seorang gadis kecil yang saat itu hendak pergi bersama orang tua ayah dan ibunya
namun kecelakaan merenggut nyawa mereka, dan anak itu meninggal sambil memeluk bonekanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rika ananda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
trauma Hana dan tekad yoga untuk mengalahkan Bruno boneka pencabut nyawa
Yoga memeluk erat Hana, tubuh mungil adiknya terasa gemetar dalam dekapannya. Hana masih trauma dengan kematian orang tua mereka yang disebabkan oleh Bruno, boneka pencabut nyawa yang diduga dikuasai oleh roh Angelica.
"Tenang, Hana," bisik Yoga lembut, sambil mengusap rambut Hana dengan lembut. "Kakak ada di sini. Nggak ada yang akan nyakitin kamu lagi."
Hana menangis terisak-isak di dada Yoga. "Kak, aku takut," lirihnya, suaranya bercampur dengan tangis. "Aku takut Bruno balik lagi."
Yoga menarik napas dalam. Hatinya teriris mendengar tangisan adiknya. Dia berusaha untuk tetap kuat demi Hana. "Nggak akan, Dek," jawab Yoga, suaranya berusaha tetap tegas. "Bruno udah nggak ada lagi. Nggak akan nyakitin kita lagi."
Yoga tahu bahwa kata-katanya tak akan bisa sepenuhnya menghilangkan trauma Hana. Tapi, dia harus terus mencoba untuk menenangkan adiknya.
"Kakak bakal selalu jaga kamu, Dek," lanjut Yoga. "Kakak bakal lindungi kamu dari bahaya apa pun."
Yoga menarik Hana ke kasur dan menidurkannya di sampingnya. "Tidur ya, Dek," bisik Yoga sambil mengusap rambut Hana dengan lembut. "Kakak bakal jaga kamu."
Hana menutup matanya pelan-pelan. Tangisnya sedikit berkurang. Dia merasa aman dalam dekapan Yoga.
Yoga memeluk Hana erat-erat. Dia berjanji dalam hati, dia akan selalu menjaganya. Dia akan melindungi Hana dari bahaya apa pun. Dia akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi adiknya.
"Aku bakal selalu ada buat kamu, Hana," bisik Yoga dalam hati. "Nggak akan ada yang bisa nyakitin kamu lagi."
Yoga terus memeluk Hana hingga tidur lelap. Dia berharap kebahagiaan dan ketenangan akan kembali menyelimuti hidup mereka. Dia berharap, teror Bruno akan berakhir selama lamanya.
Foto di meja di hadapannya. Foto itu menampilkan ayah dan ibunya yang sedang tersenyum ceria ketika mereka masih muda.
"Kalian pasti bangga sama aku, kan?" gumam Yoga lirih, suaranya bergetar menahan tangis.
"Aku sudah menemukan makam kalian," lanjutnya, sambil menatap foto orang tuanya dengan mata yang berbinar harapan. "Aku sudah berdoa untuk kalian."
"Semoga kalian tenang di sana," bisik Yoga. "Semoga roh kalian tak lagi terbebani dengan kejahatan Bruno yang menyeramkan itu."
Yoga meraih foto itu dan mencciumnya dengan lembut. "Aku kangen kalian," lirihnya. "Aku ingin kembali ke masa itu, ketika kalian masih ada di sampingku."
"Kalian pasti takut melihat aku sekarang," lanjutnya, suaranya terasa sedih. "Aku takut melihat diriku sekarang. Aku berubah. Aku menjadi orang yang takut dan penakut. Aku tak lagi kuat seperti dulu."
Yoga menunduk, menahan tangis yang ingin meledak. "Maafkan aku, ayah ibu," bisiknya. "Aku tak berhasil melindungi Hana. Aku tak berhasil mencegah kejahatan Bruno."
"Aku takut, ayah ibu," lirih Yoga. "Aku takut Bruno akan menyerangku. Aku takut aku akan mengalami nasib yang sama seperti kalian."
"Tapi aku harus kuat," gumam Yoga, mencoba menegakkan badannya. "Aku harus melindungi Hana. Aku harus menghilangkan kejahatan Bruno dari dunia ini."
"Aku akan mencari keadilan untuk kalian," bisik Yoga. "Aku akan menghukum Bruno dan Angelica atas perbuatan keji mereka."
"Aku akan mencari keadilan untuk kalian, ayah ibu," ujar Yoga dengan suara yang tegas. "Aku akan melakukan segalanya untuk memperoleh keadilan."
Yoga menatap foto orang tuanya dengan mata yang penuh tekad. Dia berjanji dalam hati, dia akan menghilangkan kejahatan Bruno dan Angelica dari dunia ini. Dia akan mencari keadilan untuk orang tuanya dan menghukum para pelakunya. Dia akan melakukan segalanya untuk mendapatkan keadilan.
"Aku akan mencari keadilan untukmu," bisik Yoga sambil mencium foto orang tuanya dengan lembut. "Aku akan mencari keadilan untuk kita semua."
Yoga menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Dia beranjak dari sofa dan bersiap untuk melangkah masuk ke kamar Hana. Namun, sebelum langkahnya menjejak lantai, suara benda jatuh bergema dari ruang tengah.
"Hah?" Yoga menoleh cepat ke arah suara itu.
Jantungnya berdebar kencang. Bayangan Bruno yang menyeramkan tiba-tiba terlintas di benaknya. Apakah itu Bruno? Apakah dia sudah kembali?
Yoga menarik napas dalam lagi, mencoba untuk menenangkan diri. "Jangan panik," gumamnya dalam hati. "Mungkin itu hanya kucing atau tikus."
Namun, rasa takut itu tak kunjung hilang. Yoga merasa ada sesuatu yang tak beres. Dia melangkah pelan menuju ruang tengah, matanya mencari sumber suara itu.
"Siapa di sana?" tanya Yoga dengan suara bergetar.
"Aku, Yoga," jawab suara cemas dari balik pintu kamar Hana.
"Hana?" Yoga menoleh cepat ke arah pintu kamar adiknya. "Kenapa kamu bangun?"
"Aku takut, Kak," jawab Hana, suaranya bergetar. "Aku mimpi buruk."
Yoga merasa lega mendengar suara adiknya. "Tenang, Dek," ujarnya sambil melangkah cepat menuju kamar Hana. "Itu hanya mimpi buruk. Nggak ada yang menakutkan."
Yoga membuka pintu kamar Hana dan melihat adiknya sedang duduk di pinggir kasur, matanya masih meneteskan air mata.
"Apa yang kamu mimpi?" tanya Yoga sambil mendekati Hana dan memeluknya erat.
"Aku mimpi Bruno," jawab Hana, suaranya terasa sedih. "Dia mau nyakitin aku."
Yoga mengusap rambut Hana dengan lembut. "Tenang, Dek," ujarnya sambil mencoba menenangkan adiknya. "Bruno udah nggak ada lagi. Nggak akan nyakitin kita lagi."
"Tapi aku takut, Kak," lirih Hana. "Aku takut dia balik lagi."
"Nggak akan, Dek," jawab Yoga. "Kakak akan selalu jaga kamu. Kakak bakal lindungi kamu dari bahaya apa pun."
Yoga menarik Hana kembali ke kasur dan menidurkannya di sampingnya. "Tidur ya, Dek," bisik Yoga sambil mengusap rambut Hana dengan lembut. "Kakak bakal jaga kamu."
Hana menutup matanya pelan-pelan. Dia merasa aman dalam dekapan Yoga.
Yoga terus memeluk Hana hingga tidur lelap. Dia berjanji dalam hati, dia akan selalu menjaganya. Dia akan melindungi Hana dari bahaya apa pun. Dia akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi adiknya.
"Aku bakal selalu ada buat kamu, Hana," bisik Yoga dalam hati. "Nggak akan ada yang bisa nyakitin kamu lagi."
Yoga terus memeluk Hana, mencoba menenangkan adiknya yang masih gemetar ketakutan. "Tidur lagi, Dek," bisik Yoga lembut. "Nggak ada yang menakutkan. Kakak ada di sini."
Hana menangis pelan, tapi tangisannya mulai mereda. "Iya, Kak," bisiknya, suaranya masih bergetar.
Yoga menarik Hana kembali ke kasur dan menidurkannya di sampingnya. "Kakak bakal jaga kamu," bisik Yoga sambil mengusap rambut Hana dengan lembut.
Yoga menatap wajah adiknya yang pucat pasi. "Nggak ada yang bisa menakutkan kamu lagi, Dek," gumamnya dalam hati. "Kakak akan selalu menjagamu."
Yoga menutup matanya dan berdoa. Dia berharap Hana bisa tidur nyenyak dan lupa akan mimpi buruknya. Dia berharap trauma yang menyeramkan itu tak akan mengurai kehidupan mereka lagi.
"Aku bakal selalu ada buat kamu, Hana," bisik Yoga dalam hati. "Aku akan melindungi kamu dari bahaya apa pun."
Yoga menarik napas dalam dan mencoba menenangkan diri. Dia tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai. Mereka masih harus menghadapi ancaman Bruno, boneka pencabut nyawa yang menyeramkan itu.
"Tapi aku tak akan biarkan dia menyakiti Hana lagi," gumam Yoga dalam hati. "Aku akan melindungi adikku sampai mati."
Yoga menarik selimut Hana hingga menutupi tubuhnya dengan rapat. Kemudian, dia menutup matanya dan mencoba untuk tidur.
"Tidur lah, Dek," bisik Yoga dalam hati. "Tidur lah, dan lupakan semua ketakutanmu."
Namun, Yoga tak bisa tidur. Dia masih terbayang wajah Bruno yang menyeramkan itu. Dia masih terbayang kejahatan Bruno yang menyeramkan itu.
"Aku harus menghentikan Bruno," gumam Yoga dalam hati. "Aku harus menghilangkan ancaman itu dari hidup kami."
Yoga menarik napas dalam lagi. Dia berjanji dalam hati, dia akan melakukan segalanya untuk melindungi Hana. Dia akan menghilangkan ancaman Bruno dari hidup mereka.
"Aku akan melakukannya," bisik Yoga dengan suara yang tegas. "Aku akan menghentikan Bruno."