"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 | Kantor BK
“Aura?” Ryan bertanya, suaranya terdengar cemas.
Aku menatapnya, berusaha menenangkan diri. Rasanya aku ingin sekali mengatakan bahwa aku juga merasakan hal yang sama, tapi entah kenapa kata-kata itu terasa sangat sulit untuk keluar dari mulutku.
Aku tersenyum kecil, mungkin itu yang bisa aku lakukan saat itu, mengangguk pelan, memberinya sinyal bahwa aku merasakan hal yang sama, meski aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.
Tunggu! Jangan gegabah dulu, Aura. Mungkin saja dia hanya bercanda saat mengucapkannya. Aku tidak boleh terlalu percaya dia. Ryan mungkin hanya merasa kasihan padaku yang tidak punya teman satu orang pun.
“Ra! Aura …” Dia memanggilku perlahan sambil menepuk lembut pundakku. “Kamu dengar aku, kan Ra?”
“I-iya …” Jawabku, suara ini terasa lebih kecil dari yang aku harapkan.
“Mulai sekarang, kamu harus memanggilku sayang. Seperti tadi aku memanggilmu di kantin,” katanya dengan senyum seperti sedang menggodaku.
“Apa?!” Aku hampir berteriak lalu berdiri dengan tiba-tiba, membuat kotak susu yang ada di pangkuanku terjatuh ke tanah. “Tunggu, aku tidak bisa-”
“Bisa! Coba sekali panggil aku sayang …” Ryan memotong ucapanku dan menggoda dengan senyuman nakal, membuat jantungku berdebar semakin kencang.
Dengan kedua pipi yang kemerahan, aku berlari pergi meninggalkannya di taman untuk kembali ke kelas. Setiap langkah terasa amat berat, berlari menyusuri lorong-lorong sekolah, aku tidak berani menoleh ke belakang, takut jika dia mengejarku.
Jantungku yang hanya satu ini, berkali-kali dibuat copot olehnya. Mungkin dia tertawa melihat aku melarikan diri seperti ini lagi. Ryan mungkin tidak mengejarku, aku merasa sedikit lega saat aku memelankan langkah kakiku. Namun, bayangan wajahnya dan kata-katanya yang manis bak gula terus menghantui pikiranku.
“Itu, dia sudah datang,” ucap salah satu teman sekelasku saat aku memasuki ruang kelas, Kaila, langsung menghampiriku. “Aura, kamu dipanggil oleh guru BK di kantor.”
Hatiku berdebar. Kelas yang biasanya ramai itu seolah menghilang, mataku fokus melihat satu hal, Isabella. Kulihat dia duduk di mejanya, menangis tersedu-sedu, dikelilingi teman-teman yang berusaha menenangkan dia.
Apa dia melaporkanku soal kejadian di kantin tadi? Rasanya tidak adil bagiku, sebab dia yang memulai perkara ini duluan.
“Baik, aku akan segera ke sana.” Tanpa pikir panjang, aku berbalik arah dan tidak jadi masuk ke kelas.
Tak sadar, di belakangku, berdiri seorang cowok. Siapa lagi kalau bukan Ryan yang mengikutiku sampai ruang kelas.
“Aura, mau ke mana?” tanyanya padaku.
Aku tidak menjawabnya dan terus berjalan menuju kantor BK. Dalam hati, aku bertanya-tanya apakah aku akan mendapat hukuman.
...»»——⍟——««...
Semua ini terjadi juga gara-gara Ryan, cowok yang entah kenapa selalu mengikuti ke mana pun aku pergi hari ini. Tapi, jujur saja, aku lah yang menumpahkan susu coklat itu pada Isabella. Sampai di depan kantor BK, aku mengetuk pintu dengan tangan gemetar.
Tok, tok, tok!
“Masuk!” suara tegas dari dalam menyuruhku untuk membuka pintu.
Saat aku masuk, aku melihat seorang guru BK yang tampak menungguku dari tadi, diikuti Ryan yang masih setia mengikutiku dari belakang. Rasanya sangat tidak nyaman ada dia di sini.
“Duduk, Aura,” kata guru BK itu dengan tegas, lalu dia balik melirik Ryan. “Ada perlu apa di sini, Ryan?” tanyanya pada Ryan.
“Oh, tidak Bu. Saya hanya ingin menemani Aura.”
Guru BK itu menatap Ryan dengan cermat. “Ryan kembali saja ke kelas. Masalah ini tidak ada hubungannya denganmu.”
Sambil menggerutu, Ryan menjawab, “Saya yang menumpahkan susu coklat itu pada Isabella!”
Dia duduk di kursi sampingku dengan tidak sopan di depan guru BK.
Guru BK itu tampak tak percaya. “Tapi Isabella mengatakan kalau yang menumpahkan susu ke kepalanya adalah Aura.” Sekarang, tatapannya beralih padaku.
“Iya ... saya yang menumpahkannya ...” kataku, merasa sangat pasrah.
“Siapa yang berbohong?” Guru BK berdiri, menatap kami dengan tajam. “Ryan atau Aura yang menumpahkan susu pada Isabella?”
Aku memberanikan diri untuk berbicara, meski suaraku sedikit terbata-bata. “Sa-saya Bu-”
“Aura yang menumpahkan susu itu, tapi saya yang menyuruhnya.” Ryan tiba-tiba memotongku secepat kilat, membuatku terkejut.
Guru BK mengangguk. “Baiklah ... terima kasih atas kejujuran kalian berdua. Sekarang, kalian harus dihukum. Tulis surat permintaan maaf sebanyak satu halaman penuh.” Beliau menyerahkan selembar kertas folio kepada masing-masing dari kami.
Aku menerima hukuman itu dengan pasrah, sedangkan Ryan tampak kesal. Wajahnya merengut seolah hukuman ini sangat tidak adil bagi kami berdua. Setelah guru BK pergi meninggalkan kantornya, suasana di ruangan itu terasa canggung di antara kita berdua.
Ryan menatapku, tampak menyesal. “Aura, aku minta maaf.”
“Seharusnya kamu meminta maaf kepada Isabella, bukan kepadaku,” jawabku sambil mulai menulis surat permintaan maafku.
“Apa pulang sekolah nanti kamu mau pulang bersamaku?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku menghela napas pelan, masih terguncang dengan apa yang baru saja terjadi.
“Maksudmu … pulang bersamamu? Sejak kapan kita jadi dekat seperti ini, Ryan?” tanyaku dengan nada setengah bingung, setengah penasaran.
Ryan hanya tersenyum tipis, lalu mengusap rambutku dengan lembut. Tangannya yang menyentuh tiap helai rambutku itu terasa lembut.
“Sejak kamu membuat keputusan besar untuk berani menghadapi Isabella di kantin tadi,” jawabnya dengan santai, tetapi aku bisa melihat ada sedikit rasa bangga dalam matanya.
Aku menatapnya, bingung, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan ini. Sejujurnya, aku merasa sedikit canggung saat berada di dekatnya, tapi juga senang, entah kenapa. Ryan memang punya daya tarik yang sulit dijelaskan, bahkan bagi aku yang sering mencoba menjaga jarak.
“Sebenarnya …” aku melanjutkan kalimatku setelah beberapa detik terdiam, “aku masih bingung, Ryan. Semua yang terjadi tadi membuatku bingung dengan perasaanku. Kenapa kamu begitu perhatian padaku?”
Ryan menatapku dengan mata yang sangat serius, berbeda dari biasanya. Aku tidak bisa berhenti menatap matanya yang tajam itu.
“Karena aku peduli padamu, Aura,” katanya dengan pelan. “Aku bukan hanya sekedar cowok yang iseng di kantin tadi. Aku merasa ada yang berbeda tentang kamu, dan aku ingin kamu tahu itu.”
Aku terdiam, merasa semakin bingung. Seperti ada gejolak yang tak bisa kutangkap, seperti ada sesuatu yang tumbuh di antara kami, sesuatu yang tak bisa aku jelaskan hanya dengan kata-kata. Apakah ini yang namanya perasaan cinta? Mungkin saja. Tapi, sepertinya aku butuh lebih banyak waktu untuk memahaminya.
“Jadi, mau pulang sekolah bersamaku?”
...»»——⍟——««...