantor yang sekarang sunyi, ia duduk dengan berat hati. Pikirannya penuh dengan Elea, dengan segala kontradiksi yang membuatnya tergila-gila dan frustrasi dalam waktu bersamaan.

Di depannya, layar komputer menyala dengan notifikasi email yang belum dibaca. Namun, Darren tidak bisa fokus. Pandangannya tertuju pada ruang arsip di ujung lorong, di mana percakapan mereka baru saja berakhir.

Ia tahu Elea bukan wanita biasa. Ia adalah teka-teki yang sulit dipecahkan, dan Darren selalu menyukai tantangan. Tapi ini lebih dari sekadar tantangan—ini adalah sesuatu yang nyata, sesuatu yang membuatnya merasa hidup.

Dengan senyum tipis, Darren meraih teleponnya, mengetik pesan singkat.

"Kau mungkin tidak butuh perlindungan, tapi aku tetap akan ada. Jangan terlalu lama marah padaku, Elea."

Pesan itu tidak pernah ia kirimkan. Darren hanya menatapnya sebentar, sebelum akhirnya menutup layar ponselnya dan menyandarkan kepala ke kursi.

Di luar, London yang gelap diselimuti kabut tipis, lampu-lampu jalanan berkilauan seperti bintang yang terpantul di permukaan Sungai Thames. Sebuah kota yang penuh rahasia, seperti dirinya. Dan seperti Elea.

***

Elea duduk di mejanya, menatap dokumen yang terbuka di layar laptopnya. Mata cokelatnya yang biasanya tajam kini tampak lelah, sedikit berkabut. Ia mencoba fokus pada angka-angka yang menari di spreadsheet, tapi pikirannya mengembara, kembali ke percakapan dengan Darren di lorong tadi.

Ada sesuatu tentang Darren yang membuatnya gelisah. Pria itu menyebalkan, tidak tahu batas, dan sering membuatnya ingin menarik napas dalam-dalam untuk menahan diri agar tidak kehilangan kesabaran. Tapi ada sisi lain dari Darren yang membuatnya bingung—tatapan matanya yang kadang terlalu tulus, terlalu dalam untuk seseorang yang berusaha terlihat santai dan sembrono.

Suara langkah kaki menggema di lantai, menghentikan lamunan Elea. Ia tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.

"Masih bekerja? Sudah malam, tahu," suara Darren terdengar dari balik bahunya. Nada bicaranya ringan, tapi ada senyum kecil di suaranya yang langsung membuat Elea mendesah pelan.

"Apa yang kau lakukan di sini, Darren? Bukankah magang biasanya pulang lebih awal?" tanyanya tanpa menoleh, mencoba tetap fokus pada layar.

Darren melangkah mendekat, lalu bersandar di sisi mejanya dengan santai. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung hingga siku, rambut hitamnya sedikit berantakan seperti biasa. Tapi mata gelapnya bersinar penuh rasa ingin tahu.

"Magang, kau bilang," Darren menirukan dengan nada meledek, sudut bibirnya tertarik ke atas. "Kau selalu mengingatkanku soal posisi itu, ya? Seperti kau ingin aku tetap di tempatku."

"Karena itu tempatmu," jawab Elea, kini menatapnya. Pandangannya tajam, tapi tidak sepenuhnya tanpa rasa peduli. "Dan magang tidak seharusnya berkeliaran tanpa alasan jelas, apalagi mengganggu karyawan lain."

"Aku tidak sedang mengganggu," Darren membalas, kini dengan nada polos yang dibuat-buat. Ia memiringkan kepalanya, seperti anak kecil yang mencoba memahami sesuatu. "Aku hanya penasaran kenapa seseorang bekerja sekeras itu di jam segini. Kau tahu kan, Elea, hidup bukan hanya soal pekerjaan?"

Elea menahan desahan frustrasi. "Aku tidak butuh nasihat hidup dari seseorang yang bahkan belum serius dengan pekerjaannya."

Darren menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. Kali ini, senyumnya memudar sedikit. "Dan aku tidak butuh dihakimi oleh seseorang yang berpura-pura tidak peduli pada dirinya sendiri."

Kalimat itu membuat Elea tertegun. Ia mengalihkan pandangannya, tapi Darren sudah menangkap perubahan kecil di wajahnya.

"Sudahlah," katanya, mengubah nada suaranya menjadi lebih ceria. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak tertidur di meja kerja. Lalu kau tahu apa yang akan terjadi? Aku harus menggendongmu keluar dari sini."

"Kau tidak akan berani," balas Elea cepat, meskipun ada sedikit senyum yang tersungging di sudut bibirnya.

"Jangan tantang aku," jawab Darren sambil mengangkat alis. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat Elea mundur dengan sikap defensif.

"Darren, menjauhlah," perintahnya, meskipun nadanya lebih lelah daripada marah.

Darren mengangkat kedua tangannya dengan gaya menyerah, lalu melangkah mundur. Tapi tatapan matanya tetap lembut. "Baiklah, baiklah. Aku akan pergi. Tapi serius, kau butuh istirahat, Elea. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."

Elea tidak menjawab. Ia kembali memalingkan wajahnya ke layar laptop, berharap itu cukup untuk mengakhiri percakapan.

Namun, sebelum Darren pergi, ia menambahkan, "Kau tahu, Elea. Aku tidak selalu seperti ini. Jika kau mau, aku bisa serius. Tapi aku rasa kau lebih suka aku tetap menjadi anak nakal."

Elea menatapnya dengan alis terangkat, tapi Darren sudah berbalik menuju pintu, meninggalkan jejak tawa kecil yang menggantung di udara.

Darren turun ke lobi dengan perasaan campur aduk. Ia sudah bertemu banyak orang selama menyamar sebagai magang, tapi Elea berbeda. Wanita itu memiliki sesuatu yang menariknya—sebuah kekuatan yang tampaknya tak tergoyahkan, tapi di baliknya tersembunyi kerentanan yang membuat Darren ingin melindunginya.

Namun, ada halangan besar di antara mereka: Adrian. Darren tahu Elea mencintai suaminya, meskipun dari yang ia dengar, Adrian jarang ada untuk Elea. Dan di sisi lain, Darren sadar posisinya—baik sebagai magang palsu maupun sebagai CEO pria muda yang mencoba menembus tembok tebal yang dibangun Elea.

"Bagaimana kau akan menyelesaikan ini, Darren?" gumamnya pelan, melangkah keluar ke udara malam London. Angin dingin menusuk kulitnya, tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.

Ia berhenti di tepi trotoar, menatap lampu-lampu yang memantul di Sungai Thames. Kota ini penuh teka-teki, penuh rahasia. Dan Darren merasa, ia menemukan seseorang yang lebih sulit dipahami daripada London itu sendiri: Elea.

***

1
Sherin Loren
next thor,alurnya dipercepat
Kyurincho: sabar ya ka, lagi disusun biar pas timingnya /Whimper/
total 1 replies
Kyurincho
Recommended
Coffeeandwine
Bagus
Sherin Loren
up nya banyak dan percepat thor
Kyurincho: Ditunggu yaa kaa /Determined/
total 1 replies
Sherin Loren
lanjut byk2 thor
Kyurincho: siap ka, ditunggu yaa..
makasih udah komen, jadi semngat up /Sob/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!