Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Reno
Keberuntungan bukan sesuatu yang memang kebetulan. Keberuntungan itu sesuatu yang sudah diatur.
Seperti halnya kata 'kebetulan'. Tak ada yang kebetulan. Semuanya sudah diatur dan ditentukan sesuai porsi.
Baik dengan Rain, hal yang dia dapatkan hari ini bukan lah sebuah kebetulan. Bukan kebetulan Willy mengenal orang yang Rain cari. Bukan kebetulan Willy dapat menemukan informasi tentang Reno.
Semuanya berjalan sesuai jalur yang sudah di tentukan. Segala yang baik adalah keberuntungan. Namun, yang buruk adalah sedikit bumbu pedas menuju keberuntungan.
Dan Rain telah menemukan keberuntungan kali ini. Syukur menjadi balas untuk itu.
Hari ini juga, Rain akan mencari Reno. Rain berdoa dalam hati, berharap manusia itu bisa ditemukan.
"Tenang aja, Rain. Ini masih pagi. Gue yakin dia ada dikampus. Kalau gak pagi ini, bisa aja siang atau sore," kata Willy. Ia mencoba meyakinkan Rain saat melihat raut gelisah gadis itu.
Rain tersenyum, membalas ucapan Willy.
Rain menghela napas. Ia juga berharap demikian.
Rain menoleh keluar dari jendela mobil yang tertutup. Keramaian jalan menjadi pemandangan. Semakin jauh perjalanan, semakin ramai jalan dengan kendaraan. Semakin banyak pula bangunan-bangunan mewah.
Rain tahu di sini adalah pusat kota. Bahkan universitas yang Rain tuju merupakan universitas paling terkenal di kota ini.
Willy diam di kursi kemudi. Sesekali ia memperhatikan Rain yang diam dengan perhatian ke luar.
Willy menghela napas. Kemudian, ia mencoba membuka obrolan dengan gadis itu.
"Gue baru tahu kalau Lo tinggal di kontrakan Melati." kata Willy.
Rain menoleh. "Emangnya kenapa, kak?"
"Umm... Ternyata lokasinya gak jauh dari tempat gue." kata Willy. Ia baru tahu tempat Rain karena baru kali ini ia datang ke sana. Tadi, Willy ikut menemani Rain mengantar motornya pulang. Karena mereka akan berangkat menggunakan mobilnya. Willy beralasan tak tega melihat Rain panas-panasan jika menggunakan motor.
"Oh, ya? Memang tempat Lo dimana, kak?" tanya Rain.
"Di perumahan Teyu."
Mata Rain melotot. "Itu kan perumahan elit." kata Rain. "Lo tinggal di sana?" tanya Rain lagi.
Willy mengangguk kecil. "Kenapa?"
Rain menggeleng. "Gak, sih." katanya lalu mengalihkan pandangan ke luar.
Pantas saja Willy selalu menggunakan barang-barang bagus dan terlihat mahal. Ternyata dia orang kaya. Rain sudah menduganya dari awal. Tapi, siapa sangka cowok itu malah membuka jokian. Ia rasa, Willy tidak kekurangan uang. Lalu untuk apa jokian itu kalau bukan untuk cari uang? Tak mungkin hanya iseng, kan?
Rain menggelengkan kepala. Ada-ada saja tingkah orang kaya satu ini.
Willy kembali melirik Rain. Obrolan mereka putus begitu saja. Topik apa yang bisa membuat gadis itu bersemangat? Willy tidak pandai dalam hal ini.
Berpikir sepanjang jalan, Willy tidak sadar kalau mereka sudah sampai di lokasi. Ia sedikit menyayangkan hal itu. Waktu luang terbuang begitu saja karena bodohnya ia mencari topik obrolan.
"Sampai. Sebentar, ya." kata Willy. ia segera keluar dari mobil dan berjalan ke arah satpam yang berjaga di pinggir gerbang.
Rain duduk sambil menanti pria itu.
Setelah beberapa saat, Willy kembali dan mulai mengemudi.
"Lurus, belok kanan, lurus, belok kiri," katanya.
"Apa, kak?"
"Fakultas ekonomi," jawab Willy.
"Oh..." Rain mengangguk. "Tapi, gimana kita nyariin dia, ya?"
"Kita lihat-lihat aja dulu. Kita tanya-tanya orang lain."
Rain kembali mengangguk. Ia segera mengeluarkan foto dari dalam tas kecil yang ia bawa.
Willy memarkirkan mobilnya.
Rain segera keluar dan berjalan menuju seseorang. Willy mengikutinya dari belakang.
"Permisi. Maaf, kak. Saya boleh nanya-nanya seputar jurusan di sini gak?" tanya Rain kepada seorang gadis.
Gadis itu mengangguk ragu. "Ah... Boleh, kak."
"Ini... Jurusan-jurusan di fakultas ini ada apa aja, kak?" tanya Rain lagi.
"Umm..." gadis itu berpikir. "Ada manajemen, akuntansi, kewirausahaan, manajemen bisnis, bisnis digital, dan banyak lagi, kak. Saya kurang tahu semuanya." jawab gadis itu.
Rain menatap Willy. "Kira-kira, dia jurusan apa, kak? Manajemen bisnis?"
Willy memegang dagunya. "Mungkin aja. Atau gak, bidang wirausaha? Tapi kayaknya dia lebih ke bisnis, sih," katanya.
Rain kemudian beralih kepada gadis yang masih berdiri canggung itu. Rain menunjukkan foto Reno dan Ghio kepada gadis itu. "Kalau gitu. Kakak kenal sama orang ini, gak?" Rain menunjuk foto Reno.
"Enggak kenal, kak."
Rain mengangguk. "Ya udah. Kalau gitu, makasih banyak, ya, kak."
Rain dan Willy saling pandang sebentar. Hingga terdengar helaan napas dari mulut Rain. "Kita ke jurusan bisnis aja dulu, kak."
Willy mengangguk sambil tersenyum. Ia berjalan di samping Rain. Memperhatikan gadis itu dari samping. Melihat wajah serius gadis itu, ia tersenyum kecil. Ia merasa senang. Ia akan bersama gadis itu seharian.
Mereka menatap gedung yang bertuliskan 'Manajemen Bisnis'.
Willy menunjuk kursi di koridor. "Kita duduk dulu aja."
Rain langsung menggeleng. "Lo duduk aja, kak. Gue tanya orang di sekitar sini." kata Rain.
Willy menatap Rain yang berjalan mendahuluinya. Akhirnya, ia kembali mengikuti gadis itu. Tak mungkin ia membiarkan gadis itu melakukannya sendiri.
"Lho? Lo istirahat aja, kak. Lagian, Lo udah capek mengemudi." kata Rain.
"Gak capek, kok. Ayo, gue bantu."
Rain pasrah saja. Ia mulai bertanya kepada orang-orang yang di jumpainya. Begitu juga dengan Willy.
Hingga waktu berjalan cukup lama, Rain dan Willy sama-sama menghela napas. Dari banyaknya orang yang mereka tanya, tak satu pun yang mengenal Reno.
"Jangan-jangan, dia bukan dari jurusan ini," kata Rain.
Willy menyetujui ucapan gadis itu. Ia melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 13.40.
"Kita istirahat sebentar, Rain. Ayo makan siang," ajak Willy.
Rain menatap jam tangannya. "Lo duluan aja, kak. Nanti tiba-tiba dia lewat, gimana?" tanya Rain.
"Tapi ini udah waktunya makan siang. Gue yakin Lo udah lapar."
"Gue lapar, sih. Tapi... "
"Atau gini aja." Willy memotong ucapan Rain. "Lo tunggu di sini. Gue beli makan sebentar, terus kita makan di sini."
Rain berpikir sebentar, lalu mengangguk.
"Oke. Tunggu sebentar." kata Willy. Ia lantas segera berlalu meninggalkan Rain.
Rain memperhatikan Willy sebentar. Pria itu sudah sejauh ini membantunya, tapi mereka belum mendapat hasil.
Rain kembali melakukan hal seperti awal-awal. Ia mulai bertanya kepada orang yang di jumpainya.
Rain terus berjalan, hingga ia keluar dari gedung.
Rain memperhatikan sekelilingnya, berharap bisa menemukan Reno. Tapi, orang-orang yang berlalu hanya sekilas mirip dari belakang.
Rain menghela napas. Ia semakin yakin, Reno tidak berasal dari jurusan ini.
Rain menunduk lesu. Apa ia cari ke jurusan lain saja? Karena satu pun orang yang ia tanya tidak mengenal Reno sama sekali.
Rain berjalan lesu ke taman depan gedung itu. Ia duduk di kursi kayu yang membelakangi gedung.
"Cari kemana lagi?" tanyanya.
Rain memperhatikan sekelilingnya. Ada beberapa orang duduk di sana. Dan tak satu pun yang mirip dengan Reno.
Rain memiringkan kepalanya. Pandangannya jatuh kepada seseorang berambut panjang yang diikat. Ia tidak salah lihat kan?
Rain menajamkan penglihatannya. Hingga tanpa disuruh, kakinya berjalan ke depan. Terus berjalan hingga masuk ke bagian paling dalam taman yang di naungi pohon-pohon tinggi.
Mata Rain semakin menajam. Orang itu duduk menyampingi Rain. Jarinya mengetik Lancar di atas keyboard labtopnya. Rambut ikalnya yang diikat tidak menutupi dirinya siapa.
Bayangan tubuh Rain menutupi wajahnya. Ia mendongak menatap Rain.
Rain semakin yakin dengan apa yang ia lihat.
"Maaf? Ada apa, ya?" suara beratnya memasuki telinga Rain.
Rain diam sebentar sambil terus menatapnya.
"Maaf?" kata orang itu lagi.
Rain segera tersadar. Segera ia membungkuk sebentar, seolah menyapa orang itu.
"Ah... Maaf mengganggu." kata Rain terbata. "Boleh gue duduk di sini?" tanya Rain meminta persetujuan.
Orang itu menaikkan alis bertanya sekaligus bingung. Tapi, ia tetap mengangguk.
"Silahkan." katanya.
Ia kembali fokus dengan labtopnya. Ia berpikir, Rain hanya ingin numpang duduk. jadi, ia tidak acuh dengan gadis itu.
Rain memperhatikan wajah orang itu, lalu membandingkannya dengan foto di tangannya.
"Mirip."
"Maaf?" Orang di depan Rain kembali bertanya. Dahinya berkerut.
"Lo, Reno?" tanya Rain hati-hati.
Dahi orang itu semakin berkerut. Alisnya semakin naik.
"Lo siapa?" tanya pria itu.
Rain buru-buru mengangkat tangannya. "Gue Rain, kak."
Pria itu menjabat tangan Rain sebentar. "Rain?" Dahi pria itu terus berkerut. "Dari jurusan apa?"
"Ah.. Gue bukan dari kampus ini, kak. Gue dari fakultas VVV, jurusan seni rupa," jawab Rain.
Rain dapat melihat raut terkejut dari wajah pria itu. Rain tidak tahu apa yang ia kejutkan.
Namun yang pasti, Rain belum mendapatkan jawaban.
"Lo Reno, kan? Orang sama dengan orang di foto ini?" tanya Rain sambil menunjukkan foto.
Rain kembali menangkap raut terkejut dari wajah pria itu. Tapi, pria itu tak kunjung menjawab pertanyaannya.
Rain menanti dengan sabar. Tapi, pikiran pria itu sepertinya tidak di sini.
"Kak?"
Dia tersadar.
"Ah... Sorry. Iya. Ini gue," jawabnya sambil menunjuk foto.
"Lo dapat foto ini dari mana?"